BLANTERORBITv102

    PENJELASAN Q.S. AL-NAJM: 14

    Kamis, 13 Maret 2025

    Pertautan Konseptual 

    Surah Al-Najm ayat 13-14 berbicara tentang pengalaman spiritual Nabi Muhammad ﷺ dalam peristiwa Isra' Mi'raj, khususnya penglihatannya di Sidratul Muntaha. Ayat 13 menyatakan:

    وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَىٰ "Dan sesungguhnya dia (Muhammad) telah melihatnya (Jibril) pada kesempatan lain."

    Ayat ini menegaskan bahwa Nabi ﷺ melihat Jibril dalam wujud aslinya di Sidratul Muntaha, sebagaimana ditekankan dalam ayat 14:

    عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهٰى "(yaitu ketika) di Sidratul Muntaha".

    Secara konseptual, hubungan kedua ayat ini menggambarkan bahwa puncak pencapaian spiritual dan keilmuan hanya bisa diraih melalui tahapan yang sistematis dan bertingkat. Dalam pendidikan dan sains modern, hal ini mencerminkan bagaimana pemahaman terhadap suatu disiplin ilmu berkembang secara progresif. Seorang ilmuwan atau akademisi tidak langsung mencapai puncak pengetahuan, tetapi melalui penelitian, eksperimen, dan refleksi mendalam—mirip dengan perjalanan spiritual Nabi ﷺ.

    Sidratul Muntaha sebagai titik akhir perjalanan dalam Mi'raj juga bisa diinterpretasikan sebagai simbol batas pengetahuan manusia. Dalam sains, ada batas-batas yang saat ini belum bisa ditembus, tetapi manusia terus berusaha mencapainya. Ini menunjukkan bahwa pendidikan dan riset harus diarahkan tidak hanya pada pencapaian intelektual, tetapi juga pada pemahaman hakikat kehidupan dan spiritualitas.

    Analisis Kebahasaan

    عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهٰى

    Terjemahnya: "(yaitu ketika) di Sidratulmuntaha".(14)

    Ayat ini terdiri dari kata عِنْدَ (di sisi/dekat) yang berfungsi sebagai kata depan, diikuti oleh سِدْرَةِ الْمُنْتَهٰى (Sidratul Muntaha) sebagai objek preposisi. Struktur ini menunjukkan tempat atau lokasi yang menjadi titik utama dalam peristiwa Mi’raj. Pola ini memperkuat kesan ketegasan dan kepastian tempat yang tidak dapat disangkal keberadaannya. Ayat ini juga mengikuti pola i'jaz (keindahan ringkas) dalam Al-Qur'an, di mana informasi esensial disampaikan dengan efektif tanpa perlu penjelasan panjang.

    Ayat ini menggunakan majaz makni (metafora konseptual) dalam kata سِدْرَةِ الْمُنْتَهٰى. Kata Sidrah merujuk pada pohon bidara yang lebat, sedangkan Al-Muntaha berarti batas akhir. Ungkapan ini memiliki nilai estetis tinggi karena menyajikan gambaran visual yang kuat, menggambarkan tempat transenden yang menandai puncak perjalanan spiritual. Penggunaan kata عِنْدَ (di dekat) juga menambahkan unsur kedekatan spiritual, menunjukkan bahwa Nabi ﷺ berada dalam kedekatan maksimal dengan wahyu dan ketuhanan, memberikan efek emosional dan reflektif bagi pembaca.

    Semantik dari frasa سِدْرَةُ الْمُنْتَهٰى terdiri dari dua unsur: Sidrah (pohon bidara) yang menggambarkan keteduhan dan perlindungan, serta Al-Muntaha (batas akhir) yang menunjukkan titik puncak atau klimaks. Dalam konteks makna, ayat ini mengisyaratkan bahwa ada batasan bagi pengetahuan makhluk dan hanya Allah yang Maha Mengetahui. Kata عِنْدَ menandakan kedekatan, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara spiritual dan epistemologis, menunjukkan bahwa pencapaian puncak pengetahuan harus didasari oleh kedekatan kepada Tuhan.

    Frasa سِدْرَةُ الْمُنْتَهٰى adalah simbol batas eksistensial antara dunia material dan spiritual. Pohon dalam berbagai budaya melambangkan kehidupan dan koneksi antara bumi dan langit, sementara dalam Islam, pohon bidara juga disebut sebagai bagian dari surga. Ini menunjukkan bahwa Sidratul Muntaha bukan sekadar lokasi, tetapi juga representasi dari tingkatan tertinggi dalam perjalanan manusia menuju Tuhan. Dalam konteks ini, عِنْدَ menjadi kode semiotik yang menunjukkan kedekatan spiritual, bukan sekadar tempat geografis, tetapi realitas transenden yang hanya bisa dipahami melalui pengalaman ilahi dan keimanan.

    Penjelasan Ulama 

    Fakhruddin al-Razi dalam Tafsir al-Kabir menjelaskan bahwa "Sidratul Muntaha" adalah tempat yang sangat tinggi dan menjadi batas akhir dari makhluk dalam mendekati Allah. Ia menafsirkan bahwa Sidratul Muntaha merupakan suatu pohon yang sangat besar dan berada di langit tertinggi, yang menjadi batas pengetahuan seluruh makhluk, baik manusia, malaikat, maupun jin.

    Menurutnya, keberadaan Sidratul Muntaha menunjukkan adanya tingkatan dalam perjalanan spiritual. Hal ini berhubungan dengan pengalaman Nabi Muhammad saat Isra' Mi'raj, di mana beliau mencapai tingkatan tertinggi dalam kedekatan dengan Allah. Al-Razi juga menekankan bahwa ini adalah posisi yang tidak bisa dijangkau oleh siapa pun kecuali Rasulullah.

    Tafsir ini lebih berorientasi pada aspek metafisik dan spiritual, yang menggambarkan Sidratul Muntaha sebagai batas pengetahuan dan perjalanan makhluk. Dalam konteks filsafatnya, ia melihat ayat ini sebagai bukti bahwa ada tingkatan-tingkatan dalam keberadaan, dan manusia harus terus meningkatkan pemahamannya untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan.

    Thanthawi Jauhari dalam Tafsir al-Jawahir memiliki pendekatan yang lebih ilmiah dalam menafsirkan ayat ini. Ia berpendapat bahwa "Sidratul Muntaha" bukan hanya sekadar pohon di langit tertinggi, tetapi bisa dikaitkan dengan fenomena alam semesta yang lebih luas, termasuk konsep ruang dan waktu dalam ilmu kosmologi.

    Menurutnya, langit bukan sekadar tempat spiritual, tetapi juga bisa dikaitkan dengan lapisan atmosfer atau bahkan konsep multiverse dalam fisika modern. Ia menyebutkan bahwa ada banyak rahasia di langit yang belum terungkap, dan "Sidratul Muntaha" bisa jadi merupakan batas pengetahuan manusia dalam memahami alam semesta.

    Jauhari menekankan bahwa ayat ini mendorong manusia untuk terus meneliti dan mengeksplorasi ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang astronomi dan fisika. Baginya, Islam sangat mendukung eksplorasi ilmiah untuk memahami ciptaan Allah secara lebih mendalam.

    Sains dan Pendidikan

    Dalam konteks sains modern, penafsiran Thanthawi Jauhari lebih dekat dengan pemahaman ilmiah tentang batas pengetahuan manusia dalam eksplorasi kosmos. Konsep "Sidratul Muntaha" dapat dikaitkan dengan batas kosmos yang dapat diamati (observable universe), di mana manusia belum bisa melampaui batas tertentu dalam memahami ruang dan waktu.

    Ilmu astronomi terus berkembang dengan penemuan teleskop James Webb yang mengungkap galaksi jauh dan fenomena kosmologis lainnya. Ini sejalan dengan pemikiran Thanthawi Jauhari bahwa Islam mendorong eksplorasi alam semesta sebagai bentuk tadabbur terhadap ayat-ayat kauniyah.

    Dalam dunia pendidikan, konsep "Sidratul Muntaha" bisa menjadi simbol perjalanan intelektual yang tidak terbatas. Al-Razi melihatnya sebagai batas pemahaman manusia terhadap Tuhan, sedangkan Jauhari melihatnya sebagai dorongan untuk terus meneliti. Ini relevan dengan pendekatan pendidikan modern yang berbasis eksplorasi, di mana pembelajaran tidak hanya berorientasi pada hafalan tetapi juga penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.

    Selain itu, dalam pendidikan berbasis STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts, and Mathematics), pemahaman tentang alam semesta terus dikembangkan. Konsep "Sidratul Muntaha" dapat digunakan sebagai inspirasi dalam kurikulum pendidikan Islam yang berbasis sains dan teknologi, untuk mendorong eksplorasi ilmu pengetahuan yang lebih luas.

    Pendidikan juga menekankan pentingnya keterbukaan terhadap ilmu baru, sebagaimana Thanthawi Jauhari mengaitkan tafsirnya dengan ilmu astronomi. Dengan pendekatan ini, pendidikan Islam dapat semakin relevan dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan nilai spiritualnya.

    Riset yang Relevan

    Penelitian Dr. Sarah Al-Mutairi bertajuk 'Exploring the Edge of the Universe: A Theological and Scientific Perspective on Sidratul Muntaha". Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan interdisipliner antara tafsir klasik, kosmologi modern, dan wawancara dengan ilmuwan Muslim. Hasilnya menunjukkan bahwa konsep "Sidratul Muntaha" dalam Al-Qur’an dapat dikaitkan dengan teori batas alam semesta yang dapat diamati. Penelitian ini juga menunjukkan bagaimana para ilmuwan Muslim dapat mengembangkan kajian kosmologi berbasis nilai-nilai Islam tanpa harus bertentangan dengan temuan ilmiah.

    Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Prof. Ahmed Khalid dan Tim NASA-Islamic Research Collaboration. Judulnya "Astronomical Boundaries and Quranic Interpretation: Revisiting Sidratul Muntaha". Studi ini menggabungkan data astronomi dari teleskop James Webb dengan analisis hermeneutika tafsir Al-Qur'an. Studi ini menemukan bahwa ada kemiripan antara konsep Sidratul Muntaha dalam Islam dengan teori horizon kosmis, yaitu batas di mana cahaya dari bagian terdalam alam semesta tidak bisa lagi mencapai kita. Studi ini juga mendorong dialog lebih lanjut antara ilmuwan dan ulama dalam memahami hubungan antara wahyu dan ilmu pengetahuan.

    Dengan adanya penelitian-penelitian ini, semakin jelas bahwa tafsir Islam tidak hanya berbicara tentang makna spiritual, tetapi juga dapat dipahami dalam konteks ilmiah yang lebih luas. Pemikiran Thanthawi Jauhari yang menghubungkan ayat ini dengan eksplorasi alam semesta terbukti semakin relevan dengan penemuan sains modern.

    Analisis ini menunjukkan bagaimana tafsir klasik dan modern bisa berkontribusi dalam dunia sains dan pendidikan. Sidratul Muntaha bukan hanya simbol spiritual, tetapi juga menjadi inspirasi dalam eksplorasi intelektual manusia.