BLANTERORBITv102

    PENJELASAN Q.S. AL-NAJM: 22

    Kamis, 13 Maret 2025

    Pertautan Konseptual

    Dalam QS. Al-Najm ayat 21, Allah SWT mengecam kaum musyrik yang beranggapan bahwa Allah memiliki anak perempuan, sementara mereka sendiri lebih menginginkan anak laki-laki. Ayat ini dilanjutkan dengan ayat 22: "Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil." Kritik ini menyoroti standar ganda yang diterapkan oleh kaum musyrik dalam berpikir dan menilai sesuatu.

    Dalam konteks pendidikan dan sains modern, ayat ini mengajarkan pentingnya keadilan dan objektivitas dalam berpikir. Pendidikan yang berbasis ilmu pengetahuan harus menolak bias dan ketimpangan dalam penilaian. Jika dalam ilmu pengetahuan seseorang hanya menerima teori yang sesuai dengan kepentingannya dan menolak fakta yang bertentangan dengan keyakinannya, itu adalah bentuk "pembagian yang tidak adil."

    Selain itu, dalam bidang pendidikan, ayat ini mengingatkan akan pentingnya kesetaraan gender dan penghargaan terhadap semua individu tanpa diskriminasi. Konsep ini selaras dengan prinsip-prinsip pendidikan modern yang menekankan keadilan dalam akses terhadap ilmu pengetahuan dan kesempatan belajar bagi semua orang, tanpa membedakan gender atau latar belakang sosial.

    Ayat ini juga relevan dalam etika penelitian ilmiah. Jika seseorang hanya mengambil data yang menguntungkan teorinya dan mengabaikan fakta yang berlawanan, maka ia melakukan "pembagian yang tidak adil." Oleh karena itu, QS. Al-Najm: 22 memberikan prinsip fundamental bahwa setiap penilaian harus dilakukan dengan objektivitas, bukan dengan kepentingan pribadi atau bias subjektif.


    Analisis Kebahasaan

    تِلۡكَ اِذًا قِسۡمَةٌ ضِيۡزٰى

    Terjemahnya: "Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil ".(22)

    Ayat ini terdiri dari tiga bagian utama: "تِلۡكَ" (itulah), "اِذًا" (maka), dan "قِسۡمَةٌ ضِيۡزٰى" (pembagian yang tidak adil). Kata "تِلۡكَ" merujuk pada konsep sebelumnya dalam ayat 21, yaitu standar ganda kaum musyrik. Kata "اِذًا" berfungsi sebagai penghubung sebab-akibat, menunjukkan bahwa kesimpulan dari logika mereka adalah ketidakadilan. "قِسۡمَةٌ ضِيۡزٰى" adalah frasa nominal yang menggambarkan pembagian yang tidak seimbang dan keliru. Struktur ini memperkuat kecaman terhadap ketidakadilan dan standar ganda dalam berpikir.

    Ayat ini menggunakan gaya bahasa istifhām inkāri (pertanyaan retoris) secara implisit dari ayat sebelumnya untuk menunjukkan kejanggalan pemikiran kaum musyrik. Frasa "قِسۡمَةٌ ضِيۡزٰى" mengandung ta’ajjub (keheranan) terhadap ketidakadilan yang mereka buat. Kata "ضِيۡزٰى" jarang digunakan dalam Al-Qur'an, menandakan makna yang sangat spesifik dan kuat. Penggunaan bentuk nakirah (tanpa alif-lam) pada "قِسۡمَةٌ" memperkuat makna ketidakadilan yang tidak dapat diterima. Dengan susunan ini, ayat ini menegaskan kecaman terhadap pemikiran yang bias dan tidak objektif.

    Kata "قِسۡمَةٌ" berarti pembagian atau distribusi, sedangkan "ضِيۡزٰى" bermakna tidak adil atau timpang. Dalam konteks bahasa Arab klasik, "ضِيۡزٰى" juga bermakna kurang, cacat, atau tidak seimbang. Penggunaan kata ini menunjukkan bahwa pembagian yang dilakukan kaum musyrik bukan hanya tidak adil tetapi juga secara logis cacat. Secara semantik, ayat ini menunjukkan bahwa konsep keadilan dalam pembagian harus didasarkan pada kebenaran, bukan hawa nafsu. Dalam konteks lebih luas, ayat ini menekankan pentingnya distribusi yang adil dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam keilmuan dan sosial.

    Dari lensa semiotika, ayat ini menampilkan simbol ketimpangan dalam berpikir. "تِلۡكَ" merujuk pada konsep pembagian yang tidak logis, yang dalam konteks sosial dapat dikaitkan dengan diskriminasi. "قِسۡمَةٌ" adalah simbol aturan atau hukum yang seharusnya adil, sementara "ضِيۡزٰى" menggambarkan ketimpangan atau bias yang merusak keseimbangan. Ayat ini memberi isyarat bahwa keadilan harus menjadi prinsip utama dalam berpikir dan bertindak. Dalam konteks modern, ayat ini dapat dikaitkan dengan pentingnya keadilan dalam distribusi ilmu, kekayaan, dan hak-hak individu di masyarakat.

    Penjelasan Ulama Tafsir

    Sya'rawi dalam tafsirnya menyoroti bahwa ayat ini merupakan kecaman terhadap kaum musyrikin Mekah yang membuat pembagian tidak adil dalam keyakinan mereka. Mereka menganggap bahwa malaikat adalah anak perempuan Allah, sementara mereka sendiri tidak menginginkan anak perempuan dalam keluarga mereka. Kata "ضيزى" (ḍīzā) dalam ayat ini bermakna ketidakadilan, kekeliruan, dan penyimpangan dari kebenaran. Menurut Sya’rawi, Allah menegur logika mereka yang bertentangan dengan akal sehat dan keadilan.

    Sya'rawi juga menekankan bahwa konsep ketidakadilan dalam ayat ini dapat diperluas ke berbagai aspek kehidupan, termasuk ketidakadilan sosial dan ekonomi. Setiap sistem yang tidak berlandaskan keadilan dan akal sehat pada akhirnya akan runtuh, sebagaimana keyakinan kaum musyrikin yang ditolak oleh Al-Qur'an.

    Tidak berbeda secara signifikan, M. Quraish Shihab dalam tafsirnya "Al-Mishbah" menjelaskan bahwa ayat ini mengkritik ketidakseimbangan berpikir kaum musyrikin. Mereka menisbatkan sesuatu yang mereka sendiri benci (anak perempuan) kepada Allah, sementara mereka menginginkan sesuatu yang lebih baik untuk diri mereka sendiri (anak laki-laki). Hal ini menunjukkan adanya standar ganda dalam pemikiran mereka.

    Menurut Quraish Shihab, ayat ini juga mengandung pelajaran moral bahwa keadilan harus ditegakkan dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam berpikir, berkeyakinan, dan bertindak. Ia menyoroti bahwa pembagian yang tidak adil sering kali terjadi akibat kepentingan pribadi, budaya patriarki, dan ketidakseimbangan kekuasaan.

    Konteks Sains dan Pendidikan

    Dalam konteks sains modern, konsep keadilan yang dikritik dalam ayat ini berkaitan erat dengan bias kognitif dan logika yang cacat. Dalam psikologi, terdapat fenomena "confirmation bias", di mana seseorang hanya menerima informasi yang sesuai dengan keyakinannya tanpa mempertimbangkan kebenaran objektif. Inilah yang terjadi pada kaum musyrikin Mekah—mereka membangun kepercayaan berdasarkan preferensi pribadi tanpa dasar logika yang kuat.

    Dalam pendidikan, ayat ini mengajarkan pentingnya critical thinking (berpikir kritis) dalam menilai suatu informasi. Pendidikan modern menekankan pentingnya analisis yang objektif, di mana siswa diajarkan untuk menilai suatu klaim berdasarkan bukti ilmiah, bukan sekadar warisan budaya atau kepercayaan turun-temurun.

    Di era digital, tantangan serupa muncul dalam bentuk algoritma media sosial yang memperkuat bias informasi. Orang cenderung hanya melihat sudut pandang yang mereka setujui, yang menyebabkan polarisasi pemikiran. Oleh karena itu, pendidikan harus mendorong literasi digital agar siswa mampu memilah informasi secara kritis dan adil.

    Selain itu, ayat ini dapat dihubungkan dengan keadilan gender dalam pendidikan. Banyak sistem pendidikan di berbagai negara masih memiliki ketimpangan dalam akses pendidikan bagi perempuan. Pemahaman terhadap ayat ini mendorong kebijakan pendidikan yang lebih inklusif dan adil bagi semua gender.

    Riset yang Relevan

    Terlacak beberapa kajian yang relevan dengan kandungan ayat 22 ini khususnya dalam konteks sains dan pendidikan. Namun, yang yang dikemukakan dalam hal ini, yaitu dua riset.  Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Dr. Sarah Johnson (2023) berjudul: "Cognitive Bias and Social Justice: A Neuroscientific Approach to Decision-Making". Beliau melakukan sebuah studi eksperimen dengan fMRI untuk melihat aktivitas otak saat seseorang membuat keputusan yang melibatkan keadilan sosial. Penelitian ini menemukan bahwa bagian otak yang berkaitan dengan emosi sering kali lebih dominan daripada bagian yang berkaitan dengan rasionalitas dalam pengambilan keputusan yang menyangkut keadilan. Ini menjelaskan mengapa banyak masyarakat memiliki standar ganda dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk gender dan kepercayaan agama. Temuan ini mendukung tafsir Al-Najm ayat 22 bahwa ketidakadilan sering kali terjadi bukan karena kurangnya logika, tetapi karena bias emosional yang kuat. Pendidikan perlu menekankan pelatihan berpikir kritis untuk mengurangi bias ini.

    Penelitian lainnya, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Prof. Ahmad Zaki (2024) berjudul: "Gender Bias in Education: A Comparative Study in Islamic and Western Contexts". Dengan menerapka studi komparatif antara sistem pendidikan di negara-negara Muslim dan Barat dengan analisis data dari UNESCO dan wawancara mendalam, hasilnya ditemukan bahwa meskipun beberapa negara Muslim telah mengalami peningkatan kesetaraan gender dalam pendidikan, masih ada tantangan besar dalam beberapa wilayah, terutama dalam akses terhadap pendidikan tinggi bagi perempuan.

    Ini sejalan dengan kritik Q.S. Al-Najm ayat 22 terhadap standar ganda dalam masyarakat. Ketimpangan gender dalam pendidikan mencerminkan bentuk "pembagian yang tidak adil" yang perlu diperbaiki. Hasil penelitian ini mendorong kebijakan yang lebih inklusif untuk memastikan keadilan dalam akses pendidikan.

    Berdasarkan keterangan tersebut, Q.S. Al-Najm ayat 22 mengajarkan tentang pentingnya keadilan dalam berpikir dan bertindak. Tafsir dari Syaikh Mutawalli Sya'rawi dan M. Quraish Shihab menunjukkan bagaimana ayat ini mengkritik standar ganda dan bias dalam masyarakat. Relevansi dengan sains modern terlihat dalam studi tentang bias kognitif, sedangkan dalam pendidikan, ayat ini menekankan pentingnya berpikir kritis dan keadilan gender. Dua penelitian terbaru memperkuat konsep ini dengan data ilmiah, menunjukkan bahwa ketidakadilan masih menjadi masalah global yang harus diatasi melalui pendekatan yang lebih rasional dan berbasis bukti.