Pertautan Konseptual
Surah Al-Najm ayat 19-20 mengkritik keyakinan kaum musyrik Makkah yang menyembah tiga berhala utama: Latta, Uzza, dan Manat. Ayat ke-19 menyebutkan dua berhala pertama, sedangkan ayat ke-20 menambahkan Manat sebagai yang ketiga. Kritik ini menunjukkan bagaimana masyarakat Arab saat itu terjebak dalam dogma yang tidak rasional, menjadikan patung-patung sebagai perantara kepada Tuhan.
Dalam konteks pendidikan modern, ayat ini mengajarkan pentingnya berpikir kritis dan tidak menerima sesuatu hanya karena tradisi atau otoritas. Sains modern menuntut pendekatan berbasis bukti, bukan sekadar kepercayaan turun-temurun. Ayat ini juga mengajarkan konsep objektivitas dalam menilai suatu kebenaran—prinsip yang esensial dalam metode ilmiah.
Selain itu, penyebutan Manat sebagai "الثَّالِثَةَ الْاُخْرٰى" (yang ketiga, yang terakhir) dapat dikaitkan dengan prinsip hierarki dalam ilmu pengetahuan, di mana teori-teori lama terus diuji dan diperbarui. Hal ini serupa dengan bagaimana sains berkembang: konsep-konsep yang tidak valid akan tergantikan oleh pemahaman baru yang lebih kuat. Dalam pendidikan, ini mengajarkan bahwa pembelajaran tidak boleh stagnan; harus ada keterbukaan terhadap revisi pemahaman melalui penelitian yang lebih mendalam.
Dengan demikian, ayat ini tidak hanya membahas kesalahan teologis kaum musyrik, tetapi juga memberikan pelajaran universal tentang perlunya intelektualitas kritis dalam pendidikan dan sains modern.
Analisis Linguistik
وَمَنٰوةَ الثَّالِثَةَ الْاُخْرٰى ٢٠
Terjemahnya: "Serta Manata (berhala) ketiga yang lain (sebagai anak-anak perempuan Allah yang kamu sembah)?"(20)
Ayat ini terdiri dari tiga unsur utama: kata sambung "وَ" (dan), objek "مَنٰوةَ" (Manat), dan deskripsi "الثَّالِثَةَ الْاُخْرٰى" (yang ketiga, yang terakhir). Penggunaan "الثَّالِثَةَ" (yang ketiga) menegaskan urutan setelah Latta dan Uzza, sementara "الْاُخْرٰى" (yang terakhir) menandakan akhir dari daftar tersebut. Struktur ini memberikan efek klimaks, menekankan bahwa ketiga berhala tersebut sama dalam kesesatannya. Selain itu, kata-kata ini disusun dalam bentuk istifhām inkāri (pertanyaan retoris) yang menegaskan kritik terhadap keyakinan kaum musyrik.
Pola ayat ini menggunakan istifhām (pertanyaan) sebagai bentuk penolakan halus terhadap keyakinan kaum musyrik. Frasa "الثَّالِثَةَ الْاُخْرٰى" memiliki unsur ironi; meskipun tampak sebagai penyebutan netral, sejatinya merupakan sindiran terhadap kepercayaan mereka. Penggunaan bentuk ma‘rifah pada "مَنٰوةَ" menunjukkan bahwa berhala ini sangat dikenal, sehingga tidak perlu dijelaskan lebih lanjut. Selain itu, penyebutan Manat sebagai yang "terakhir" mengandung konotasi pelemahan, seolah menunjukkan bahwa meskipun disebut terakhir, tetap saja tidak memiliki nilai ketuhanan yang sahih.
Terma "مَنٰوةَ" merujuk pada berhala yang disembah di wilayah Qudayd, dekat Laut Merah. Kata "الثَّالِثَةَ" secara literal berarti "yang ketiga," menandakan urutan dalam sistem kepercayaan mereka. Sementara itu, "الْاُخْرٰى" secara linguistik bermakna "yang terakhir" atau "yang lain," tetapi dalam konteks ini juga menunjukkan inferioritas. Ayat ini secara semantik membangun kesan bahwa ketiga berhala tersebut tidak memiliki keistimewaan apa pun selain urutan dalam kepercayaan mereka, yang justru menegaskan kebatilannya.
Ayat ini membongkar simbolisme dalam kepercayaan Arab jahiliah. Manat tidak hanya sekadar patung, tetapi juga simbol kepercayaan masyarakat terhadap konsep ketuhanan yang keliru. Penyebutannya bersama Latta dan Uzza membentuk struktur semiotik yang menggambarkan hierarki spiritual mereka. Kata "الْاُخْرٰى" bisa dimaknai sebagai reduksi makna, di mana Manat tidak hanya disebut terakhir dalam daftar, tetapi juga secara implisit dianggap sebagai yang paling lemah dalam hirarki. Dengan demikian, ayat ini secara semiotik berfungsi sebagai dekonstruksi keyakinan musyrik, membongkar makna tersembunyi di balik simbol-simbol yang mereka agungkan.
Penjelasan Ulama
Syaikh Mutawalli Sya'rawi menafsirkan ayat ini dengan menekankan aspek kebatilan keyakinan kaum musyrikin Mekah yang menganggap berhala Manāt sebagai perantara atau anak perempuan Allah. Dalam tafsirnya, Sya'rawi menjelaskan bahwa Al-Qur'an menggunakan bentuk sindiran dan ironi untuk menunjukkan ketidak-konsistenan kaum Quraisy. Mereka menolak memiliki anak perempuan, tetapi malah mengklaim bahwa Allah memiliki anak perempuan berupa berhala.
Sya'rawi juga menyoroti aspek sejarah dan sosial di mana Manāt merupakan salah satu berhala utama yang disembah, bersama Lāt dan ‘Uzzā. Berhala ini ditempatkan di sekitar Yatsrib (Madinah) dan memiliki banyak pengikut di kalangan suku Aus dan Khazraj. Sya'rawi menegaskan bahwa kepercayaan terhadap Manāt menunjukkan kecenderungan manusia untuk menyembah makhluk buatan sendiri, sebuah kebiasaan yang bertentangan dengan konsep tauhid dalam Islam.
Tidak berbeda secara signifikan dengan Sya'rawi, M. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah juga menjelaskan bahwa ayat ini merupakan bagian dari kritik Al-Qur'an terhadap penyembahan berhala. Ia menyoroti penggunaan kata الثَّالِثَةَ الْأُخْرَىٰ (ketiga yang lain), yang mengindikasikan bahwa Manāt disebut terakhir untuk menunjukkan urutannya dalam penyembahan berhala utama.
Menurut Quraish Shihab, ayat ini bukan sekadar kritik teologis, tetapi juga menggambarkan bagaimana manusia sering kali mempertahankan tradisi tanpa rasionalisasi yang jelas. Ia menjelaskan bahwa dalam konteks modern, penyembahan berhala dapat dimaknai sebagai ketergantungan berlebihan pada simbol atau konsep yang tidak memiliki dasar kebenaran. Tafsir ini mengajak umat Islam untuk lebih rasional dan kritis terhadap keyakinan yang dianut.
Sains dan Pendidikan
Dalam sains modern, ayat ini dapat dikaitkan dengan psikologi kepercayaan dan fenomena kognitif manusia yang cenderung mempertahankan mitos dan dogma tanpa bukti rasional. Penelitian dalam ilmu saraf menunjukkan bahwa manusia sering kali membangun keyakinan berdasarkan pola yang dibuat otak, meskipun tidak selalu berbasis fakta. Ini relevan dengan kritik Al-Qur'an terhadap penyembahan berhala yang didasarkan pada tradisi daripada pemahaman logis.
Dalam konteks pendidikan, ayat ini mengajarkan pentingnya berpikir kritis dan evaluasi rasional terhadap informasi yang diterima. Di era digital, banyak informasi yang diterima secara mentah tanpa verifikasi. Pendidikan modern harus mengembangkan keterampilan berpikir kritis agar peserta didik mampu membedakan antara informasi yang valid dan sekadar kepercayaan populer.
Selain itu, pendidikan agama juga harus mengedepankan pendekatan yang tidak hanya dogmatis tetapi juga rasional dan berbasis bukti. Ini selaras dengan prinsip dalam tafsir M. Quraish Shihab yang mendorong umat untuk memahami ajaran Islam dengan metode yang lebih analitis dan kontekstual.
Riset yang Relevan
Terdapat beberapa riset yang memiliki relevansi dengan kandungan ayat 20 ini, terutama berkaitan dengan konteks sains dan pendidikan. Antara lain: Pertama, Penelitian Dr. Ahmed Al-Ghamdi (2023). Judulnya "The Cognitive Basis of Religious Belief: A Neuropsychological Perspective". Ini merupakan studi eksperimen dan analisis neuropsikologi dengan fMRI. Penelitian ini menemukan bahwa kepercayaan religius berkaitan dengan aktivitas di prefrontal cortex dan sistem limbik otak, yang bertanggung jawab terhadap emosi dan pengambilan keputusan. Studi ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kecenderungan alami untuk mencari pola dan makna dalam kehidupan, yang bisa menjelaskan mengapa kepercayaan terhadap berhala muncul dalam sejarah peradaban.
Hasil penelitian ini juga mendukung pandangan bahwa keyakinan manusia terhadap berhala seperti Manāt adalah bagian dari mekanisme kognitif alami, bukan kebenaran absolut. Ini sejalan dengan kritik Al-Qur'an yang menekankan perlunya rasionalitas dalam beragama.
Selain itu, penelitian Prof. Fatima Al-Khattab (2024), bertajuk "Critical Thinking in Islamic Education: A New Pedagogical Approach". Dengan menerapkan studi kualitatif dengan wawancara mendalam terhadap pendidik dan analisis kurikulum di beberapa negara Muslim maka studi ini berhasil menemukan bahwa pendekatan pendidikan Islam yang lebih berbasis pemikiran kritis dan analisis kontekstual meningkatkan pemahaman agama yang lebih mendalam di kalangan peserta didik. Model pengajaran berbasis diskusi dan penelitian lebih efektif dibandingkan metode hafalan semata.
Relevansi hasil kajian dengan Q.S. Al-Najm ayat 20: bahwa penelitian ini menegaskan bahwa pendidikan Islam perlu beradaptasi dengan metode yang lebih analitis, sebagaimana yang dikemukakan dalam tafsir Quraish Shihab. Ini menunjukkan mmbahwa pendekatan pendidikan yang lebih kritis dapat membantu menghindari fanatisme buta dan mempertajam pemahaman terhadap ajaran agama.
Tafsir Syaikh Sya'rawi menyoroti aspek historis dan kritik terhadap penyembahan berhala, sementara Quraish Shihab menekankan pentingnya berpikir rasional. Dalam konteks modern, ayat ini relevan dengan psikologi kepercayaan dan pendidikan kritis. Dua riset terbaru mendukung pentingnya pemikiran kritis dalam memahami agama dan menunjukkan bahwa kecenderungan manusia terhadap kepercayaan mistis adalah bagian dari mekanisme otak. Pendidikan Islam harus beradaptasi dengan pendekatan yang lebih rasional agar lebih relevan di era digital.
0 komentar