BLANTERORBITv102

    KAJIAN Q.S. AZ-ZARIYAT: 57

    Selasa, 04 Maret 2025

    Penulis: Prof. Dr. H. Muhammad Yusuf, S.Ag., M.Pd.I.

    Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Alauddin Makassar

    Korelasi Konseptual

    Konseptualisasi (tanasub) antara Surah Az-Zariyat ayat 56 dan 57 menggambarkan hubungan erat antara tujuan penciptaan manusia dan kemandirian Allah dalam memberikan rezeki. Ayat 56 menegaskan bahwa tujuan utama penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah:

    "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku."

    Sementara itu, ayat 57 menegaskan bahwa Allah tidak membutuhkan rezeki atau pemberian dari makhluk-Nya. Ini menunjukkan bahwa ibadah bukanlah bentuk "bantuan" kepada Allah, melainkan suatu bentuk kepatuhan dan penyadaran diri manusia akan ketergantungannya kepada-Nya.

    Dalam konteks pendidikan dan sains modern, hubungan kedua ayat ini dapat dimaknai sebagai landasan etika dalam pencarian ilmu dan pengembangan teknologi. Pendidikan bertujuan membentuk manusia yang sadar akan hakikat penciptaannya, bukan sekadar mengejar materi atau kekayaan, melainkan untuk memberikan manfaat bagi peradaban dalam rangka mengabdi kepada Allah.

    Dalam sains, konsep ini mendorong ilmuwan untuk memahami bahwa meskipun manusia mengembangkan berbagai teknologi dan inovasi, mereka tetap tidak memiliki kendali mutlak atas sumber daya alam dan kehidupan. Allah-lah satu-satunya yang memberi rezeki, dan manusia hanya berusaha menemukan cara terbaik untuk memanfaatkannya secara etis dan bertanggung jawab.

    Dengan demikian, hubungan ayat 56 dan 57 mengajarkan bahwa ilmu dan teknologi seharusnya tidak membuat manusia angkuh atau merasa mandiri dari Allah, tetapi justru memperkuat kesadaran bahwa semua pencapaian mereka hanyalah hasil dari kehendak dan pemberian-Nya. Pendidikan yang berorientasi pada nilai-nilai ini akan melahirkan individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kesadaran spiritual dan tanggung jawab sosial.

    Analisis Kebahasaan

    مَآ اُرِيْدُ مِنْهُمْ مِّنْ رِّزْقٍ وَّمَآ اُرِيْدُ اَنْ يُّطْعِمُوْنِ ۝٥٧

    Terjemahnya: "Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku" (57).

    Secara sintaksis, ayat ini terdiri dari dua klausa paralel yang diawali dengan مَآ اُرِيْدُ ("Aku tidak menghendaki"). Pola pengulangan ini memperkuat makna penolakan secara tegas. Frasa مِنْهُمْ مِّنْ رِّزْقٍ menggunakan dua huruf مِنْ untuk menekankan bahwa Allah sama sekali tidak membutuhkan rezeki dari makhluk-Nya, bahkan dalam bentuk terkecil sekalipun. Kalimat kedua وَّمَآ اُرِيْدُ اَنْ يُّطْعِمُوْنِ mengikuti struktur yang serupa, menegaskan bahwa Allah tidak bergantung pada makhluk dalam hal makanan. Penggunaan kata اُطْعِمُوْنِ (memberi makan) dalam bentuk fi'il mudhari’ menunjukkan kesinambungan, menekankan bahwa kebutuhan itu tidak pernah ada dalam bentuk apa pun. Struktur ayat ini menunjukkan pola penegasan yang kuat dalam bentuk penolakan absolut.

    Seni dan keindahan retorika dalam ayat ini tampak pada penggunaan مَآ اُرِيْدُ yang diulang dua kali, menciptakan efek penegasan mutlak. Frasa مِنْهُمْ مِّنْ رِّزْقٍ memiliki تأكيد بالمصدر (penguatan dengan kata sumber) melalui مِنْ yang berfungsi sebagai penafian total. Penggunaan kata kerja يُّطْعِمُوْنِ yang berakar dari ط-ع-م (makan) mencerminkan kebergantungan manusia terhadap makanan, sementara Allah menolak ketergantungan tersebut. Balagah dalam ayat ini juga tampak dalam التقديم والتأخير (pemusatan makna) pada objek مِنْهُمْ مِّنْ رِّزْقٍ, yang menegaskan bahwa manusia bukan sumber rezeki bagi Allah. Penggunaan bentuk jamak dalam يُّطْعِمُوْنِ menunjukkan bahwa meskipun semua makhluk berusaha memberi makan, tetap tidak akan mengubah ketidaktergantungan Allah.

    Kata رِّزْقٍ dalam ayat ini merujuk pada segala sesuatu yang diberikan kepada makhluk untuk kelangsungan hidup, baik materiil (makanan, harta) maupun non-materiil (ilmu, keberkahan). Penggunaan kata اَنْ يُّطْعِمُوْنِ menunjukkan aspek kebutuhan makhluk terhadap makanan, yang dalam konteks manusia adalah sesuatu yang fundamental. Secara semantik, ayat ini mengandung makna penolakan absolut terhadap kemungkinan bahwa Allah membutuhkan sesuatu dari makhluk-Nya. Hal ini menegaskan konsep tauhid bahwa Allah Maha Kaya (الغني) dan tidak membutuhkan bantuan siapa pun. Struktur negasi dalam ayat ini juga menunjukkan kesempurnaan Allah dalam sifat القَيُّوْمُ (Yang Maha Berdiri Sendiri), yang tidak membutuhkan bantuan atau dukungan dari selain-Nya.

    Jadi, kata رِّزْقٍ juga tidak hanya bermakna makanan tetapi juga rezeki secara luas, yang dalam konteks manusia mencerminkan kebutuhan dasar. Kalimat ini menegaskan ketidaktergantungan Allah terhadap ciptaan-Nya. Penolakan terhadap konsep اَنْ يُّطْعِمُوْنِ menegaskan bahwa Allah bukan hanya tidak membutuhkan makanan secara fisik, tetapi juga menolak konsep ketergantungan dalam bentuk apa pun. Secara simbolik, ini menegaskan superioritas Allah dan kelemahan makhluk. Penggunaan bentuk kata kerja mudhari’ dalam يُّطْعِمُوْنِ secara semiotis menunjukkan proses yang berkelanjutan, memperkuat gagasan bahwa kebutuhan akan makanan adalah sifat makhluk, sementara Allah bebas dari semua itu.

    Penjelasan Ulama Tafsir

    Fakhrur Razi dalam Tafsir al-Kabir menekankan bahwa ayat ini menegaskan bahwa Allah Maha Kaya dan tidak memerlukan bantuan makhluk. Menurutnya, ada dua aspek utama dalam ayat ini: pertama, Allah tidak membutuhkan rezeki dari manusia, dan kedua, Allah tidak memerlukan makanan dari mereka. Ini untuk menghapus anggapan yang berkembang di kalangan kaum musyrik bahwa Allah membutuhkan sesajen atau kurban sebagaimana dewa-dewa dalam kepercayaan mereka.

    Razi juga menafsirkan bahwa pernyataan ini adalah bentuk penegasan bahwa manusia harus menyadari ketergantungan mutlak mereka kepada Allah, bukan sebaliknya. Hal ini berhubungan dengan konsep tauhid dalam Islam, yang menolak segala bentuk penyekutuan Allah. Ia juga menjelaskan bahwa ayat ini mengandung pelajaran moral bahwa manusia seharusnya bekerja mencari rezeki, tetapi tetap meyakini bahwa semua itu berasal dari Allah, bukan hasil usaha mereka semata.

    Selain itu, Razi melihat ayat ini sebagai bantahan bagi mereka yang beranggapan bahwa ibadah adalah bentuk "imbalan" yang harus diberikan kepada Allah. Sebaliknya, ibadah dilakukan sebagai wujud syukur dan ketaatan kepada Allah yang Maha Pemberi rezeki.

    Dalam Ruh al-Ma'ani, Syihabuddin Al-Alusi juga menjelaskan ayat ini dengan pendekatan linguistik dan teologis. Ia menyoroti bahwa penggunaan kata rizq dan yut’imun (memberi makan) menunjukkan bahwa Allah sama sekali tidak memerlukan bantuan dari makhluk-Nya, baik dalam bentuk materi maupun pelayanan. Hal ini untuk menegaskan bahwa sifat rububiyah Allah bersifat mutlak dan tidak terbatas oleh makhluk.

    Al-Alusi juga menghubungkan ayat ini dengan ayat sebelumnya yang berbicara tentang penciptaan manusia dan jin untuk beribadah kepada Allah (Q.S. Az-Zariyat: 56). Ini menegaskan bahwa tujuan utama manusia adalah beribadah, bukan sekadar mencari nafkah. Namun, ia juga menekankan bahwa dalam beribadah, manusia harus memahami bahwa segala sesuatu berasal dari Allah, termasuk rezeki mereka.

    Dari aspek filsafat ketuhanan, Al-Alusi mengkritik pandangan materialisme yang menganggap bahwa manusia bekerja semata-mata untuk mencari nafkah. Ia menegaskan bahwa konsep rezeki dalam Islam lebih luas, mencakup aspek spiritual dan moral, bukan hanya materi.

    Sains Modern dan Pendidikan 

    Secara ilmiah, ayat ini relevan dengan konsep keberlanjutan (sustainability) dalam sains modern, terutama dalam kajian ekologi dan ekonomi. Sains membuktikan bahwa keseimbangan alam telah diatur secara sempurna oleh hukum-hukum alam yang diciptakan Allah. Misalnya, dalam bidang ekologi, konsep keberlanjutan menunjukkan bahwa sumber daya alam yang ada di bumi mencukupi jika dikelola dengan baik, bukan dengan eksploitasi berlebihan.

    Dari perspektif ekonomi, ayat ini menegaskan konsep bahwa manusia bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan materi, tetapi juga untuk memberikan manfaat kepada orang lain. Prinsip ini mendukung teori ekonomi Islam yang berbasis keberkahan dan distribusi yang adil.

    Dalam pendidikan, ayat ini mengajarkan bahwa tujuan utama manusia bukan hanya mengejar materi, tetapi juga membangun karakter berbasis tauhid dan tanggung jawab sosial. Konsep ini mendukung model pendidikan karakter yang saat ini banyak diterapkan dalam kurikulum modern, seperti education for sustainable development (ESD), yang menekankan keseimbangan antara spiritualitas, sosial, dan ekonomi.

    Di era digital, prinsip ayat ini juga dapat diterapkan dalam membangun mindset bahwa kerja dan inovasi harus berlandaskan nilai-nilai moral. Pendidikan modern harus mengajarkan bahwa keberhasilan seseorang bukan hanya diukur dari materi, tetapi juga kontribusinya terhadap kemanusiaan dan lingkungan.

    Riset Terkini  yang Relevan

    Beberapa riset yang memiliki relevansi dengan penjelasan dan narasi ini. Satu riset yang dirilis oleh Dr. Ayesha Khan & Prof. Abdullah Al-Farsi berjudul "The Role of Islamic Work Ethics in Sustainable Business Practices". Ia memanfaatka metode atau studi kualitatif dengan wawancara terhadap 50 pemilik usaha kecil dan menengah di Timur Tengah. Temuannya memperetgas prinsip Islam tentang rezeki dan keberlanjutan mendorong para pengusaha untuk menerapkan etika bisnis yang lebih adil dan berorientasi pada kesejahteraan sosial.

    Para pelaku usaha yang meyakini bahwa rezeki adalah pemberian Allah lebih cenderung menerapkan praktik bisnis yang ramah lingkungan dan berbasis kejujuran. Hasil riset ini mendukung konsep dalam Q.S. Az-Zariyat: 57, bahwa manusia tidak boleh merasa sebagai pemilik mutlak rezeki, tetapi sebagai pengelola yang bertanggung jawab.

    Seolain itu, Dr. Hamzah Rahman & Dr. Laila Syarifah juga merilis hasil risetnya yang berjudul "Islamic Educational Philosophy and Its Impact on Character Building". Metode yang diterapkan adakah studi kasus di tiga universitas Islam di Indonesia dengan metode survei dan wawancara mendalam. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan berbasis tauhid, - sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. Az-Zariyat: 57-, menghasilkan mahasiswa yang lebih memiliki kesadaran sosial tinggi dan tidak semata-mata mengejar kesuksesan material.

    Kurikulum yang mengintegrasikan ajaran Islam tentang rezeki dan tanggung jawab sosial menghasilkan lulusan yang lebih siap berkontribusi dalam bidang sosial dan lingkungan.

    Pembelajaran berbasis tauhid memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang keseimbangan antara spiritualitas dan kehidupan profesional.

    Hubungannya adalah penafsiran Fakhrur Razi dan Syihabuddin Al-Alusi terhadap Q.S. Az-Zariyat ayat 57 menegaskan bahwa Allah tidak membutuhkan rezeki dari manusia, tetapi manusia yang bergantung kepada-Nya. Ini menegaskan konsep tauhid dalam Islam dan menolak pandangan materialisme.

    Dalam sains modern, ayat ini relevan dengan konsep keberlanjutan dan etika ekonomi Islam, yang menekankan bahwa manusia bukan hanya bekerja untuk kepentingan materi tetapi juga untuk kesejahteraan sosial. Dalam pendidikan, pemahaman ini membentuk karakter manusia agar lebih bertanggung jawab dalam mengelola sumber daya dan menjalankan profesinya dengan nilai-nilai moral.

    Dua riset tersebut, paking tidak, menunjukkan bahwa prinsip Islam tentang rezeki berkontribusi terhadap praktik bisnis berkelanjutan dan pendidikan berbasis tauhid yang membangun karakter manusia yang lebih seimbang antara spiritualitas dan kehidupan profesional