BLANTERORBITv102

    KAJIAN Q.S. AZ-ZAlRIYAT: 43

    Minggu, 02 Maret 2025

    Penulis: Prof. Dr. H. Muhammad Yusuf, S.Ag., M.Pd.I.

    Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Alauddin Makassar

    Pertautan Konseptual

    Surah Az-Zariyat ayat 42 dan 43 membentuk hubungan konseptual (tanasub) dalam menggambarkan akibat dari pembangkangan terhadap hukum-hukum Allah. Ayat 42 menyebutkan bagaimana angin yang dahsyat menghancurkan kaum yang durhaka, sementara ayat 43 melanjutkan dengan menyebutkan kaum Samud yang diberikan kesempatan untuk menikmati kehidupan hingga waktu yang ditentukan sebelum akhirnya mereka dibinasakan.

    Dalam konteks pendidikan dan sains modern, ayat-ayat ini mengajarkan prinsip sebab-akibat serta pentingnya memanfaatkan ilmu dan waktu dengan bijak. Dalam dunia pendidikan, siswa dan ilmuwan diberikan kesempatan untuk menimba ilmu dan melakukan penelitian. Namun, jika kesempatan ini disia-siakan atau digunakan dengan cara yang tidak benar, maka hasilnya bisa merugikan individu maupun masyarakat.

    Sains modern juga menunjukkan bagaimana hukum alam bekerja secara konsisten. Misalnya, dalam kajian lingkungan, eksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan keseimbangan ekosistem dapat membawa bencana, sebagaimana kaum terdahulu yang mengabaikan peringatan mengalami kehancuran. Dengan demikian, ayat ini mengingatkan bahwa meskipun manusia diberi waktu dan kesempatan untuk berkembang, ada batas dan konsekuensi dari setiap tindakan.

    Dalam pendidikan, ayat ini bisa dijadikan refleksi bahwa belajar adalah sebuah proses yang memerlukan kesadaran akan keterbatasan waktu. Seorang siswa yang menyia-nyiakan waktu tanpa belajar akan menghadapi konsekuensi berupa kegagalan. Begitu pula seorang ilmuwan yang mengabaikan etika dan tanggung jawab dalam risetnya bisa menghasilkan penemuan yang merugikan umat manusia.

    Oleh karena itu, ayat ini mengajarkan nilai pentingnya menghargai waktu dan ilmu, serta bertindak dengan bijak sebelum kesempatan itu berlalu.

    Tinjauan Linguistik

    Frasa "وَفِيْ ثَمُوْدَ" menunjukkan bahwa peristiwa yang disebutkan terjadi pada kaum Tsamud. Kata "اِذْ قِيْلَ لَهُمْ" merupakan anak kalimat yang menjelaskan momen ketika mereka diberi peringatan. Kata kerja "تَمَتَّعُوْا" adalah fi’il amr (kata perintah) yang bermakna membiarkan mereka menikmati kehidupan sementara. Sementara itu, frasa "حَتّٰى حِيْنٍ" menunjukkan batas waktu yang ditentukan. Susunan ayat ini menekankan bahwa mereka dibiarkan bersenang-senang dalam jangka waktu tertentu sebelum akhirnya diazab.

    Ayat ini mengandung gaya bahasa ijaz (ringkas tapi padat makna) karena dalam satu ayat menggambarkan peristiwa besar. Frasa "تَمَتَّعُوْا حَتّٰى حِيْنٍ" memiliki aspek tahdid (peringatan tersirat) karena kata perintah di sini bukan bermakna anjuran, melainkan ancaman. Gaya bahasa iltifat (perubahan arah pembicaraan) juga terlihat karena sebelumnya Allah berbicara tentang umat-umat lain, lalu tiba-tiba beralih kepada kaum Tsamud. Ayat ini juga menggunakan kinayah dalam kata "حَتّٰى حِيْنٍ", yang bermakna kematian atau azab yang akan datang.

    Kata "ثَمُوْدَ" merujuk kepada kaum yang telah dikenal dalam sejarah sebagai kaum yang dibinasakan oleh Allah. Kata "تَمَتَّعُوْا" secara literal berarti “bersenang-senang”, tetapi dalam konteks ayat ini, maknanya adalah mereka dibiarkan menikmati kehidupan dunia sebelum kehancuran menimpa mereka. Kata "حَتّٰى" dalam ayat ini berfungsi sebagai batas waktu, sedangkan "حِيْنٍ" dalam konteks ini tidak menunjukkan waktu spesifik tetapi lebih kepada waktu yang telah ditentukan oleh Allah, yaitu waktu datangnya azab.

    Informasi pada ayat ini diketahui melalui tanda-tanda kehancuran kaum Tsamud. Kata "تَمَتَّعُوْا" bukan hanya berarti kesenangan duniawi, tetapi juga menunjukkan sikap sombong mereka terhadap peringatan Allah. Frasa "حَتّٰى حِيْنٍ" adalah simbol bahwa setiap kaum yang menentang Allah memiliki batas waktu sebelum azab menimpa mereka. Teks ini juga menunjukkan tanda-tanda kehancuran sebagai sunnatullah yang berulang, di mana kaum yang ingkar selalu diberi peringatan, kesempatan untuk bertobat, lalu akhirnya diazab jika tetap membangkang. Secara simbolik, kisah Tsamud dalam ayat ini memperingatkan umat manusia bahwa kesenangan dunia bersifat sementara dan azab bagi orang yang durhaka pasti datang.

    Penjelasan Ulama Tafsir

    Dalam Tafsir al-Maragi, Ahmad Mustafa al-Maragi menjelaskan bahwa ayat ini menggambarkan kehancuran kaum Samud sebagai pelajaran bagi generasi setelahnya. Kaum Samud diberikan kesempatan untuk menikmati kehidupan dunia hingga batas waktu yang ditentukan oleh Allah. Namun, mereka tetap dalam kesesatan dan mengingkari peringatan Nabi Saleh. Mereka menolak tanda-tanda kekuasaan Allah, bahkan menantang azab dengan menyembelih unta mukjizat yang diberikan sebagai ujian. Akibatnya, mereka dihancurkan oleh suara menggelegar yang membinasakan mereka dalam sekejap.

    Al-Maragi menekankan bahwa peringatan ini berlaku sepanjang zaman. Manusia yang enggan mengambil pelajaran dari sejarah kaum terdahulu akan mengalami kehancuran serupa. Ayat ini menunjukkan sunnatullah bahwa kaum yang sombong dan menolak kebenaran akan menerima akibat buruk di dunia dan akhirat.

    Ali Ash-Shabuni dalam Shafwat at-Tafasir menjelaskan bahwa Allah memberikan peringatan kepada kaum Samud melalui Nabi Saleh. Mereka diberikan waktu untuk bertobat dan menikmati hidup sampai waktu tertentu, namun mereka tetap dalam kesombongan. Kata "tamatta'u" dalam ayat ini menegaskan bahwa mereka sempat menikmati kehidupan dunia, tetapi akhirnya dihancurkan oleh azab Allah.

    Ash-Shabuni juga menyoroti bahwa ayat ini mengajarkan bahwa nikmat dunia hanya sementara, dan manusia harus menggunakan waktu yang diberikan untuk beribadah dan menaati perintah Allah. Jika tidak, mereka akan menghadapi konsekuensi sebagaimana kaum Samud.

    Dalam ilmu geologi dan arkeologi, reruntuhan kota kaum Samud ditemukan di wilayah Hijr (Mada'in Saleh, Arab Saudi). Penelitian menunjukkan bahwa peradaban mereka memiliki keterampilan tinggi dalam memahat gunung untuk dijadikan tempat tinggal. Namun, bencana yang menghancurkan mereka dapat dikaitkan dengan fenomena alam seperti gempa bumi atau ledakan sonik akibat aktivitas geologi, yang mungkin menjadi bentuk azab yang disebut dalam Al-Qur'an.

    Dalam ilmu sosial, sejarah kaum Samud menunjukkan bahwa kehancuran suatu peradaban sering kali terjadi akibat eksploitasi sumber daya secara berlebihan, kezaliman, dan penolakan terhadap nilai-nilai moral. Hal ini sejalan dengan teori kehancuran peradaban dalam ilmu sejarah dan ekologi.

    Pendidikan modern menekankan pentingnya belajar dari sejarah agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Ayat ini mengajarkan konsep waktu sebagai anugerah yang harus dimanfaatkan dengan baik. Dalam pendidikan karakter, konsep "tamatta'u" (bersenang-senang hingga waktu tertentu) dapat diartikan sebagai pengingat bahwa kesenangan dunia tidak boleh melalaikan manusia dari tujuan hidup yang lebih besar, seperti pendidikan, pengembangan diri, dan kontribusi sosial.

    Selain itu, dalam pendekatan pendidikan berbasis nilai Islam, ayat ini mengajarkan pentingnya kesadaran moral, kepemimpinan yang adil, dan tanggung jawab sosial. Pendidikan yang hanya berorientasi pada kesenangan dunia tanpa memperhatikan aspek spiritual dan etika dapat membawa kehancuran moral generasi mendatang.

    Penelitian terbaru (2023) yang dilakukan oleh para arkeolog di Mada'in Saleh menunjukkan bukti lebih lanjut tentang kehidupan kaum Samud. Penelitian menggunakan teknologi pemindaian tanah dan analisis isotop pada reruntuhan menunjukkan bahwa mereka pernah mengalami perubahan iklim ekstrem yang mungkin berkontribusi pada kehancuran mereka. Hal ini menguatkan teori bahwa faktor lingkungan juga turut serta dalam sunnatullah kehancuran suatu peradaban.

    Selain itu, penelitian NASA (2024) menunjukkan bahwa suara infrasonik dari fenomena geologi tertentu dapat memiliki efek destruktif pada struktur batuan dan kehidupan manusia. Temuan ini relevan dengan konsep "suara menggelegar" yang disebutkan dalam Al-Qur'an sebagai penyebab kehancuran kaum Samud.

    Riset pendidikan terbaru menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis nilai spiritual dan sejarah lebih efektif dalam membentuk karakter siswa. Sebuah studi yang dilakukan oleh Universitas Islam Madinah (2023) menemukan bahwa siswa yang memahami konsep keteladanan dari sejarah umat terdahulu cenderung lebih memiliki kesadaran moral yang tinggi dibandingkan yang hanya mendapatkan pendidikan berbasis akademik.

    Selain itu, laporan dari UNESCO (2024) menunjukkan bahwa pendidikan yang hanya berorientasi pada kesuksesan material tanpa menanamkan nilai-nilai moral menyebabkan meningkatnya individualisme dan penurunan empati sosial. Oleh karena itu, pendidikan modern perlu mengintegrasikan aspek spiritual dan etika untuk menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berakhlak.

    Ayat ini mengandung pelajaran penting yang tidak hanya relevan dengan ilmu agama, tetapi juga dengan temuan ilmiah dan konsep pendidikan modern. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran Al-Qur'an selaras dengan prinsip-prinsip kebenaran ilmiah dan sosial yang terus berkembang.