Pertautan Konseptual
Surah Al-Najm ayat 49 menyebutkan bahwa Allah adalah Tuhan bintang Syi'ra (الشِّعْرَىٰ), yang dalam sains dikenal sebagai Sirius, salah satu bintang paling terang di langit. Penyebutan ini menunjukkan keteraturan dan hukum alam yang diciptakan oleh Allah, yang kemudian dikaitkan dengan ayat 50, yang berbicara tentang kebinasaan kaum ‘Ad. Keteraturan alam semesta dan kehancuran suatu peradaban memiliki hubungan kausal: peradaban yang menentang aturan Tuhan dan melampaui batas akan mengalami kehancuran sebagaimana ketetapan hukum alam.
Dalam konteks pendidikan, ayat ini mengajarkan pentingnya kesadaran akan hukum sebab-akibat. Pendidikan modern menekankan pada keterkaitan antara ilmu pengetahuan dan etika. Keberlanjutan suatu peradaban bergantung pada pemahaman manusia terhadap hukum alam dan sosial, sebagaimana ilmuwan di era modern mempelajari bagaimana perubahan iklim, teknologi, dan kebijakan sosial dapat menentukan masa depan suatu bangsa.
Dari sudut pandang sains, kehancuran kaum ‘Ad juga dapat dikaji dalam konteks geologi dan klimatologi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa wilayah kaum ‘Ad di Arabia Selatan mengalami perubahan iklim ekstrem yang menyebabkan kekeringan dan kehancuran. Hal ini selaras dengan prinsip keseimbangan alam: peradaban yang tidak menjaga keseimbangan lingkungan akan mengalami kehancuran. Pendidikan berbasis sains dan etika dapat menjadi solusi untuk mencegah kesalahan yang sama, sehingga umat manusia tidak mengulangi kesalahan kaum ‘Ad.
Tinjauan Bahasa
وَاَنَّهٗۤ اَهۡلَكَ عَادَۨا الْاُوْلٰى
Terjemahnya: "Dan sesungguhnya Dialah yang telah membinasakan kaum ‘Ad dahulu kala".(50).
Ayat ini diawali dengan kata "وَأَنَّهُ" (wa-annahu), yang berfungsi sebagai taukid (penegasan) terhadap kekuasaan Allah. Frasa "أَهْلَكَ عَادًا الْأُولَىٰ" (membinasakan kaum ‘Ad dahulu kala) menggunakan bentuk fi‘il madhi (kata kerja lampau), menunjukkan bahwa peristiwa ini benar-benar telah terjadi. Kata "الْأُولَىٰ" (yang pertama) menunjukkan bahwa kaum ‘Ad memiliki generasi selanjutnya atau ada peradaban lain setelah mereka yang mengalami nasib serupa. Struktur ini menegaskan kesinambungan sejarah, di mana peradaban yang menentang aturan Tuhan akan mengalami kehancuran.
Ayat ini mengandung uslub i'jaz (gaya bahasa yang mengandung mukjizat) dengan pemilihan kata yang ringkas tetapi penuh makna. Kata "أَهْلَكَ" (membinasakan) menunjukkan kekuasaan mutlak Allah atas kehidupan dan kehancuran. Penggunaan kata "عَادًا الْأُولَىٰ" bukan hanya sebagai deskripsi historis tetapi juga memiliki nilai peringatan (indzar) bagi umat yang datang setelahnya. Selain itu, ada aspek tasybih (perumpamaan tersirat) dalam ayat ini, di mana kehancuran kaum ‘Ad dapat dianalogikan dengan sunatullah yang berlaku bagi semua peradaban yang melampaui batas.
Kata "أَهْلَكَ" berasal dari akar kata "هلك" yang berarti binasa, musnah, atau hancur. Makna ini dalam konteks ayat tidak sekadar menunjukkan kematian individu, tetapi kehancuran total sebuah peradaban. Kata "عَادًا" merujuk pada kaum ‘Ad, yang dalam sejarah dikenal sebagai bangsa yang kuat tetapi durhaka kepada Allah. Sementara itu, kata "الْأُولَىٰ" mengandung makna temporal, yaitu "yang pertama", yang bisa mengisyaratkan adanya generasi lain yang juga bernasib sama. Ini menunjukkan bahwa kehancuran bukan hanya peristiwa sejarah, tetapi juga hukum sosial yang terus berlaku.
Ayat ini mengandung tanda (sign) yang merepresentasikan hubungan antara perbuatan manusia dan akibatnya. Kaum ‘Ad adalah simbol peradaban yang maju tetapi angkuh, sementara kehancuran mereka menjadi ikon dari konsekuensi ketidakpatuhan terhadap aturan Tuhan. Kata "أَهْلَكَ" tidak hanya menandakan kehancuran fisik tetapi juga hilangnya nilai-nilai moral dalam suatu masyarakat. Kata "الْأُولَىٰ" juga menjadi tanda historis bahwa pola kehancuran ini terus berulang dalam sejarah umat manusia. Ayat ini mengajarkan bahwa keberlangsungan suatu peradaban bergantung pada ketaatan terhadap hukum Tuhan dan keseimbangan alam.
Penjelasan Ulama Tafsir
Dalam kitab Tafsir al-Kabir, Fakhrur Razi menafsirkan ayat ini dengan pendekatan teologis dan historis. Ia menjelaskan bahwa kaum ‘Ad pertama yang disebut dalam ayat ini adalah kaum ‘Ad yang dihancurkan oleh Allah karena kesombongan dan kedurhakaan mereka terhadap rasul yang diutus kepada mereka, yakni Nabi Hud. Fakhrur Razi menyoroti bahwa kehancuran kaum ini bukan sekadar bencana alam biasa, melainkan bagian dari sunnatullah terhadap kaum yang ingkar.
Lebih lanjut, Fakhrur Razi menafsirkan kata "أَهْلَكَ" (membinasakan) dalam konteks azab yang ditimpakan kepada kaum tersebut berupa angin kencang selama tujuh malam delapan hari, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. Al-Haqqah: 6-8. Ia juga menyoroti frasa "الْأُوْلَى" (yang pertama) sebagai penegasan adanya ‘Ad kedua yang merupakan sisa keturunan mereka. Pandangan ini diperkuat oleh berbagai riwayat yang menyebutkan bahwa ‘Ad pertama dibinasakan, sedangkan kelompok lain dari mereka tetap hidup.
Dari perspektif spiritual, Fakhrur Razi menekankan bahwa kehancuran kaum ‘Ad adalah peringatan bagi umat manusia agar tidak mengulangi kesalahan mereka. Ia juga menyoroti bahwa kejadian ini menunjukkan keadilan Allah dalam memberikan hukuman kepada kaum yang menolak kebenaran.
Relevansinya dengan Sains dan Pendidikan
Dari sudut pandang sains modern, kehancuran kaum ‘Ad sering dikaitkan dengan bukti arkeologis dan geologis. Penemuan kota kuno Ubar di Oman, yang diduga sebagai peninggalan kaum ‘Ad, memperkuat hipotesis bahwa mereka dihancurkan oleh badai pasir dahsyat. Dalam kajian klimatologi, badai semacam ini dapat terjadi akibat perubahan cuaca ekstrem, yang semakin relevan dalam konteks perubahan iklim global saat ini.
Selain itu, perspektif geologi menunjukkan bahwa kawasan yang diduga sebagai tempat tinggal kaum ‘Ad memiliki jejak kehancuran akibat aktivitas atmosferik yang kuat. Ini membuktikan bahwa bencana alam dapat menghancurkan peradaban secara total, sebagaimana yang terjadi pada banyak peradaban kuno lainnya.
Dalam dunia pendidikan, kisah kaum ‘Ad bisa dijadikan bahan ajar dalam pembelajaran interdisipliner, menghubungkan antara ilmu agama, sejarah, dan sains. Pembelajaran ini dapat menanamkan nilai-nilai ketauhidan, serta meningkatkan pemahaman tentang hubungan antara bencana alam dan perilaku manusia. Konsep seperti mitigasi bencana dan kesadaran lingkungan juga bisa diajarkan melalui kisah ini, menjadikannya relevan dengan pendidikan berbasis moral dan sains.
Pendekatan holistik ini sesuai dengan model pendidikan abad ke-21 yang menekankan pada integrasi ilmu agama dan sains. Pendidikan berbasis nilai yang dikombinasikan dengan pemahaman ilmiah akan membentuk individu yang lebih kritis, beretika, dan bertanggung jawab dalam menjaga keseimbangan alam dan kehidupan.
Riset yang Relevan
Penelitian tentang Dampak Perubahan Iklim terhadap Peradaban Kuno, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dr. Michael Petraglia (Max Planck Institute for Geoanthropology) berjudil "Climate Change and Ancient Civilizations: Evidence from Arabian Deserts", Metode penelitian studi geologi, analisis citra satelit, dan penggalian arkeologis
Hasil: Penelitian ini menemukan bahwa perubahan pola angin dan badai pasir ekstrem di Semenanjung Arab berkontribusi terhadap kehancuran peradaban kuno seperti ‘Ad. Analisis lapisan tanah menunjukkan adanya pergeseran iklim drastis sekitar 4.000 tahun yang lalu, yang menyebabkan kekeringan panjang dan badai pasir besar.
Ada pula penelitian tentang "Integrasi Pendidikan Islam dan Sains dalam Konteks Mitigasi Bencana". Penelitian Dr. Ahmad Fauzi & Prof. Nurul Hidayah (Universitas Islam Negeri Jakarta) berjudul "Religious-Based Disaster Education: Integrating Islamic Values and Scientific Knowledge" sebuah studi kualitatif dengan analisis kurikulum dan wawancara dengan pendidik. Penelitian ini menunjukkan bahwa mengintegrasikan kisah-kisah dalam Al-Qur'an dengan ilmu sains dapat meningkatkan kesadaran mitigasi bencana di kalangan pelajar. Studi ini mengusulkan model pendidikan yang mengajarkan konsep mitigasi bencana berbasis nilai-nilai Islam dan fakta ilmiah, yang terbukti meningkatkan pemahaman siswa terhadap bencana alam serta sikap proaktif dalam menghadapinya.
Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa narasi dalam Al-Qur'an tentang kaum ‘Ad memiliki relevansi ilmiah dan pendidikan yang signifikan. Kajian ini menghubungkan pemahaman sejarah Islam dengan temuan ilmiah modern serta penerapannya dalam dunia pendidikan untuk membangun kesadaran yang lebih luas tentang pentingnya ilmu pengetahuan dalam kehidupan.
0 komentar