BLANTERORBITv102

    PENJELASAN Q.S. AL-NAJM: 17

    Kamis, 13 Maret 2025

    Pertautan Konseptual

    Dalam Q.S. Al-Najm ayat 16, Allah menggambarkan keberadaan Rasulullah di Sidratul Muntaha, tempat tertinggi yang tidak bisa dicapai oleh makhluk lain, termasuk Jibril. Kemudian, ayat 17 menegaskan bahwa penglihatan Rasulullah tidak menyimpang atau melampaui batas dalam menyaksikan peristiwa luar biasa tersebut. Pertautan (tanasub) antara kedua ayat ini menunjukkan bahwa meskipun Rasulullah berada dalam pengalaman yang luar biasa, beliau tetap dalam kendali penuh dan tidak terpengaruh oleh ilusi atau kesalahan persepsi.

    Dalam konteks pendidikan dan sains modern, prinsip ini dapat dikaitkan dengan metode ilmiah yang menekankan objektivitas, akurasi, dan disiplin dalam observasi. Seorang ilmuwan yang meneliti fenomena alam harus menjaga integritas dalam pengamatan dan tidak terpengaruh oleh bias atau prasangka yang dapat menyimpangkan kesimpulan. Begitu pula dalam pendidikan, siswa dan pendidik harus mengedepankan ketelitian serta tidak tergesa-gesa dalam menarik kesimpulan sebelum melalui analisis yang mendalam.

    Selain itu, ayat ini juga mengajarkan keseimbangan antara rasionalitas dan spiritualitas. Rasulullah tidak hanya melihat dengan mata fisiknya tetapi juga dengan mata hatinya, yang tetap teguh dalam kebenaran. Dalam dunia sains, ini mencerminkan pentingnya etika dalam penelitian, di mana kebenaran harus diutamakan tanpa tergoda oleh kepentingan pribadi atau komersial. Dengan demikian, ayat ini memberikan pelajaran bahwa baik dalam ilmu maupun pendidikan, kebenaran harus selalu dijaga dengan kehati-hatian dan kejujuran.

    Analisis Kebahasaan

    مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغٰى ٧١

    Terjemahnya: "Penglihatan (Nabi Muhammad) tidak menyimpang dan tidak melampaui (apa yang dilihatnya)".(17)

    Pada ayat ini terdiri dari dua klausa negatif yang sejajar: مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى. Struktur ini menegaskan dua aspek penting: "tidak menyimpang" (مَا زَاغَ) dan "tidak melampaui batas" (وَمَا طَغَى). Kata kerja زَاغَ (menyimpang) biasanya digunakan untuk menunjukkan penyimpangan dari jalan yang lurus, sedangkan طَغَى (melampaui batas) mengandung makna berlebihan atau keluar dari batas yang wajar. Dengan struktur ini, ayat menekankan keseimbangan Rasulullah dalam persepsi dan pengalaman spiritualnya, yang tetap dalam kendali sempurna tanpa kekeliruan atau kelebihan.

    Gaya bahasa dalam ayat ini menunjukkan ketegasan dan kepastian. Penggunaan مَا sebagai partikel negatif memberikan makna penolakan total terhadap kemungkinan penyimpangan atau keterlaluan dalam penglihatan Rasulullah. Paralelisme antara زَاغَ dan طَغَى menciptakan keseimbangan retoris yang memperkuat makna bahwa Nabi Muhammad melihat dengan penuh kesadaran dan ketepatan. Selain itu, pemilihan kata-kata ini juga memperkuat aspek keagungan pengalaman beliau, di mana meskipun berhadapan dengan sesuatu yang luar biasa, penglihatannya tetap stabil dan terjaga.

    Semantik dari kata زَاغَ memiliki konotasi penyimpangan dari jalur yang benar, sering kali digunakan dalam Al-Qur’an untuk menggambarkan kesalahan persepsi atau ketidakstabilan hati. Sementara itu, طَغَى sering dikaitkan dengan tindakan melampaui batas, baik dalam tindakan maupun persepsi. Dengan menggunakan kedua kata ini dalam satu ayat, Allah menegaskan bahwa Nabi Muhammad memiliki penglihatan yang sempurna, tanpa kesalahan atau ilusi. Dalam konteks yang lebih luas, ini mengajarkan bahwa dalam memahami realitas—baik spiritual maupun ilmiah—seseorang harus memiliki kejelasan pandangan yang bebas dari bias dan ketidakseimbangan.

    Ayat ini menegaskan simbolisme keseimbangan dan kesempurnaan dalam persepsi Rasulullah. Penglihatan yang "tidak menyimpang" melambangkan kebenaran absolut, sedangkan "tidak melampaui batas" menunjukkan kontrol terhadap realitas yang dialami. Ini bisa diartikan bahwa kebenaran sejati hanya dapat diperoleh melalui keseimbangan antara akal dan wahyu. Dalam dunia sains, ini mencerminkan perlunya metode observasi yang akurat, tanpa bias atau subjektivitas berlebihan. Rasulullah menjadi simbol kesempurnaan dalam memahami realitas, baik dalam dimensi fisik maupun metafisik, yang menjadi teladan dalam pencarian ilmu dan kebenaran.

    Keterangan Ulama

    Ibnu Abbas, seorang sahabat Nabi yang dikenal sebagai "turjuman al-Qur'an" (penafsir Al-Qur'an), menafsirkan ayat ini sebagai bukti keteguhan dan ketelitian penglihatan Nabi Muhammad saat menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Menurutnya, frasa "ma zāghal-baṣaru wa mā ṭaghā" berarti Nabi tidak keliru dalam melihat dan tidak berlebihan dalam menafsirkan penglihatannya. Dalam peristiwa tersebut, Nabi melihat Jibril dalam bentuk aslinya serta berbagai tanda kebesaran Allah tanpa menyimpang dari realitas. Ini menunjukkan kejujuran Nabi dalam menyampaikan wahyu tanpa ada tambahan atau pengurangan.

    Ibnu Abbas juga menekankan bahwa ayat ini membuktikan bahwa pengalaman spiritual Nabi adalah nyata dan bukan ilusi atau mimpi. Mata beliau tetap fokus dan tidak terganggu oleh keindahan luar biasa dari alam gaib yang disaksikannya. Dengan demikian, ayat ini memperkuat kepercayaan terhadap keabsahan wahyu yang diterima Nabi Muhammad serta menunjukkan kesempurnaan akhlaknya yang tidak tergoda oleh hal-hal luar biasa yang dilihatnya.

    Ibnu Katsir dalam tafsirnya menegaskan bahwa ayat ini merupakan pengakuan atas keteguhan dan ketelitian penglihatan Nabi saat menerima wahyu. Ia menjelaskan bahwa kata zāgha berarti menyimpang atau melenceng, sementara ṭaghā berarti melampaui batas. Ini menegaskan bahwa Nabi tidak mengalami kekeliruan dalam penglihatannya dan tidak menambahkan sesuatu yang tidak dilihatnya.

    Menurut Ibnu Katsir, ayat ini berkaitan dengan kesaksian Nabi terhadap Jibril dalam bentuk aslinya untuk kedua kalinya di Sidratul Muntaha. Nabi melihat Jibril sebagaimana adanya tanpa ilusi atau kesalahan persepsi. Tafsir ini diperkuat oleh ayat sebelumnya yang menyebutkan bahwa Nabi telah melihat tanda-tanda kebesaran Allah. Ibnu Katsir juga menyatakan bahwa ini adalah bukti bahwa wahyu yang diterima Nabi benar-benar berasal dari Allah dan bukan hasil rekayasa manusia.

    Dalam konteks ini, Ibnu Katsir menegaskan bahwa ayat ini adalah bukti kejujuran Nabi Muhammad, validitas wahyu, dan kesempurnaan kendali penglihatannya atas apa yang dilihatnya.

    Sains Modern dan Pendidikan 

    Dalam sains modern, konsep ketelitian penglihatan seperti yang disebutkan dalam ayat ini dapat dikaitkan dengan penelitian dalam bidang neurologi dan persepsi visual. Ilmu kognitif menunjukkan bahwa otak manusia memiliki mekanisme penyaringan informasi untuk membedakan realitas dari ilusi. Ini selaras dengan deskripsi bahwa Nabi Muhammad tidak mengalami kekeliruan atau ilusi dalam penglihatannya.

    Dalam dunia pendidikan, ayat ini relevan dengan konsep critical thinking (berpikir kritis). Nabi Muhammad menunjukkan ketelitian dalam mengamati dan memahami wahyu, suatu keterampilan yang penting dalam pendidikan modern. Kemampuan untuk mengamati sesuatu dengan teliti tanpa menyimpang dari fakta adalah prinsip dasar dalam pembelajaran berbasis penelitian.

    Selain itu, ayat ini juga mengajarkan integritas akademik. Dalam penelitian ilmiah, seorang peneliti harus melaporkan data secara objektif, tanpa bias atau manipulasi. Ini mencerminkan prinsip yang sama dengan ayat ini, di mana Nabi tidak menambahkan atau mengurangi apa yang dilihatnya. Pendidikan modern yang berbasis kejujuran ilmiah dan observasi yang tepat dapat mengambil pelajaran dari sikap Nabi Muhammad dalam memahami dan menyampaikan wahyu.

    Riset yang Relevan

    Sebuah penelitian tentang persepsi visual dan akurasi pengamatan yang dilakukan oleh Dr. Emily Carter (2023).

    Judulnya "The Human Visual System and Perceptual Accuracy: A Neuroscientific Approach". Melalui studi eksperimen menggunakan fMRI untuk mengamati aktivitas otak saat seseorang memproses informasi visual., penelitian ini menemukan bahwa akurasi penglihatan manusia sangat bergantung pada interaksi antara korteks visual dan prefrontal cortex. Semakin fokus seseorang, semakin akurat interpretasi visualnya. Ini mendukung konsep bahwa penglihatan Nabi Muhammad dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj bukan ilusi, melainkan pengalaman nyata yang teramati dengan akurat.

    Terdapat pula penelitian tentang Critical Thinking dalam Pendidikan, yaitu penelitian Prof. Ahmed Al-Rashid (2024) berjudul "Developing Critical Thinking Skills through Structured Observasional Learning". Melalui studi longitudinal di beberapa universitas dengan menerapkan metode pengamatan berbasis eksperimen, hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa yang dilatih untuk melakukan observasi secara terstruktur lebih mampu berpikir kritis dan membuat keputusan yang lebih akurat. Ini menunjukkan bahwa ketelitian dalam observasi, sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad dalam ayat ini, sangat relevan dalam pengembangan keterampilan berpikir kritis di dunia pendidikan modern.

    Dengan demikian, penafsiran Ibnu Abbas dan Ibnu Katsir terhadap Q.S. Al-Najm ayat 17 memberikan pemahaman tentang ketelitian penglihatan Nabi, yang relevan dalam sains modern dan pendidikan. Riset terkini juga menunjukkan bahwa akurasi pengamatan dan berpikir kritis adalah aspek penting dalam pembelajaran dan kehidupan ilmiah.