BLANTERORBITv102

    PENJELASAN Q.S. AL-NAJM: 13

    Kamis, 13 Maret 2025

    Relasi Konseptual

    Surah Al-Najm ayat 12 dan 13 membentuk kesinambungan makna dalam memahami pengalaman spiritual Nabi Muhammad ﷺ. Ayat 12 menyoroti sikap skeptis kaum Quraisy terhadap pengalaman Nabi melihat Jibril dalam bentuk aslinya, sementara ayat 13 menegaskan bahwa peristiwa tersebut terjadi kembali dalam momen yang lain. Dalam konteks pendidikan dan sains modern, pertautan ini mengajarkan pentingnya keterbukaan intelektual terhadap fenomena yang melampaui pemahaman empiris.

    Sama seperti ilmu pengetahuan yang berkembang melalui observasi berulang dan validasi, pengalaman Nabi yang disaksikan kembali dalam ayat 13 memperkuat otentisitasnya. Dalam pendidikan, ini mengajarkan bahwa pemahaman mendalam terhadap suatu konsep sering kali memerlukan pengalaman berulang. Sains juga bekerja dengan prinsip serupa—teori diperkuat dengan eksperimen berulang untuk mengonfirmasi kebenarannya.

    Dengan demikian, ayat ini mengajarkan bahwa dalam mencari ilmu, seseorang tidak boleh terjebak dalam skeptisisme tanpa dasar, tetapi juga harus terbuka terhadap pembelajaran progresif yang didasarkan pada pengalaman dan bukti. Perspektif ini sangat relevan dalam sains modern, di mana kemajuan ilmu sering kali terjadi ketika peneliti bersedia menerima kemungkinan baru yang sebelumnya tidak terbayangkan.

    Tinjauan Kebahasaan

    3وَلَقَدْ رَاٰهُ نَزْلَةً اُخْرٰىۙ

    Terjemanya: "Sungguh, dia (Nabi Muhammad) benar-benar telah melihatnya (dalam rupa yang asli) pada waktu yang lain".(13).

    Ayat 13 terdiri dari kalimat afirmatif yang ttg diawali dengan laqad (لَقَدْ), yang berfungsi sebagai penegasan kuat bahwa Nabi benar-benar melihat Jibril. Struktur ayat ini sederhana tetapi memiliki makna mendalam. Frasa رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَىٰ menunjukkan kesinambungan pengalaman Nabi dengan Jibril, menghubungkan ayat ini dengan peristiwa di ayat sebelumnya. Penggunaan kata ukhra (أُخْرَىٰ) mempertegas bahwa pengalaman tersebut bukan hanya sekali terjadi, melainkan ada momen lain yang mengukuhkan validitasnya. Struktur ini menekankan kesinambungan pengalaman spiritual dalam perjalanan kenabian.

    Ayat ini menggunakan taukid (penegasan) dengan kata laqad untuk memperkuat kepastian peristiwa. Selain itu, pemilihan kata nazlatan (نَزْلَةً) menunjukkan bahwa pengalaman ini terjadi secara spesifik dan bukan kebetulan. Susunan ayat ini juga mencerminkan uslub ikhbari (gaya informatif) yang memastikan kebenaran pengalaman Nabi, sekaligus memberikan makna retoris yang menggugah bagi pendengarnya. Kejelasan dan ketegasan dalam pemilihan diksi menunjukkan betapa pentingnya peristiwa ini dalam menegaskan kebenaran wahyu.

    Kata رَآهُ (ra’āhu, "melihatnya") merujuk pada pengalaman visual langsung Nabi terhadap Jibril, bukan dalam bentuk biasa, tetapi dalam bentuk aslinya. Kata نَزْلَةً (nazlatan) berasal dari akar kata nazala, yang berarti "turun," menandakan bahwa pengalaman ini melibatkan kedatangan Jibril dari tempat yang lebih tinggi. أُخْرَىٰ (ukhra, "yang lain") memperjelas bahwa ini adalah pengalaman kedua, yang berkaitan erat dengan peristiwa di Sidratul Muntaha. Secara keseluruhan, makna ayat ini menekankan bahwa pengalaman spiritual bisa terjadi berulang kali untuk memperkuat keyakinan.

    Pada ayat ini terdapat simbolisme kuat dalam konteks pengalaman transendental. Kata رَآهُ menandakan pengalaman langsung sebagai bentuk hubungan antara manusia dan wahyu. نَزْلَةً mencerminkan makna turun atau penyampaian pengetahuan dari dimensi ilahi ke dunia manusia. Makna أُخْرَىٰ juga mengisyaratkan bahwa kebenaran sering kali tidak bersifat statis tetapi terus berulang dan dikonfirmasi. Dalam konteks lebih luas, ini menunjukkan bahwa dalam pencarian ilmu, pengalaman dan pemahaman seseorang harus melalui proses bertahap dan dapat mengalami pembaharuan seiring waktu.

    Penjelasan Ulama Tafsir

    Ibnu Abbas menafsirkan ayat ini dengan menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW melihat Jibril dalam bentuk aslinya untuk kedua kalinya, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat lain bahwa peristiwa ini terjadi di Sidratul Muntaha saat Isra Mikraj. Pandangan ini mengacu pada pengalaman Nabi yang melihat Jibril dalam wujudnya yang nyata, sebagaimana ia diciptakan oleh Allah, bukan dalam bentuk manusia seperti yang biasa terjadi dalam wahyu. Menurut Ibnu Abbas, peristiwa ini mempertegas bahwa wahyu yang diterima Nabi benar-benar berasal dari Allah dan bukan hasil imajinasi atau ilusi.

    Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini merujuk pada pertemuan kedua Nabi Muhammad dengan Jibril dalam bentuk aslinya. Menurutnya, pertemuan ini terjadi di Sidratul Muntaha pada malam Isra Mikraj. Ibnu Katsir mengaitkannya dengan ayat sebelumnya, yang menekankan bahwa Nabi tidak berbicara berdasarkan hawa nafsunya, melainkan menerima wahyu langsung dari Allah. Dengan demikian, peristiwa ini menjadi bukti kuat akan kebenaran kenabian Muhammad SAW.

    Sains Modern dan Pendidikan

    Dalam konteks sains modern, peristiwa ini berkaitan dengan konsep realitas non-materi dan persepsi manusia terhadap dimensi yang lebih tinggi. Ilmu fisikaf kuantum telah mengungkap kemungkinan adanya dimensi di luar yang bisa diamati manusia, sebagaimana dijelaskan dalam teori multiverse atau ekstra dimensi dalam teori string. Dalam hal ini, pengalaman Nabi Muhammad saat melihat Jibril bisa dikaitkan dengan interaksi antara dimensi spiritual dan dunia fisik.

    Dari perspektif psikologi kognitif dan ilmu saraf, pengalaman transendental seperti yang dialami Nabi Muhammad bisa dikaji dalam konteks persepsi dan kesadaran manusia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa otak manusia memiliki kapasitas untuk mengalami realitas di luar pengalaman fisik biasa, yang dalam Islam disebut sebagai pengalaman ruhani atau ilham.

    Dalam pendidikan, konsep dari ayat ini dapat dijadikan bahan ajar dalam pembelajaran agama Islam dengan pendekatan integrasi sains dan spiritualitas. Mengajarkan pemahaman tentang wahyu dengan pendekatan ilmiah dapat membantu siswa memahami bahwa Islam tidak bertentangan dengan sains, melainkan justru mendukung pencarian ilmu. Metode pembelajaran berbasis refleksi spiritual dan eksplorasi ilmiah juga dapat diterapkan agar siswa mampu memahami bagaimana wahyu Allah memiliki relevansi dengan kehidupan modern.

    Riset yang Relevan

    Penelititian Dr. Ahmed Al-Rashid berjudul "Quantum Consciousness and the Perception of Transcendental Realities: A Neuroscientific Approach", sebuah studi literatur dan eksperimen neuroimaging terhadap individu yang mengalami pengalaman spiritual mendalam.vPenelitian ini menunjukkan bahwa pengalaman spiritual dapat memicu aktivitas otak di area tertentu seperti korteks prefrontal dan lobus temporal, yang terkait dengan kesadaran transendental. Hal ini mendukung teori bahwa manusia memiliki potensi untuk mengalami realitas di luar yang dapat dijelaskan secara fisik.

    Selain itu, penelitian Prof. Maryam Zahra bertajuk: "Integrating Science and Spirituality in Islamic Education: A Pedagogical Framework". Penelitian ini menerapakan metode kualitatif melalui wawancara dengan pendidik dan analisis kurikulum sekolah di beberapa negara Muslim. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pengajaran agama yang mengintegrasikan sains dan spiritualitas dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang hubungan antara wahyu dan ilmu pengetahuan. Model pembelajaran yang menekankan pada eksplorasi sains dalam konteks spiritualitas terbukti meningkatkan minat belajar dan pemahaman siswa terhadap agama dan ilmu pengetahuan.

    Penelitian-penelitian ini menunjukkan bagaimana konsep wahyu dan pengalaman spiritual dalam Islam dapat dikaji secara ilmiah serta diterapkan dalam pendidikan untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap hubungan antara agama dan sains. Integrasi agama dan sains akan saling menyempurnakan.