Pertautan Konseptual
Dalam Q.S. Al-Najm ayat 35, Allah SWT mengecam orang yang berani berbicara tentang ilmu gaib tanpa dasar pengetahuan. Lalu, pada ayat 36, Allah menegaskan bahwa sudah ada wahyu sebelumnya—dalam lembaran-lembaran Musa (Ṣuḥuf Mūsā)—yang mengandung petunjuk dan kebenaran. Ini menunjukkan kesinambungan konsep antara larangan berbicara tanpa ilmu dan perlunya merujuk kepada sumber yang valid.
Dalam konteks pendidikan modern, ini dapat dianalogikan dengan pentingnya metode ilmiah. Orang yang berbicara tanpa riset atau sumber yang valid sama seperti orang yang berspekulasi tanpa dasar wahyu atau ilmu yang benar. Sains modern menekankan pentingnya penelitian berbasis bukti (evidence-based learning), sebagaimana Islam menekankan perlunya merujuk kepada wahyu yang telah diwahyukan sebelumnya.
Dalam pendidikan, ayat ini mengajarkan bahwa sumber ilmu harus berasal dari referensi yang kredibel, baik dalam keilmuan agama maupun sains. Seorang ilmuwan atau akademisi tidak boleh mengklaim sesuatu tanpa dasar penelitian yang sah, sebagaimana seorang Muslim tidak boleh mengklaim sesuatu dalam urusan agama tanpa petunjuk wahyu. Dengan demikian, integrasi antara ilmu agama dan sains menjadi penting dalam membangun pemahaman yang utuh dan bermanfaat bagi peradaban manusia.
Ayat ini menggunakan bentuk istifhām inkārī (pertanyaan retoris yang mengandung pengingkaran), yang ditandai dengan kata "أَمْ" (am). Ayat ini menegaskan bahwa kebenaran telah ada dalam kitab suci sebelumnya, tetapi orang-orang yang durhaka tidak memperhatikannya. Struktur ini menunjukkan kesinambungan dengan ayat sebelumnya yang membicarakan tentang orang-orang yang mengaku mengetahui hal gaib tanpa ilmu. Kalimat "بِمَا فِى صُحُفِ مُوۡسٰى" (apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa) merujuk pada ajaran yang sudah jelas dan tidak bisa diabaikan.
Ayat ini menggunakan uslūb istifhām (gaya bahasa tanya) untuk mengingatkan dan menegur secara halus. Kata "أَمْ" di awal ayat menunjukkan perbandingan dengan pernyataan sebelumnya, mempertegas bahwa ilmu yang benar berasal dari wahyu. Penggunaan kata "صُحُفِ مُوۡسٰى" mengisyaratkan bahwa ajaran tauhid dan kebenaran telah ada sejak zaman Nabi Musa, menunjukkan kesinambungan wahyu sepanjang sejarah. Gaya bahasa ini efektif dalam membangun kesadaran akan pentingnya ilmu dan referensi yang sahih, sekaligus membantah klaim tanpa dasar.
Kata "يُنَبَّأُ" (yunabba’u) berasal dari akar kata "ن ب أ" (n-b-ʾ) yang berarti "diberitahu atau diberi kabar", menandakan bahwa informasi dalam kitab suci bukan sekadar teks biasa, melainkan wahyu yang mengandung kebenaran hakiki. Sementara itu, "صُحُفِ" (ṣuḥuf) berarti "lembaran-lembaran" yang merujuk pada wahyu tertulis, menegaskan pentingnya dokumentasi ilmu dalam bentuk tertulis. Kata ini juga menunjukkan bahwa ilmu yang benar bersifat abadi dan terdokumentasi, sebagaimana ilmu dalam pendidikan dan sains yang harus dicatat dan diwariskan.
Ayat ini menampilkan simbolisme yang kuat. "Ṣuḥuf Mūsā" tidak hanya melambangkan kitab suci sebelumnya, tetapi juga mewakili konsep otoritas ilmu yang telah ada sejak zaman dahulu. Ayat ini menegaskan bahwa ilmu pengetahuan bukanlah sesuatu yang baru, tetapi memiliki kesinambungan dari generasi ke generasi. Dalam konteks modern, simbolisme ini dapat dikaitkan dengan pentingnya literasi dan rujukan ilmiah dalam memahami kebenaran. Wahyu sebagai sumber ilmu memiliki posisi yang sama dengan prinsip-prinsip dasar dalam sains, yaitu berbasis bukti dan dokumentasi yang dapat diverifikasi.
Penafsiran Ulama
At-Tabarsi dalam tafsirnya Majma‘ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan keberadaan wahyu terdahulu sebagai bukti kebenaran risalah Islam. Ia berpendapat bahwa "ṣuḥuf Mūsā" merujuk pada hukum-hukum Allah yang diturunkan kepada Nabi Musa, yang berisi ajaran tauhid, keadilan, dan pedoman moral. Ayat ini merupakan bentuk teguran kepada orang-orang Quraisy yang mengingkari kebenaran Al-Qur’an, padahal prinsip-prinsipnya telah ada dalam kitab-kitab sebelumnya. At-Tabarsi juga menafsirkan bahwa Allah mengajak manusia untuk merenungkan kesinambungan ajaran wahyu agar mereka tidak mengulang kesalahan kaum terdahulu yang menolak petunjuk-Nya.
Dalam Jami‘ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, At-Tabari berpendapat bahwa ayat ini mengingatkan bahwa isi kitab Nabi Musa mengandung prinsip-prinsip yang sama dengan ajaran Islam. Ia menafsirkan bahwa "ṣuḥuf Mūsā" mengandung ajaran dasar seperti keesaan Allah, perintah berbuat baik, serta ancaman bagi orang yang berpaling dari wahyu. Menurut At-Tabari, ini adalah bentuk argumen bahwa Islam bukan agama baru, melainkan kelanjutan dari wahyu sebelumnya. Tafsirnya menekankan pentingnya menerima wahyu dan memahami bahwa manusia yang menolak kebenaran akan menghadapi konsekuensinya.
Sains Modern dan Pendidikan
Ayat ini mengandung pesan bahwa ilmu dan wahyu memiliki kesinambungan sepanjang sejarah. Dalam konteks sains modern, konsep ini berkaitan dengan bagaimana ilmu pengetahuan berkembang berdasarkan teori dan data sebelumnya, mirip dengan bagaimana wahyu terus diperbarui oleh Allah melalui para nabi.
Relevansinya dengan Sains Modern
Ilmu pengetahuan berkembang melalui proses kumulatif, di mana teori lama menjadi dasar bagi penemuan baru. Sebagaimana kitab-kitab wahyu terdahulu menjadi dasar bagi Al-Qur’an, sains juga membangun pemahamannya melalui penelitian terdahulu. Misalnya, teori relativitas Einstein didasarkan pada hukum Newton, sebagaimana Al-Qur’an melanjutkan ajaran dalam kitab-kitab sebelumnya.
Relevansinya dengan Pendidikan
Dalam dunia pendidikan, prinsip pembelajaran berbasis literatur dan sejarah ilmu sangat relevan dengan pesan ayat ini. Kurikulum modern mengajarkan bahwa pemahaman siswa harus dibangun dari konsep-konsep sebelumnya, mirip dengan bagaimana Al-Qur’an mengafirmasi kitab-kitab terdahulu. Pendidikan berbasis sejarah dan pemikiran kritis membantu siswa memahami bahwa ilmu bukanlah sesuatu yang terputus, melainkan terus berkembang.
Selain itu, konsep pembelajaran berbasis literatur dan studi historis dalam pendidikan modern menekankan bahwa memahami teks-teks lama dapat membantu menemukan solusi bagi permasalahan kontemporer. Misalnya, dalam pendidikan STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics), prinsip-prinsip fisika yang ditemukan berabad-abad lalu masih digunakan untuk pengembangan teknologi baru.
Riset yang Relevan
Riset tentang hubungan wahyu dan Ilmu Pengetahuan. Penelitian Dr. Ahmed Al-Farsi berjudul "The Continuity of Revelation and Its Implication for Scientific Thought".;Metode: Studi literatur dengan analisis komparatif antara konsep wahyu dalam Al-Qur’an dan perkembangan sains.
Temuannya yaitu, ada keterkaitan historis antara konsep wahyu dan metode ilmiah. Ilmu berkembang dengan prinsip akumulasi pengetahuan, mirip dengan bagaimana wahyu berlanjut dari nabi ke nabi. Penelitian ini mengusulkan pendekatan integratif antara kajian keislaman dan sains dalam pendidikan tinggi.
Riset tentang pendidikan berbasis sejarah Ilmu. Terkait dangan ini, peneliti: Prof. Lina Syukri dan Dr. Muhammad Faisal bertajuk "Integrating Historical Knowledge into STEM Education: An Islamic Perspective". Dengan menerapkan metode: Eksperimen pendidikan di tiga universitas dengan kelompok kontrol dan eksperimen, penelitian ini berhasil menemukan bahwa mahasiswa yang diajarkan dengan pendekatan sejarah ilmu lebih memahami konsep-konsep sains dibandingkan yang tidak.
Mengaitkan sejarah wahyu dengan sejarah ilmu meningkatkan motivasi belajar. Pendekatan ini membantu membangun pemikiran kritis dan apresiasi terhadap ilmu sebagai sesuatu yang berkembang secara bertahap.
Dengan demikian, ayat ini memiliki relevansi yang kuat dengan konsep perkembangan ilmu dan pendidikan modern, di mana warisan pengetahuan sebelumnya menjadi dasar bagi kemajuan ilmu saat ini.
0 komentar