BLANTERORBITv102

    KAJIAN Q.S. AZ-ZARIYAT: 46

    Senin, 03 Maret 2025

    Penulis: Prof. Dr. H. Muhammad Yusuf, S.Ag., M.Pd.I.

    Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Alauddin Makassar

    Pertautan Konseptual

    Dalam Surah Az-Zariyat ayat 46, Allah mengingatkan tentang kebinasaan kaum Nabi Nuh karena kefasikan mereka. Ayat ini memiliki keterkaitan konseptual (tanasub) dengan ayat sebelumnya, khususnya ayat 5:

    إِنَّمَا تُوعَدُونَ لَصَادِقٌۖ "Sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti benar."

    Ayat ini menegaskan kepastian janji Allah, termasuk konsekuensi bagi kaum yang menolak kebenaran dan hidup dalam kefasikan, seperti yang dialami oleh kaum Nabi Nuh. Tanasub ini mengajarkan bahwa kebenaran memiliki kepastian ilmiah, di mana pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah, baik dalam aspek moral maupun alamiah, pasti akan membawa akibat.

    Pendidikan dan Sains Modern

    Dalam dunia pendidikan dan sains, keterkaitan ini menggambarkan bahwa ilmu pengetahuan harus dijalankan dengan prinsip kebenaran dan etika. Pendidikan yang tidak berlandaskan nilai moral dapat menciptakan generasi yang cerdas tetapi fasik, seperti kaum Nabi Nuh yang mungkin memiliki kemajuan tetapi tetap ingkar terhadap kebenaran.

    Dalam sains, hukum sebab-akibat merupakan prinsip fundamental, sebagaimana janji Allah dalam ayat 5. Sebuah eksperimen atau teori ilmiah yang didasarkan pada kepalsuan atau penolakan terhadap prinsip dasar alam akan gagal, sebagaimana kaum yang ingkar mengalami kehancuran.

    Dengan demikian, hubungan antara kedua ayat ini memberikan pelajaran penting bahwa baik dalam pendidikan maupun sains, kebenaran dan moralitas adalah fondasi utama untuk keberlanjutan dan keberhasilan peradaban manusia.

    Tinjauan Kebahasaan

    وَقَوْمَ نُوْحٍ مِّنْ قَبْلُۗ اِنَّهُمْ كَانُوْا قَوْمًا فٰسِقِيْنَࣖ ۝٤٦

    Terjemahnya: "Sebelum itu (Kami telah membinasakan) kaum Nuh. Sesungguhnya mereka adalah kaum fasik" (46)

    Pada susunan ayat ini terdiri dari dua bagian utama: klausa pertama وَقَوْمَ نُوْحٍ مِّنْ قَبْلُ menyatakan objek yang dihapus predikatnya, yang dapat dipahami dari konteks ayat sebelumnya tentang kehancuran umat-umat terdahulu. Klausa kedua اِنَّهُمْ كَانُوْا قَوْمًا فٰسِقِيْنَ berfungsi sebagai penjelasan sebab kehancuran kaum Nuh. Secara struktural, penggunaan kata كَانُوْا dalam bentuk fi'il madhi menunjukkan bahwa kefasikan mereka sudah menjadi sifat tetap di masa lalu. Pola ini umum dalam Al-Qur’an untuk menegaskan bahwa kehancuran kaum terdahulu disebabkan oleh kefasikan yang sudah melekat. Penggunaan kata قَوْمًا sebagai isim nakirah memberi makna umum, menunjukkan bahwa sebagian besar atau bahkan seluruh kaum Nuh terjerumus dalam kefasikan.

    Ayat ini menggunakan uslub ikhbari (gaya pemberitahuan) untuk menyampaikan fakta kehancuran kaum Nuh. Penggunaan وَ sebagai ‘athaf menunjukkan kesinambungan peristiwa kehancuran umat-umat sebelumnya. Kata مِّنْ قَبْلُ mempertegas urutan waktu dan menghubungkan peristiwa kaum Nuh dengan umat lain yang juga dibinasakan. Sementara itu, penggunaan اِنَّهُمْ menegaskan kepastian bahwa kaum Nuh adalah orang-orang fasik. Dalam retorika Arab, penggunaan كَانُوْا قَوْمًا فٰسِقِيْنَ dengan bentuk khabar muqaddam menunjukkan bahwa kefasikan adalah sifat utama mereka, bukan hanya tindakan sementara. Dengan demikian, ayat ini menegaskan keadilan Allah dalam membinasakan kaum yang membangkang.

    Kata فٰسِقِيْنَ berasal dari akar kata فسق yang berarti keluar dari ketaatan atau aturan yang telah ditetapkan. Dalam konteks Al-Qur'an, kefasikan sering dikaitkan dengan pembangkangan terhadap perintah Allah dan penyimpangan dari ajaran para rasul. Penggunaan قَوْمًا فٰسِقِيْنَ menunjukkan bahwa kefasikan bukan hanya individu, melainkan sudah menjadi karakter kolektif masyarakat Nuh. Selain itu, kata مِّنْ قَبْلُ secara semantik menegaskan bahwa kehancuran mereka terjadi lebih awal daripada kaum lain yang disebutkan dalam ayat sebelumnya, seperti kaum ‘Ad dan Tsamud. Hal ini memperlihatkan kesinambungan pola sejarah kehancuran umat-umat.

    Penafsiran Ulama

    Syeikh Mutawalli Sya'rawi menjelaskan bahwa ayat ini mengingatkan manusia tentang kehancuran kaum Nuh sebagai akibat dari kedurhakaan mereka. Menurutnya, kata fasikin merujuk pada penyimpangan yang tidak hanya dalam akidah tetapi juga dalam moral dan sosial. Beliau menekankan bahwa kaum Nuh tidak hanya menolak risalah tauhid, tetapi juga melampaui batas dalam kemaksiatan, seperti menolak hukum-hukum Allah, hidup dalam kebebasan tanpa batas, serta menindas orang-orang beriman.

    Sya'rawi juga menyoroti bagaimana kehancuran mereka merupakan sunnatullah yang pasti terjadi kepada kaum yang ingkar. Dalam tafsirnya, beliau menekankan bahwa azab yang menimpa kaum Nuh merupakan bentuk ketetapan ilahi yang tidak bisa dihindari jika suatu kaum terus-menerus dalam kefasikan dan enggan bertaubat.

    M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan bahwa umat manusia harus belajar dari sejarah kaum terdahulu. Kaum Nuh disebut sebagai kaum yang fasik, yang berarti mereka menyimpang dari jalan kebenaran, baik dalam akidah maupun perilaku sosial. Fasik dalam konteks ini bukan hanya menolak ajaran tauhid, tetapi juga melakukan penyimpangan moral dan sosial yang menyebabkan kehancuran komunitas mereka sendiri.

    M. Quraish Shihab juga menyoroti bahwa kehancuran kaum Nuh bukan sekadar bencana alam biasa, melainkan suatu bentuk teguran keras dari Allah. Dalam pandangannya, ayat ini menjadi peringatan bagi umat manusia untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama, karena setiap kaum yang mengingkari kebenaran akan menghadapi konsekuensi yang serupa.

    Sains dan Pendidikan

    Dalam konteks sains modern, kisah kaum Nuh sering dikaitkan dengan teori bencana banjir besar (great flood theory). Beberapa penelitian geologi menunjukkan bukti adanya banjir besar di masa lampau yang mungkin berhubungan dengan kisah Nuh. Dari sudut pandang ilmu sosial, kehancuran kaum Nuh juga dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari kerusakan moral dan ketidakseimbangan sosial yang membawa pada kehancuran peradaban.

    Dalam pendidikan modern, ayat ini memberikan pelajaran tentang pentingnya moralitas dan ketaatan terhadap hukum yang benar. Pendidikan tidak hanya bertujuan mencerdaskan intelektual, tetapi juga membangun karakter yang kuat agar manusia tidak jatuh ke dalam kebejatan moral yang dapat membawa kehancuran sosial.

    Pendidikan juga harus menanamkan kesadaran tentang dampak lingkungan dan keseimbangan ekosistem, sebagaimana dalam kisah Nuh, di mana banjir besar terjadi akibat ketidakseimbangan alam yang mungkin disebabkan oleh perilaku manusia.

    Dengan demikian, pendidikan saat ini harus mencakup nilai-nilai etika, spiritualitas, serta kesadaran lingkungan agar generasi mendatang tidak mengulangi kesalahan kaum terdahulu.

    Penelitian oleh Robert Ballard dengan judulb"Evidence of a Great Flood in the Black Sea. Metode yang digunakan yaitu eksplorasi arkeologi bawah laut menggunakan sonar dan pengambilan sampel sedimen. Hasilnya, ditemukan bukti adanya banjir besar di Laut Hitam sekitar 7500 tahun lalu, yang mendukung hipotesis bahwa banjir besar pernah terjadi, mungkin terkait dengan kisah Nuh.

    Penelitian oleh Dr. Kurt Wise bertajuk "Flood Geology and Its Implications on Human Civilization" dengan metode analisis stratigrafi geologi dan kajian sejarah kuno. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat pola bencana besar yang dapat dikaitkan dengan kisah banjir dalam berbagai budaya kuno, termasuk dalam Islam dan Kristen.

    Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa kisah dalam Al-Qur’an bukan sekadar mitos, melainkan memiliki landasan ilmiah yang dapat dijelaskan melalui kajian modern. Selain itu, ayat ini juga memberikan wawasan tentang pentingnya menjaga keseimbangan lingkungan dan sosial agar tidak mengalami kehancuran seperti kaum Nuh a.s.