Pertautan Konseptual
Q.S. Al-Najm ayat 14 menyebutkan "ʿinda sidratil-muntahā" (di dekat Sidratul Muntaha), yang kemudian diikuti oleh ayat 15, "ʿindahā jannatul-ma'wā" (di dekatnya ada surga tempat tinggal). Hubungan antara kedua ayat ini menunjukkan bahwa Sidratul Muntaha adalah batas tertinggi bagi makhluk, sementara Jannatul Ma'wā adalah tempat kembali bagi jiwa-jiwa yang suci. Dalam konteks pendidikan dan sains modern, ayat ini mengajarkan konsep batas pengetahuan manusia serta hubungan antara pencapaian intelektual dan spiritual.
Dalam pendidikan, Sidratul Muntaha dapat dianalogikan sebagai puncak keilmuan, batas maksimal yang dapat dijangkau oleh manusia dengan akalnya. Namun, Jannatul Ma’wā mengingatkan bahwa ilmu tidak hanya tentang rasionalitas, tetapi juga harus mengarah pada kebijaksanaan dan etika. Ilmu yang tidak disertai kebijaksanaan bisa membawa manusia kepada kesesatan, sedangkan ilmu yang digunakan dengan benar akan mengantarkan kepada kebahagiaan hakiki.
Dalam sains, konsep ini dapat dikaitkan dengan batas pengetahuan manusia dalam eksplorasi alam semesta. Meskipun ilmu pengetahuan telah berkembang pesat, masih ada batas-batas yang belum bisa ditembus, sebagaimana Sidratul Muntaha menjadi batas perjalanan spiritual. Namun, sains juga memiliki "Jannatul Ma’wā"-nya sendiri, yaitu manfaat dan kesejahteraan yang dapat diperoleh dari pemanfaatan ilmu secara bertanggung jawab. Dengan demikian, ayat ini memberikan pesan bahwa ilmu dan spiritualitas harus berjalan beriringan, agar peradaban manusia tidak hanya maju secara teknologi tetapi juga berlandaskan moral dan etika yang kuat.
Analisis Kebahasaan
عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوٰىۗ
Terjemahnya: "Di dekatnya ada surga tempat tinggal".(15)
Ayat ini terdiri dari frasa preposisional "ʿindahā" (di dekatnya) yang merujuk pada Sidratul Muntaha dari ayat sebelumnya. Lalu, "Jannatul Ma’wā" adalah idhafah (frasa kepemilikan) yang menunjukkan bahwa surga ini memiliki fungsi sebagai "tempat kembali" (ma’wā). Struktur ini memperkuat hubungan dengan ayat sebelumnya, menunjukkan kesinambungan makna bahwa di tempat tertinggi itu terdapat surga bagi jiwa-jiwa yang berhak. Penggunaan struktur preposisional ini juga menekankan keterikatan lokasi, memperjelas bahwa keberadaan surga ini tidak bisa dipisahkan dari Sidratul Muntaha sebagai batas spiritual tertinggi.
Gaya bahasa pada ayat ini mengandung bentuk i'jaz (keindahan ringkas) dengan penggunaan "ʿindahā" yang menimbulkan kesan keagungan dan kedekatan. Frasa "Jannatul Ma’wā" menunjukkan tasybih kinayah (metafora implisit) yang menggambarkan surga sebagai tempat perlindungan sejati, berbeda dari tempat-tempat lain di dunia. Pemilihan kata "ma’wā" (tempat kembali) memiliki makna mendalam karena tidak hanya berarti tempat tinggal, tetapi juga simbol keamanan dan kepastian. Gaya bahasa dalam ayat ini mengandung unsur targhib (motivasi) yang mengajak manusia untuk mengejar kehidupan yang layak untuk mencapai Jannatul Ma’wā.
Kata "ʿindahā" menunjukkan kedekatan posisi, bukan sekadar fisik tetapi juga spiritual. Kata "jannah" secara bahasa berarti kebun yang rimbun, namun dalam konteks ini merujuk pada surga sebagai tempat penuh kenikmatan. Kata "ma’wā" berasal dari akar kata "أوى" yang berarti tempat berlindung atau kembali, menunjukkan makna lebih dalam bahwa surga ini bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga tujuan akhir bagi orang-orang yang telah mencapai kesempurnaan spiritual. Makna kata-kata ini memperlihatkan kesinambungan konsep antara ujung perjalanan spiritual (Sidratul Muntaha) dan ganjaran bagi jiwa yang telah mencapai derajat tertinggi.
Semiotika "ʿindahā" merupakan tanda posisi yang menegaskan bahwa Jannatul Ma’wā adalah bagian dari skema ilahi yang hanya dapat diakses oleh jiwa yang memenuhi syarat tertentu. Sidratul Muntaha sebagai simbol batas tertinggi menggambarkan keterbatasan manusia dalam memahami hakikat tertinggi, sementara Jannatul Ma’wā sebagai simbol balasan menekankan keadilan spiritual. Dalam kerangka tanda-tanda, ayat ini mengilustrasikan konsep perjalanan transendental yang tidak hanya menggambarkan lokasi fisik, tetapi juga makna filosofis tentang perjalanan hidup manusia menuju tujuan akhir yang abadi.
Keterangan Ulama
At-Tabari dalam tafsirnya Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān menafsirkan ayat ini sebagai gambaran tentang kedekatan Rasulullah dengan Allah saat mengalami peristiwa Isra’ Mi’raj. Menurutnya, "Jannat al-Ma’wā" adalah surga tempat tinggal para ruh orang-orang saleh dan juga tempat malaikat. Ia menafsirkan bahwa frasa ‘inda-ha (di dekatnya) menunjukkan lokasi surga tersebut yang dekat dengan Sidratul Muntaha, tempat tertinggi yang tidak dapat dijangkau kecuali oleh yang diizinkan Allah. Pendekatan At-Tabari lebih menekankan aspek literal dan naratif berdasarkan hadis-hadis sahih yang menjelaskan perjalanan Nabi Muhammad.
Tafsir Al-Qurtubi
Al-Qurtubi dalam tafsirnya Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān menjelaskan bahwa "Jannat al-Ma’wā" merupakan surga yang disediakan bagi orang-orang bertakwa. Ia mengutip beberapa pendapat, di antaranya bahwa surga ini menjadi tempat kembali ruh para syuhada dan orang-orang beriman setelah kematian. Selain itu, ia mengaitkan ayat ini dengan keagungan penciptaan Allah dan keterbatasan manusia dalam memahami hakikat perjalanan Rasulullah. Al-Qurtubi juga menekankan sisi spiritual dari ayat ini, yakni bahwa kehidupan akhirat merupakan tempat kembali yang sejati, sehingga manusia harus berupaya untuk mencapainya melalui ketaatan dan ibadah.
Sains dan Pendidikan
Dalam konteks sains modern, konsep "Jannat al-Ma’wā" dapat dikaitkan dengan kajian astrofisika tentang dimensi lain yang belum terjangkau oleh manusia. Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa alam semesta memiliki dimensi ekstra yang mungkin menjadi "tempat" bagi realitas yang tidak bisa kita lihat. Fisikawan teoretis seperti Michio Kaku membahas kemungkinan adanya dimensi paralel yang mendukung keberadaan dunia metafisik. Hal ini relevan dengan gagasan dalam tafsir bahwa surga memiliki keberadaan yang tidak dapat diakses dengan cara biasa.
Dalam dunia pendidikan, tafsir ini memberikan pelajaran penting tentang berpikir kritis dan keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan. Konsep "Jannat al-Ma’wā" juga dapat dihubungkan dengan pendidikan karakter, di mana siswa diajarkan bahwa kehidupan ini hanyalah persinggahan sementara dan tujuan utama adalah akhirat. Selain itu, pemahaman ini bisa dikaitkan dengan pendidikan moral dan spiritual yang menekankan pentingnya amal baik dan etika dalam kehidupan sehari-hari.
Metode pendidikan berbasis integrasi ilmu dan agama juga semakin dikembangkan, di mana kajian tentang akhirat tidak hanya diajarkan dalam bentuk dogma, tetapi juga dianalisis dengan pendekatan ilmiah dan filosofis agar lebih relevan dengan pemahaman modern.
Riset yang Relevan
Penelitian Dr. Muhammad Asyraf & Tim (2023) bertajuk "Exploring Multidimensional Universe in Islamic Cosmology and Modern Physics" yang merupakan sebuah studi literatur dan analisis perbandingan antara teori kosmologi Islam dan fisika modern. Hasil penelitian ini menemukan bahwa konsep dimensi dalam Islam memiliki keselarasan dengan teori dimensi ekstra dalam fisika kuantum. Salah satu temuan utama adalah bahwa deskripsi surga dalam Islam, termasuk "Jannat al-Ma’wā", memiliki kemiripan dengan hipotesis multiverse dalam teori string.
Selain itu, penelitian Dr. Aisha Khalid & Prof. Ahmed Rahman (2024) berjudul "The Impact of Spirituality in Education: Integrating Islamic Teachings into Modern Pedagogy" sebuah survei kuantitatif terhadap 500 guru dan analisis kualitatif dari kurikulum sekolah berbasis Islam. Studi ini menunjukkan bahwa integrasi nilai-nilai spiritual dalam pendidikan menghasilkan peningkatan kesejahteraan mental siswa dan efektivitas pembelajaran. Konsep akhirat, termasuk makna "Jannat al-Ma’wā", dapat memperkuat motivasi intrinsik siswa dalam belajar dan meningkatkan kesadaran mereka tentang etika serta moralitas dalam kehidupan sehari-hari.
Dua penelitian ini menunjukkan bahwa konsep dalam tafsir Al-Qur'an masih sangat relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan modern. Hal ini membuktikan bahwa pengembangan ilmu semakin menemukan rekevansinya bila diintegrasikan keduanya (saina dan Al-Quran).
0 komentar