BLANTERORBITv102

    KAJIAN Q.S. AZ-ZARIYAT: 58

    Selasa, 04 Maret 2025

    Penulis: Prof. Dr. H. Muhammad Yusuf, S.Ag., M.Pd.I.

    Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Alauddin Makassar

    Pertautan Konseptual 

    Dalam Surah Az-Zariyat ayat 57, Allah berfirman: "Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka, dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan."

    Ayat ini menegaskan bahwa manusia tidak dibebani tugas untuk memberi rezeki kepada Allah, karena Dia Mahakaya dan tidak memerlukan bantuan makhluk-Nya. Kemudian, ayat 58 menegaskan alasan dari pernyataan tersebut: "Sesungguhnya Allahlah Maha Pemberi Rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kukuh."

    Hubungan konseptual antara kedua ayat ini menunjukkan bahwa Allah adalah satu-satunya pemberi rezeki (ar-Razzaq) yang memiliki kekuatan mutlak. Manusia tidak memiliki kendali penuh atas rezeki, melainkan hanya berusaha dalam sistem yang telah ditetapkan-Nya.

    Pendidikan dan Sains 

    Dalam konteks pendidikan, ayat ini mengajarkan bahwa ilmu dan pengetahuan adalah bagian dari rezeki Allah yang harus dikejar dengan ikhtiar. Pendidikan modern menekankan pentingnya usaha, inovasi, dan penelitian ilmiah dalam meningkatkan kualitas hidup. Namun, ayat ini juga mengingatkan bahwa keberhasilan bukan semata-mata hasil kerja manusia, melainkan bagian dari ketentuan Allah yang memberi rezeki sesuai kehendak-Nya.

    Dalam sains, konsep ar-Razzaq dapat dikaitkan dengan ekosistem dan keberlanjutan sumber daya. Penemuan-penemuan ilmiah dalam bidang pertanian, teknologi pangan, dan energi terbarukan adalah bentuk eksplorasi manusia terhadap mekanisme rezeki yang telah Allah ciptakan. Namun, sains juga mengajarkan bahwa sumber daya ini harus digunakan secara bijak agar tetap lestari, sesuai dengan ketentuan dan keseimbangan yang Allah tetapkan.

    Dengan demikian, ayat 57 dan 58 mengajarkan keseimbangan antara usaha manusia dalam mencari ilmu dan rezeki dengan ketawakalan kepada Allah sebagai sumber kekuatan dan pemberi rezeki yang hakiki.

    Analisis Kebahasaan

    اِنَّ اللّٰهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِيْنُ ۝٥٨

    Terjemahnya: "Sesungguhnya Allahlah Maha Pemberi Rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kukuh" (58).

    Struktur ayat ini terdiri dari dua klausa utama: (1) "إِنَّ اللّٰهَ هُوَ الرَّزَّاقُ" (Sesungguhnya Allah-lah Maha Pemberi Rezeki) dan (2) "ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِيْنُ" (Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kukuh). Kata إِنَّ digunakan untuk memberikan penegasan bahwa Allah benar-benar memiliki sifat-sifat tersebut. Penggunaan هُوَ sebagai dhamir fashl berfungsi untuk menegaskan eksklusivitas Allah sebagai satu-satunya Pemberi Rezeki. Kata الرَّزَّاقُ berbentuk sighat mubalaghah (pola hiperbolik) menunjukkan bahwa Allah memberi rezeki secara luas dan berkelanjutan. Frasa ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِيْنُ menunjukkan bahwa kekuasaan Allah mutlak, di mana الْمَتِيْنُ bermakna kokoh, tak tergoyahkan.

    Penggunaan إِنَّ dan هُوَ mempertegas makna tauhid bahwa hanya Allah yang memberi rezeki. Bentuk الرَّزَّاقُ dalam pola mubalaghah menunjukkan keluasan dan kesinambungan pemberian-Nya. Frasa ذُو الْقُوَّةِ menunjukkan bahwa pemberian rezeki-Nya tidak terbatas atau lemah, tetapi didukung kekuatan penuh. Kata الْمَتِيْنُ menambah dimensi makna bahwa kekuatan Allah bukan hanya besar tetapi juga teguh dan tak tergoyahkan. Dengan gaya bahasa yang ringkas tetapi padat makna, ayat ini menyampaikan pesan tauhid, kekuasaan, dan kemurahan Allah dengan susunan yang indah dan penuh penegasan.

    Dari segi semantik, الرَّزَّاقُ berasal dari akar kata ر-ز-ق yang berarti memberikan sesuatu yang dibutuhkan makhluk secara terus-menerus. Berbeda dengan الرَّازِقُ (pemberi rezeki biasa), الرَّزَّاقُ menunjukkan sifat pemberian rezeki Allah yang tak terbatas. ذُو الْقُوَّةِ menunjukkan kekuatan absolut yang tidak bisa dikalahkan, sedangkan الْمَتِيْنُ berasal dari م-ت-ن, yang bermakna keteguhan dan kekokohan tanpa kelemahan sedikit pun. Dengan demikian, ayat ini menegaskan bahwa Allah tidak hanya memberi rezeki, tetapi juga melakukannya dengan kekuatan dan ketetapan yang sempurna.

    Secara semiotika, ayat ini menampilkan tiga tanda utama tentang sifat Allah: الرَّزَّاقُ sebagai simbol kemurahan-Nya, ذُو الْقُوَّةِ sebagai representasi kekuasaan mutlak, dan الْمَتِيْنُ sebagai lambang keteguhan-Nya. Kombinasi ketiga konsep ini membentuk pemahaman bahwa Allah tidak hanya memberi rezeki tetapi juga melakukannya dengan kebijaksanaan dan ketetapan yang sempurna. Dalam konteks kehidupan, ayat ini mengajarkan bahwa manusia tidak perlu khawatir terhadap rezeki, karena semua sudah berada dalam pengaturan Allah yang Maha Kuat. Dengan kata lain, simbol-simbol dalam ayat ini membangun makna bahwa ketergantungan manusia sepenuhnya kepada Allah sebagai sumber segala sesuatu.

    Penjelasan Ulama Tafsir

    Dalam tafsirnya Ruh al-Ma‘ani, Syihabuddin al-Alusi menekankan bahwa Allah adalah satu-satunya pemberi rezeki (ar-Razzaq), bukan sekadar pemberi dalam jumlah terbatas, tetapi secara terus-menerus dan mencakup semua makhluk. Kata ar-Razzaq dalam bentuk mubalaghah menunjukkan kelimpahan dan kesinambungan. Ia juga menyoroti makna Dzul Quwwah (Pemilik Kekuatan) yang menunjukkan bahwa rezeki Allah diberikan tanpa keterbatasan dan tidak dipengaruhi oleh kelemahan atau kebutuhan. Istilah al-Matin mengindikasikan keteguhan dan ketangguhan Allah dalam menjaga ciptaan-Nya. Al-Alusi menafsirkan ayat ini sebagai bukti bahwa segala kebutuhan manusia dan makhluk lain berada dalam kekuasaan-Nya, sehingga manusia harus bertawakal penuh kepada-Nya.

    Fakhruddin ar-Razi dalam Mafatih al-Ghayb menyoroti bahwa rezeki Allah tidak hanya terbatas pada aspek material, tetapi juga mencakup aspek spiritual seperti ilmu dan hidayah. Ia menghubungkan kata ar-Razzaq dengan keteraturan alam dan hukum sebab-akibat yang ditetapkan Allah. Ar-Razi juga menggarisbawahi Dzul Quwwah sebagai simbol kekuatan mutlak Allah yang tidak tergantung pada makhluk. Sedangkan al-Matin menunjukkan kesinambungan dan kesempurnaan kekuasaan-Nya. Ia menafsirkan ayat ini sebagai penegasan bahwa Allah tidak memerlukan bantuan siapa pun dalam memberikan rezeki, dan manusia seharusnya bergantung kepada-Nya dengan keyakinan penuh.

    Sains dan Pendidikan

    Dalam konteks sains modern, konsep Allah sebagai ar-Razzaq dapat dikaitkan dengan hukum ekologi dan keseimbangan alam. Ilmu biologi menunjukkan bagaimana rantai makanan dan siklus kehidupan diatur secara harmonis untuk menyediakan rezeki bagi semua makhluk. Penelitian dalam astrofisika juga mengungkap bahwa sumber daya di alam semesta telah diatur sejak awal penciptaan, mendukung pandangan bahwa Allah telah menentukan rezeki bagi makhluk-Nya.

    Dalam pendidikan, ayat ini menanamkan nilai-nilai ketergantungan kepada Allah tanpa menghilangkan usaha manusia. Konsep Dzul Quwwah dan al-Matin mengajarkan ketangguhan dan ketekunan dalam belajar serta bekerja. Pendidikan berbasis tauhid menekankan bahwa usaha keras harus dibarengi dengan keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya pemberi rezeki. Kurikulum modern yang mengajarkan kewirausahaan dan pengembangan keterampilan juga dapat dihubungkan dengan konsep ini, di mana usaha manusia dalam mencari rezeki harus sejalan dengan kepercayaan kepada Allah sebagai pemilik segala sesuatu.

    Riset Terkini yang Relevan

    Dr. Muhammad Iqbal & Time melakukan penelitian bertajuk "Sustainability of Natural Resources and The Concept of Divine Providence in Islamic Thought" sebuah studi kualitatif dengan pendekatan integrasi ilmu agama dan lingkungan, menggunakan analisis teks keislaman dan data ekologi global. Penelitian ini menemukan bahwa konsep ar-Razzaq dalam Islam sejalan dengan prinsip keberlanjutan sumber daya alam. Allah telah menciptakan sistem alam yang mampu menyediakan rezeki bagi makhluk hidup, tetapi eksploitasi berlebihan oleh manusia menyebabkan ketidakseimbangan ekologis. Kesimpulannya, keberlanjutan lingkungan membutuhkan pendekatan berbasis spiritualitas dan tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi.

    Dalam penelitian Prof. Aisyah Rahmawati, M.Ed. berjudul "Islamic Education and the Concept of Tawakkul: A Study on Student Resilience" yang menerapkan studi kuantitatif dengan survei terhadap 500 siswa di sekolah Islam di Indonesia, menggunakan skala resilensi dan wawancara mendalam. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa siswa yang memahami konsep tawakal dan ketergantungan kepada Allah lebih memiliki ketahanan mental dalam menghadapi tekanan akademik. Nilai Dzul Quwwah dan al-Matin dalam Islam berkontribusi terhadap sikap pantang menyerah dan optimisme siswa. Penelitian ini merekomendasikan integrasi nilai tauhid dalam kurikulum pendidikan untuk meningkatkan ketahanan mental dan motivasi siswa dalam belajar.

    Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa konsep ar-Razzaq, Dzul Quwwah, dan al-Matin memiliki implikasi luas dalam keberlanjutan sumber daya dan pendidikan karakter. Islam tidak hanya mengajarkan ketergantungan kepada Allah, tetapi juga menekankan usaha dan tanggung jawab dalam memanfaatkan rezeki serta menghadapi tantangan kehidupan.