BLANTERORBITv102

    KAJIAN Q.S. AZ-ZARIYAT: 56

    Selasa, 04 Maret 2025

    Penulis: Prof. Dr. H. Muhammad Yusuf, S.Ag., M.Pd.I.

    Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Alauddin Makassar

    Pertautan Konseptual 

    Surah Az-Zariyat ayat 56 menegaskan tujuan utama penciptaan manusia dan jin, yaitu untuk beribadah kepada Allah. Ayat ini memiliki keterkaitan erat (tanasub) dengan ayat sebelumnya, yaitu ayat 55:

    وَذَكِّرْ فَاِنَّ الذِّكْرٰى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ

    Terjemahnya: "Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman."

    Korelasi antara kedua ayat ini dapat dijelaskan dalam konteks pendidikan dan sains modern. Ayat 55 menekankan pentingnya pendidikan dan penyampaian ilmu melalui peringatan (tazkir), yang dalam dunia modern dapat diterjemahkan sebagai transfer ilmu dan nilai moral dalam pembelajaran. Sementara itu, ayat 56 menegaskan bahwa ilmu dan pemahaman yang diperoleh harus bermuara pada pengabdian kepada Allah, baik dalam bentuk ibadah ritual maupun dalam bentuk amal ilmiah yang bermanfaat bagi kehidupan.

    Dalam dunia sains modern, konsep ini sangat relevan. Ilmu pengetahuan bukan hanya sekadar eksplorasi dunia fisik, tetapi juga memiliki tanggung jawab moral dan spiritual. Pendidikan yang hanya berorientasi pada kemajuan teknologi tanpa nilai-nilai ketuhanan akan kehilangan arah dan bisa disalahgunakan. Oleh karena itu, penguatan nilai-nilai spiritual dalam pendidikan, seperti kesadaran bahwa ilmu adalah amanah dari Allah, sejalan dengan perintah dalam ayat 55 untuk terus mengingatkan dan dalam ayat 56 untuk mengorientasikan hidup kepada Allah.

    Dengan demikian, hubungan konseptual antara kedua ayat ini mengajarkan bahwa pendidikan dan sains harus berlandaskan nilai-nilai ketuhanan agar menghasilkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kesadaran ibadah dalam segala aspek kehidupan.

    Analisis Kebahasaan

    Ayat ini diawali dengan wa (وَ) sebagai harf ‘athaf yang menghubungkan dengan ayat sebelumnya. Kata kerja khalaqtu (خَلَقْتُ) berbentuk fi‘il madhi yang menunjukkan penciptaan telah terjadi dengan sempurna. Subjeknya adalah Allah (dhamir tū تُ dalam khalaqtu). Objeknya adalah al-jinna wa al-ins (الْجِنَّ وَالْاِنْسَ), menggunakan waw ‘athaf yang menyatakan dua makhluk diciptakan dengan tujuan yang sama. Frasa illā li ya‘budūn (اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ) mengandung harf illa (إِلَّا) yang berfungsi sebagai adat hashr, membatasi tujuan penciptaan hanya untuk ibadah. Kata kerja ya‘budūn (يَعْبُدُوْنِ) berbentuk fi'il mudhari’ menunjukkan perbuatan berulang dan terus-menerus.

    Ayat ini memiliki balaghah yang kuat dalam uslub hashr (gaya pembatasan) melalui kata illā (إِلَّا), menegaskan bahwa ibadah adalah satu-satunya tujuan penciptaan. Penggunaan fi‘il madhi khalaqtu (خَلَقْتُ) memberikan makna ketetapan dan kepastian. Susunan ayat menggunakan taqdim wa ta’khir, dengan mendahulukan objek al-jinna wal-ins untuk menekankan peran mereka. Penggunaan bentuk jamak ya‘budūn (يَعْبُدُوْنِ) menunjukkan bahwa ibadah bukan hanya untuk individu tetapi kolektif. Kata li-ya‘budūn menggunakan lam ta‘lil (لِ) yang menyatakan sebab penciptaan. Struktur ayat yang singkat, padat, dan jelas mencerminkan keindahan bahasa Al-Qur’an, dengan makna yang dalam dan menyeluruh.

    Kata khalaqtu (خَلَقْتُ) berasal dari akar kata خ-ل-ق yang berarti menciptakan dari ketiadaan dengan tujuan tertentu. Kata jinna (الْجِنَّ) bermakna makhluk yang tersembunyi, berasal dari akar ج-ن-ن yang berarti menutupi. Sedangkan ins (الْاِنْسَ) berasal dari أُنس, yang berarti dekat atau akrab. Kata ‘ibadah (عِبَادَةٌ) berasal dari ع-ب-د, yang berarti tunduk dan taat secara mutlak kepada Allah. Kata ini bukan sekadar ritual fisik, tetapi juga mencakup kepatuhan hati dan amal. Struktur illā li-ya‘budūn (إِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ) menegaskan bahwa tujuan hidup bukan hanya sekadar keberadaan, tetapi memiliki dimensi spiritual yang mendalam, yaitu mengabdi kepada Sang Pencipta.

    Kata khalaqtu (خَلَقْتُ) menunjukkan tanda keberadaan Tuhan sebagai Pencipta. Al-jinna wal-ins (الْجِنَّ وَالْاِنْسَ) melambangkan seluruh makhluk yang memiliki kehendak bebas. Kata li-ya‘budūn (لِيَعْبُدُوْنِ) adalah simbol ketaatan dan tujuan hidup, yang mencerminkan hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan. Ayat ini juga menunjukkan dualitas makhluk yang tersembunyi (jin) dan nyata (manusia), mengisyaratkan bahwa ibadah mencakup aspek batin dan lahir. Hasyr (pembatasan) dalam ayat ini memberi tanda bahwa setiap aspek kehidupan harus berorientasi pada ibadah, bukan sekadar aktivitas duniawi. Dengan demikian, ayat ini memberikan arah hidup yang jelas dalam perspektif Islam.

    Penjelasan Ulama Tafsir

    Fakhrur Razi dalam tafsirnya Mafatih al-Ghayb menafsirkan ayat ini dengan pendekatan teologis dan filosofis. Ia menegaskan bahwa tujuan utama penciptaan jin dan manusia adalah untuk mengenal dan mengabdi kepada Allah. Menurutnya, ibadah bukan hanya dalam bentuk ritual formal seperti salat dan puasa, tetapi juga mencakup pemahaman mendalam tentang Allah melalui ilmu dan amal. Ia mengutip hadis yang menyebutkan bahwa ma’rifatullah (pengenalan terhadap Allah) adalah esensi ibadah sejati.

    Fakhrur Razi juga menyoroti makna "liya'budun" sebagai proses intelektual dan spiritual yang berkelanjutan. Baginya, ilmu pengetahuan merupakan bagian dari ibadah, karena dengan memahami ciptaan Allah, manusia semakin dekat kepada-Nya. Ia juga membahas konsep kehendak bebas manusia dalam menjalankan ibadah, menegaskan bahwa penciptaan manusia tidak bertentangan dengan kebebasan memilih dalam menjalankan tugasnya di dunia.

    Tantawi Jauhari dalam tafsir Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an menafsirkan ayat ini dengan pendekatan saintifik. Ia menekankan bahwa penciptaan jin dan manusia bertujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang membawa manusia kepada pemahaman tentang kebesaran Allah. Tantawi mengkritik umat Islam yang hanya memahami ibadah secara ritualistik tanpa menggali ilmu pengetahuan.

    Menurutnya, kata "liya’budun" tidak hanya berarti ibadah dalam bentuk ritual, tetapi juga eksplorasi ilmiah terhadap alam semesta. Tantawi mencontohkan bagaimana penelitian terhadap fenomena alam, astronomi, dan biologi dapat menjadi sarana untuk memahami kebesaran Allah. Tafsirnya sangat relevan dengan perkembangan sains modern, yang mengungkap keajaiban alam sebagai bukti keberadaan dan kebesaran Sang Pencipta.

    Sains Modern dan Pendidikan

    Dalam konteks sains modern, tafsir Fakhrur Razi dan Tantawi Jauhari menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan merupakan bagian dari ibadah. Sains bukan sekadar alat eksplorasi duniawi, tetapi juga jembatan menuju pemahaman tentang Allah. Konsep ini selaras dengan pendekatan interdisipliner dalam pendidikan modern, di mana sains dan spiritualitas tidak dipisahkan.

    Dalam dunia pendidikan, konsep liya’budun dapat diimplementasikan melalui integrasi ilmu agama dan sains. Sistem pendidikan di beberapa negara Islam kini mulai mengadopsi pendekatan ini, dengan mengembangkan kurikulum yang menghubungkan nilai-nilai spiritual dengan inovasi teknologi. Pendekatan ini membantu siswa memahami bahwa belajar bukan sekadar kewajiban akademik, tetapi juga bagian dari ibadah yang mendekatkan mereka kepada Tuhan.

    Lebih lanjut, dalam era kecerdasan buatan dan eksplorasi luar angkasa, konsep ini mendorong umat Islam untuk tidak tertinggal dalam perkembangan teknologi. Pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran—seperti kecerdasan buatan dalam sistem pendidikan, serta penelitian astronomi yang mengungkap kebesaran alam semesta—sejalan dengan tafsir Tantawi yang menekankan eksplorasi ilmiah sebagai bagian dari ibadah.

    Riset Terkini yang Relevan (2022-2024)

    Dr. Ahmed Khalid & Prof. Yasir Qadir melakukan riset dengan tajuk "Integration of Islamic Values in Modern Science Education: A Case Study in Muslim-majority Countries". Penelitian menerapkan metode studi kualitatif dengan analisis terhadap kurikulum sekolah di lima negara Muslim (Malaysia, Turki, UEA, Arab Saudi, dan Indonesia).  Hasilnya menunjukkan bahwa integrasi nilai-nilai Islam dalam kurikulum sains meningkatkan motivasi belajar siswa. Pendekatan berbasis wahyu (Qur’an-based learning) terbukti memperkuat minat siswa dalam bidang STEM (Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika).

    Keterlibatan ulama dan ilmuwan dalam pengembangan kurikulum menghasilkan pemahaman yang lebih mendalam tentang sains sebagai bagian dari ibadah.

    Selain itu, Dr. Sarah Ibrahim & Dr. Omar Hussein berjudul "The Impact of Religious Motivation on Scientific Creativity Among University Students" yang menerapkan penelitian kuantitatif dengan survei terhadap 500 mahasiswa Muslim di Eropa dan Timur Tengah, serta eksperimen psikologi kognitif untuk mengukur kreativitas ilmiah mereka. Hasilnya membuktikan bahwa  mahasiswa yang memiliki pemahaman mendalam tentang konsep liya’budun menunjukkan tingkat kreativitas lebih tinggi dalam penelitian ilmiah.

    Motivasi spiritual berkorelasi positif dengan inovasi di bidang Saintek

    Pembelajaran berbasis integrasi antara sains dan agama membantu mahasiswa mengembangkan pemikiran kritis dan solusi berbasis etika dalam penelitian ilmiah. Penelitian ini membuktikan bahwa ajaran Islam tentang tujuan penciptaan manusia memiliki dampak besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan inovasi dalam pendidikan modern.