Pertautan Konseptual
Surah Al-Najm ayat 28 berbunyi:
وَمَا لَهُمۡ بِهِ مِنۡ عِلۡمٍؕ اِنۡ يَّتَّبِعُوۡنَ اِلَّا الظَّنَّۚ وَاِنَّ الظَّنَّ لَا يُغۡنِىۡ مِنَ الۡحَـقِّ شَيۡـــًٔـا
"Padahal mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, padahal persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran." (Q.S. Al-Najm: 28)
Ayat ini menyoroti bagaimana sebagian orang hanya mengikuti prasangka tanpa ilmu yang benar. Kemudian, ayat 29 menyatakan bahwa Rasulullah diperintahkan untuk berpaling dari mereka yang hanya mengejar kehidupan duniawi dan menolak peringatan Allah.
Dalam konteks pendidikan dan sains modern, hubungan kedua ayat ini menggambarkan pentingnya metode ilmiah yang berbasis pengetahuan valid dibanding sekadar spekulasi. Pendidikan yang berorientasi duniawi semata, tanpa nilai-nilai moral dan spiritual, dapat membuat manusia tersesat dalam pemahaman yang dangkal. Oleh karena itu, pendidikan harus mengintegrasikan ilmu dan nilai-nilai ketuhanan agar tidak terjebak dalam materialisme semata.
Tinjauan Kebahasaan
Ayat ini terdiri dari dua klausa utama: perintah untuk berpaling (فَأَعْرِضْ) dan sifat orang yang berpaling dari peringatan Allah. Struktur ayat ini menggunakan kalimat perintah yang menunjukkan urgensi tindakan, serta bentuk maushūl (مَنْ) yang mencakup semua orang dengan karakteristik tersebut. Frasa "تَوَلَّى عَنْ ذِكْرِنَا" (berpaling dari peringatan Kami) menunjukkan sikap aktif menolak, sementara "وَلَمْ يُرِدْ إِلَّا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا" (hanya mengingini kehidupan dunia) menegaskan tujuan mereka yang terbatas pada duniawi. Ini menunjukkan hubungan kausal antara berpaling dari kebenaran dan orientasi hidup yang materialistis.
Gaya bahasa dalam ayat ini tampak dalam penggunaan فَأَعْرِضْ, yang merupakan fi'il amr (kata kerja perintah), memberi kesan ketegasan dan kepastian. Penggunaan مَنْ bersifat umum, mencakup semua individu dengan karakteristik yang disebutkan. Frasa "وَلَمْ يُرِدْ إِلَّا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا" menggunakan metode hasr (pembatasan) dengan إِلَّا, menegaskan bahwa keinginan mereka benar-benar hanya duniawi, tanpa mempertimbangkan kehidupan akhirat. Struktur ini menegaskan pesan utama: mereka yang hanya mengejar dunia akan dijauhkan dari bimbingan Allah, dan Rasul diperintahkan untuk tidak membuang waktu pada mereka.
Kata "تَوَلَّى" secara semantik berarti berpaling dengan sikap menjauh secara sadar, bukan sekadar kelalaian pasif. "ذِكْرِنَا" mencakup semua bentuk peringatan dari Allah, baik wahyu maupun hikmah-Nya dalam kehidupan. Frasa "وَلَمْ يُرِدْ" (tidak menginginkan) menunjukkan bahwa mereka secara aktif menolak nilai-nilai akhirat, bukan hanya lalai. "الْحَيَاةَ الدُّنْيَا" bermakna kehidupan dunia yang sementara dan sering dikontraskan dengan akhirat dalam Al-Qur'an. Dengan demikian, ayat ini menegaskan bahwa orientasi hidup yang hanya berfokus pada dunia adalah sikap menyesatkan.
Ayat ini menggambarkan dikotomi antara dua orientasi hidup: duniawi dan ukhrawi. "تَوَلَّى" melambangkan sikap menolak kebenaran, yang dalam konteks modern dapat dikaitkan dengan sekularisme ekstrem yang mengabaikan nilai spiritual. "ذِكْرِنَا" mewakili wahyu sebagai sumber kebenaran hakiki, yang dalam sains bisa disimbolkan dengan metode yang berbasis kebenaran, bukan sekadar asumsi. Frasa "وَلَمْ يُرِدْ إِلَّا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا" menggambarkan simbol manusia.
Keterangan Ulama Tafsir
Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar menafsirkan ayat ini sebagai perintah bagi Nabi Muhammad ﷺ untuk tidak menghabiskan energi terhadap orang-orang yang berpaling dari ajaran Allah dan hanya mengejar duniawi. Menurut Hamka, ayat ini menegaskan bahwa orang-orang seperti itu telah memilih jalannya sendiri, dan Nabi tidak perlu memaksakan hidayah kepada mereka. Ia juga menyoroti bahwa dalam kehidupan sosial, terlalu fokus pada individu yang menolak kebenaran bisa menghambat dakwah kepada mereka yang lebih terbuka terhadap ajaran Islam.
Lebih lanjut, Hamka menjelaskan bahwa ayat ini memberikan pelajaran bagi umat Islam untuk tidak terlalu sibuk mengejar dunia tanpa memperhatikan aspek spiritual. Beliau mengaitkan ayat ini dengan fenomena masyarakat yang terlalu materialistis, sehingga melupakan nilai-nilai ketuhanan. Ayat ini, menurut Hamka, menegaskan bahwa kehidupan dunia bukanlah tujuan akhir, melainkan sekadar alat untuk mencapai kebahagiaan hakiki di akhirat.
Aedangkan dalam Tafsir Al-Mishbah, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat ini bukan sekadar perintah untuk meninggalkan orang yang menolak dakwah, tetapi juga sebagai bentuk pembelajaran bagi Nabi dan umatnya agar tidak terlarut dalam polemik yang tidak produktif. Menurutnya, berpaling dari peringatan Allah bukan hanya berarti menolak secara eksplisit, tetapi juga bisa berupa sikap hidup yang terlalu sibuk dengan urusan duniawi hingga melupakan aspek spiritual.
Quraish Shihab menyoroti bahwa ayat ini tidak mengajarkan sikap putus asa terhadap orang-orang yang belum menerima Islam, tetapi lebih kepada prioritas dakwah yang lebih efektif. Dalam konteks modern, ayat ini bisa dimaknai sebagai peringatan agar manusia tidak terjebak dalam gaya hidup materialistik yang hanya mengejar kesenangan dunia tanpa mempertimbangkan kehidupan setelah mati.
Relevansi dengan Sains Modern dan Pendidikan Terkini
Dalam perspektif sains modern dan pendidikan, ayat ini memberikan landasan tentang pentingnya keseimbangan antara aspek material dan spiritual dalam kehidupan. Beberapa poin relevansi ayat ini antara lain:
a. Psikologi dan kesehatan mental
Studi psikologi menunjukkan bahwa seseorang yang terlalu terobsesi dengan dunia materi sering mengalami stres dan kecemasan. Teori hedonic treadmill menjelaskan bahwa manusia cenderung tidak pernah puas dengan pencapaian materi, sehingga terus merasa kurang bahagia meskipun sudah mencapai kesuksesan duniawi. Ayat ini mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak hanya berasal dari materi, tetapi juga dari kedekatan dengan nilai-nilai spiritual.
b. Pendidikan Karakter
Dalam dunia pendidikan, ayat ini relevan dengan konsep character building. Pendidikan modern tidak hanya menekankan aspek kognitif, tetapi juga moral dan etika. Pendekatan holistic education yang menggabungkan spiritualitas dalam pembelajaran dapat membentuk individu yang tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki integritas dan tanggung jawab sosial.
d. Kritik terhadap materialisme dan hedonisme
Ilmu ekonomi dan sosiologi modern mengakui bahwa pola pikir konsumtif yang berlebihan dapat membawa dampak negatif bagi individu maupun masyarakat. Ayat ini mengajarkan bahwa mengejar dunia secara berlebihan tanpa keseimbangan spiritual hanya akan membawa kesia-siaan.
e. Aplikasi dalam pendidikan Islam
Kurikulum pendidikan Islam dapat memanfaatkan ayat ini untuk menanamkan nilai keseimbangan antara dunia dan akhirat. Konsep adab dalam pendidikan Islam menekankan bahwa ilmu harus digunakan untuk kemaslahatan manusia, bukan sekadar untuk mengejar kekayaan atau status sosial.
Riset yang Relevan
Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Ahmed Al-Khatib (2023), berjudul, "The Psychological Impact of Materialism on Mental Health: A Comparative Study on Spiritual vs. Non-Spiritual Individual. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survei terhadap 1.500 responden dari berbagai latar belakang sosial dan agama. Data dianalisis menggunakan regresi multivariat untuk melihat korelasi antara materialisme dan tingkat stres atau kecemasan.
Penelitian ini menemukan bahwa individu yang memiliki orientasi materialistis cenderung memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang memiliki keseimbangan antara aspek spiritual dan material. Mereka yang rutin menjalankan praktik spiritual, seperti doa atau meditasi, menunjukkan tingkat kebahagiaan dalam hubungan pencapaian spritual.
0 komentar