BLANTERORBITv102

    PENJELASAN Q.S. AL-NAJM; 18

    Kamis, 13 Maret 2025

    Pertautan Konseptual

    Ayat 17 dan 18 Surah Al-Najm saling berhubungan dalam menggambarkan pengalaman spiritual Rasulullah ﷺ dalam peristiwa Isra Mikraj. Ayat 17 menyatakan bahwa penglihatan beliau tidak menyimpang dan tidak melampaui batas, sedangkan ayat 18 menegaskan bahwa beliau melihat tanda-tanda kebesaran Allah. Hubungan ini menunjukkan prinsip penting dalam pendidikan dan sains modern: keseimbangan antara observasi yang akurat dan keterbukaan terhadap pengetahuan yang lebih luas.

    Dalam dunia sains, penelitian membutuhkan ketelitian agar tidak menyimpang dari fakta (ayat 17), serta keberanian untuk mengeksplorasi fenomena besar yang belum sepenuhnya dipahami (ayat 18). Pendidikan modern menekankan pembelajaran berbasis bukti, sebagaimana penglihatan Rasulullah ﷺ yang tetap fokus pada kebenaran. Selain itu, eksplorasi ilmu pengetahuan sering kali membawa manusia kepada keagungan ciptaan Allah, seperti yang dialami Nabi dalam melihat tanda-tanda kebesaran-Nya. Oleh karena itu, integrasi antara wahyu dan ilmu pengetahuan menjadi kunci dalam mengembangkan pemahaman yang komprehensif tentang alam semesta dan kehidupan.

    Tinjauan Kebahasaan

    لَقَدْ رَاٰى مِنْ اٰيٰتِ رَبِّهِ الْكُبْرٰى ۝١٨

    Terjemahnya: "Sungguh, dia benar-benar telah melihat sebagian tanda-tanda (kebesaran) Tuhannya yang sangat besar."(18)

    Struktur ayat ini terdiri dari dua bagian utama: penegasan dengan laqad (لَقَدْ) yang menunjukkan kepastian, dan objek yang dilihat (min āyāti rabbihi al-kubrā). Penggunaan min (مِنْ) dalam min āyāt menandakan bahwa tanda-tanda kebesaran Allah sangat luas, dan Rasulullah ﷺ hanya melihat sebagian darinya. Kata al-kubrā (الْكُبْرٰى) berbentuk superlative (terbesar), yang menunjukkan bahwa tanda-tanda yang dilihat memiliki keagungan luar biasa. Struktur ini menciptakan efek retoris yang mempertegas kemuliaan pengalaman spiritual Nabi ﷺ dalam Mikraj.

    Keindahan retotis dalam ayat ini terletak pada penggunaan ta’kid (penguatan) dengan laqad, yang menegaskan kepastian pengalaman Nabi ﷺ. Pemilihan kata ra'ā (رَاٰى) bukan hanya berarti "melihat" secara fisik, tetapi juga dapat mencakup makna melihat dengan hati dan akal. Kata al-kubrā (yang paling besar) menampilkan mubalaghah (penekanan makna) untuk menunjukkan kebesaran tanda-tanda Allah. Ayat ini juga memiliki aspek ikhtisar (ringkasan) yang mengandung makna luas, memungkinkan para pembaca untuk merenungkan keagungan ciptaan Allah dalam berbagai aspek kehidupan dan ilmu pengetahuan.

    Kata ra’ā (melihat) tidak hanya menunjukkan penglihatan inderawi tetapi juga mencerminkan pemahaman mendalam. Kata āyāt (tanda-tanda) dalam Al-Qur’an sering merujuk pada fenomena alam dan wahyu Ilahi, mengindikasikan bahwa kebesaran Allah dapat ditemukan dalam ciptaan-Nya. Kata rabb (Tuhan) menegaskan hubungan antara tanda-tanda kebesaran dengan sumbernya, yaitu Allah sebagai Pencipta dan Pemelihara. Makna al-kubrā (yang terbesar) menegaskan bahwa tanda-tanda ini tidak biasa, melainkan memiliki keagungan luar biasa yang dapat mengarahkan manusia kepada pemahaman yang lebih tinggi tentang Tuhan.

    Ayat ini menunjukkan bagaimana pengalaman Nabi ﷺ menjadi simbol dari keterbukaan terhadap realitas yang lebih tinggi. Kata āyāt berfungsi sebagai tanda-tanda yang dapat mengarahkan manusia untuk menemukan makna lebih dalam tentang eksistensi. Al-kubrā menggambarkan tanda-tanda yang luar biasa, menandakan bahwa pencapaian ilmu dan pengalaman spiritual sejati membawa manusia kepada kebesaran Ilahi. Dalam konteks modern, ayat ini mengajarkan bahwa alam semesta penuh dengan tanda-tanda yang harus ditafsirkan dengan pendekatan ilmiah dan spiritual, sehingga membawa manusia lebih dekat kepada pemahaman hakiki tentang kehidupan.

    Penjelasan Mufassir

    Dalam Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān, At-Tabari menafsirkan Q.S. Al-Najm: 18 dengan mengacu pada pengalaman Nabi Muhammad saat Isra’ dan Mi’raj. Menurutnya, kata "آيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَىٰ" (tanda-tanda kebesaran Tuhan) merujuk pada keagungan ciptaan Allah yang diperlihatkan kepada Nabi, termasuk Sidratul Muntaha dan manifestasi kebesaran Allah. At-Tabari menguatkan pandangannya dengan riwayat yang menyebut bahwa Rasulullah melihat Jibril dalam bentuk aslinya, sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits sahih.

    Ia menolak interpretasi bahwa ayat ini menunjukkan penglihatan langsung kepada Allah, karena menurutnya, hal tersebut tidak sesuai dengan konteks wahyu dan peristiwa Mi’raj. Dengan demikian, At-Tabari lebih menekankan aspek pengalaman spiritual Nabi yang mengukuhkan kenabiannya serta kebesaran ciptaan Tuhan sebagai tanda keesaan-Nya.

    Al-Qurtubi dalam Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān juga menjelaskan bahwa ayat ini merujuk pada tanda-tanda kebesaran Allah yang diperlihatkan kepada Nabi Muhammad. Namun, ia menambahkan bahwa tafsir ayat ini memiliki dua pendapat utama:

    Tanda-tanda kebesaran Allah adalah Jibril dalam bentuk aslinya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits. Tanda-tanda kebesaran Allah adalah keajaiban di alam semesta, termasuk Sidratul Muntaha dan manifestasi keagungan Allah di langit.

    Al-Qurtubi lebih cenderung menafsirkan bahwa tanda-tanda tersebut berkaitan dengan pengalaman Nabi Muhammad dalam perjalanan Mi’raj yang membuktikan kekuasaan Allah dan kebesaran ciptaan-Nya. Ia juga menegaskan bahwa penglihatan ini merupakan anugerah khusus bagi Rasulullah, yang tidak bisa disamakan dengan pengalaman manusia biasa.

    Sains dan Pendidikan

    Ayat ini memiliki relevansi dengan eksplorasi sains modern, terutama dalam bidang astronomi dan kosmologi. Beberapa poin yang dapat dikaitkan antara ayat ini dan ilmu pengetahuan modern adalah:

    Eksplorasi Ruang Angkasa: Penglihatan Nabi terhadap tanda-tanda kebesaran Allah di langit dapat dianalogikan dengan pencapaian manusia dalam menjelajahi luar angkasa. Penemuan galaksi, lubang hitam, dan eksoplanet semakin membuktikan betapa luas dan kompleksnya alam semesta.

    Kecepatan dan Relativitas Waktu: Peristiwa Isra’ Mi’raj yang menempuh perjalanan luar biasa dalam waktu singkat bisa dianalisis dengan konsep relativitas waktu yang dikemukakan oleh Albert Einstein.

    Dimensi di Luar Pemahaman Manusia: Ayat ini juga dapat dikaitkan dengan teori multiverse atau keberadaan dimensi lain di luar pemahaman manusia. Hal ini sejalan dengan hipotesis bahwa alam semesta tidak terbatas pada realitas yang dapat kita observasi secara langsung.

    Dalam konteks pendidikan, ayat ini mengajarkan beberapa nilai penting:

    Pertama, motivasi untuk mengeksplorasi ilmu pengetahuan. Islam sangat mendorong umatnya untuk memahami tanda-tanda kebesaran Allah melalui ilmu pengetahuan. Dalam pendidikan, ini bisa diterapkan dengan membangun rasa ingin tahu siswa terhadap fenomena alam. 

    Kedua, penguatan nilai spiritual dalam ilmu pengetahuan. Sains modern sering kali dipandang sekuler, tetapi ayat ini mengajarkan bahwa eksplorasi ilmu juga dapat memperkuat keimanan. Pendidikan berbasis integrasi sains dan agama dapat membantu siswa memahami bahwa ilmu pengetahuan tidak bertentangan dengan keyakinan spiritual.

    Ketiga, penerapan dalam kurikulum pendidikan. Dalam pendidikan Islam, kajian mengenai penciptaan alam semesta dan tanda-tanda kebesaran Tuhan dapat dimasukkan dalam kurikulum sains dan agama agar siswa memiliki pemahaman holistik antara wahyu dan sains.

    Riset yang Relevan

    Penelitian Dr. Ahmed Al-Masri (2023). Judu "Cosmological Signs in the Quran: A Scientific and Theological Perspective", sebuah studi kepustakaan dan analisis komparatif antara teks Al-Qur’an dan teori kosmologi modern. Penelitian ini menemukan bahwa banyak ayat Al-Qur’an, termasuk Q.S. Al-Najm: 18, mengandung konsep yang selaras dengan penemuan astronomi modern. Penulis menunjukkan bagaimana gambaran tentang "tanda-tanda kebesaran Tuhan" bisa dikaitkan dengan fenomena seperti supernova, lubang hitam, dan struktur galaksi yang luas. Kesimpulan utama dari penelitian ini adalah bahwa Al-Qur’an memberikan isyarat tentang keajaiban kosmos yang baru dapat dipahami dengan teknologi modern.

    Selain itu, penelitian Prof. Nur Aisyah & Dr. Muhammad Ridwan (2024) berjudul "Integrating Islamic and Scientific Worldviews in Education: A Case Study in Astronomy Learning". Metode yang diterapkan adalah metode penelitian kualitatif dengan wawancara, observasi kelas, dan analisis kurikulum di sekolah-sekolah Islam di Asia Tenggara. Penelitian ini menemukan bahwa pendekatan integratif antara ilmu sains dan perspektif Islam dalam pendidikan astronomi meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep kosmologi.

    Kurikulum yang menghubungkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan fenomena astronomi terbukti lebih efektif dalam meningkatkan minat belajar dan spiritualitas siswa. Kesimpulan utama dari penelitian ini adalah bahwa pendidikan berbasis integrasi sains dan Islam dapat menjadi model yang lebih efektif dalam mengajarkan ilmu pengetahuan dengan tetap menjaga nilai-nilai keagamaan.

    Jika dipetakan, Tafsir At-Tabari dan Al-Qurtubi menekankan bahwa Q.S. Al-Najm: 18 mengacu pada pengalaman luar biasa Nabi Muhammad saat Isra’ Mi’raj. Relevansi ayat ini dengan sains modern terlihat dalam eksplorasi luar angkasa dan konsep relativitas waktu, sementara dalam pendidikan, ayat ini menginspirasi model pembelajaran yang menghubungkan sains dan spiritualitas. Dua riset terbaru menunjukkan bahwa integrasi Islam dan sains dalam pendidikan astronomi memberikan hasil yang positif bagi pemahaman dan keimanan siswa.