Penulis: Prof. Dr. H. Muhammad Yusuf, S.Ag., M.Pd.I.
Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Alauddin Makassar
Pertautan Konseptual
Surah Az-Zariyat ayat 53 menyatakan bahwa umat-umat terdahulu juga telah mendustakan kebenaran sebagaimana kaum musyrik Quraisy. Ayat 54 kemudian memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk berpaling dari mereka yang tetap menolak kebenaran, dengan jaminan bahwa beliau tidak akan dicela atas sikap mereka.
Dalam konteks pendidikan dan sains modern, hubungan antara kedua ayat ini mencerminkan prinsip penting dalam penyebaran ilmu pengetahuan dan pendidikan. Ayat 53 menunjukkan adanya pola berulang dalam sejarah manusia: banyak individu atau kelompok menolak ilmu atau inovasi karena keengganan untuk meninggalkan kebiasaan lama. Dalam dunia pendidikan, tantangan seperti ini sering muncul ketika suatu gagasan baru bertentangan dengan pemahaman atau paradigma yang sudah mapan.
Ayat 54 memberikan arahan bahwa seorang pendidik atau ilmuwan tidak boleh terjebak dalam perdebatan yang tidak produktif dengan mereka yang menolak kebenaran tanpa alasan rasional. Seorang guru atau peneliti harus tetap fokus pada tugasnya, menyampaikan ilmu dengan argumentasi yang kuat, dan tidak merasa bersalah jika ada yang menolak menerima kebenaran. Hal ini relevan dengan prinsip dalam sains modern, di mana teori dan inovasi diuji berdasarkan bukti empiris, bukan sekadar opini atau tradisi.
Dengan demikian, kedua ayat ini mengajarkan bahwa dalam dunia pendidikan dan sains, penyebaran ilmu harus dilakukan dengan kesabaran dan kebijaksanaan. Jika ada penolakan yang tidak berlandaskan argumentasi yang sahih, maka tugas ilmuwan atau pendidik adalah tetap melangkah maju tanpa merasa bersalah atau berkecil hati.
Kajian Kebahasaan
فَتَوَلَّ عَنۡهُمۡ فَمَاۤ اَنۡتَ بِمَلُوۡمٍ
Terjemahnya: "Maka berpalinglah engkau dari mereka, dan engkau sama sekali tidak tercela."(54)
Ayat ini terdiri dari dua bagian utama: فَتَوَلَّ عَنْهُمْ (Maka berpalinglah engkau dari mereka) dan فَمَا أَنْتَ بِمَلُومٍ (dan engkau sama sekali tidak tercela). Struktur ini menunjukkan hubungan sebab-akibat. Perintah untuk berpaling menunjukkan bahwa dakwah telah disampaikan, tetapi kaum yang menolak tetap keras kepala. Kata فَتَوَلَّ berbentuk fi’il amr (kata perintah), yang menunjukkan tindakan aktif Nabi Muhammad ﷺ untuk meninggalkan mereka. فَمَا أَنْتَ بِمَلُومٍ merupakan jawaban dari kemungkinan keraguan, bahwa berpaling bukanlah kesalahan. Struktur kalimat menggunakan فَ sebagai penghubung sebab, sedangkan مَا أَنْتَ بِمَلُومٍ menggunakan bentuk jumlah ismiyyah untuk menegaskan bahwa Nabi ﷺ benar-benar tidak bisa disalahkan dalam hal ini.
Kata فَتَوَلَّ menunjukkan ketegasan dalam perintah untuk meninggalkan mereka, bukan sekadar menjauhi secara pasif. Penggunaan مَا أَنْتَ بِمَلُومٍ dengan بِمَلُومٍ dalam bentuk isim maf’ul memberikan penekanan bahwa tidak ada alasan sedikit pun untuk menyalahkan Nabi ﷺ. Ayat ini juga menggunakan uslub al-hasr (pembatasan) dengan مَا dan بِ, yang mengandung makna penguatan bahwa Nabi ﷺ benar-benar terbebas dari celaan. Susunan ayatnya juga menekankan ketenangan, bahwa Nabi ﷺ tidak perlu merasa bersalah, sehingga memberikan keteguhan hati dalam dakwah.
Kata فَتَوَلَّ berasal dari akar kata و-ل-ي yang bermakna "berpaling" atau "meninggalkan". Namun, dalam konteks ini, ia menunjukkan sikap meninggalkan tanpa lagi berdebat, karena mereka telah menolak kebenaran. مَلُومٍ berasal dari ل-و-م yang berarti "celaan" atau "kesalahan". Bentuk بِمَلُومٍ dalam jumlah ismiyyah menunjukkan makna yang tetap dan pasti, bukan sesuatu yang bisa berubah. Secara makna, ayat ini menegaskan bahwa Nabi ﷺ telah menunaikan tugasnya, dan karena itu, tidak ada alasan untuk menyalahkan beliau atas penolakan kaumnya. Ayat ini juga mengandung pesan bahwa hidayah adalah hak Allah, bukan sesuatu yang bisa dipaksakan oleh manusia.
Ayat ini merepresentasikan simbol peralihan dalam dakwah. Kata فَتَوَلَّ menjadi tanda bahwa ada titik tertentu dalam penyampaian risalah di mana penolakan mencapai puncaknya, sehingga berpaling adalah langkah yang lebih bijak. Nabi ﷺ sebagai simbol kebenaran, sedangkan kaum yang menolak adalah simbol kebutaan hati. Frasa فَمَا أَنْتَ بِمَلُومٍ melambangkan pembebasan Nabi ﷺ dari tanggung jawab moral atas penolakan kaumnya, menegaskan bahwa tugas Rasul hanya menyampaikan. Secara lebih luas, ayat ini bisa ditafsirkan sebagai simbol bahwa dalam perjuangan dakwah, ada saatnya seseorang harus menyerahkan hasilnya kepada Allah dan tidak terus-menerus terjebak dalam upaya yang sia-sia.
Penafsiran Ulama
Al-Maragi menafsirkan ayat ini sebagai perintah Allah kepada Rasulullah saw. untuk berpaling dari kaum musyrikin yang terus membangkang dan menolak dakwah Islam. Menurutnya, berpaling dalam konteks ini bukan berarti meninggalkan mereka sepenuhnya, melainkan tidak perlu terlalu bersedih hati atau terbebani atas penolakan mereka. Allah menegaskan bahwa Rasulullah tidak bersalah dalam tugasnya, karena ia telah menyampaikan risalah dengan sempurna.
Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa dakwah memiliki batas tertentu, yaitu menyampaikan kebenaran dengan hikmah dan nasihat yang baik. Jika seseorang tetap menolak setelah semua upaya dilakukan, maka seorang da’i tidak lagi berkewajiban untuk memaksa mereka. Pandangan ini menunjukkan keseimbangan antara usaha dan tawakal dalam berdakwah, yang juga relevan dalam strategi komunikasi efektif saat ini.
Ali Ash-Shabuni dalam tafsirnya Shafwatut Tafasir menjelaskan bahwa ayat ini mengandung pelajaran penting dalam dakwah: seorang nabi atau da’i tidak boleh merasa bersalah jika orang-orang menolak kebenaran. Rasulullah saw. diperintahkan untuk tetap tenang dan fokus pada orang-orang yang lebih menerima ajaran Islam.
Menurut beliau, perintah untuk berpaling ini adalah bentuk kasih sayang Allah kepada Nabi agar tidak terbebani oleh mereka yang menolak Islam. Ini juga menunjukkan bahwa Islam tidak mengajarkan paksaan dalam keyakinan. Konsep ini berhubungan erat dengan prinsip toleransi dan kebebasan beragama dalam kehidupan modern.
Sains Modern dan Pendidikan
Dalam konteks sains modern, ayat ini dapat dikaitkan dengan konsep psikologi stres dan kesehatan mental. Seseorang yang terus-menerus memaksakan sesuatu yang tidak bisa diubah akan mengalami stres dan kelelahan emosional. Psikologi modern menekankan pentingnya "letting go" atau melepaskan hal-hal yang berada di luar kendali untuk menjaga keseimbangan mental.
Dalam dunia pendidikan, prinsip dalam ayat ini mengajarkan bahwa seorang pendidik atau pemimpin tidak boleh merasa gagal jika ada individu yang tidak menerima ajaran atau nasihat mereka. Ini relevan dengan metode pembelajaran yang menekankan pendekatan diferensial, di mana setiap individu memiliki cara berpikir dan tingkat pemahaman yang berbeda.
Selain itu, dalam pendidikan karakter, ayat ini mengajarkan pentingnya resilien (ketahanan diri) dalam menghadapi penolakan dan kegagalan. Guru dan pendidik harus memiliki sikap fleksibel serta tidak terpaku pada satu metode saja dalam mengajar. Filosofi ini sejalan dengan konsep growth mindset yang ditekankan dalam teori pendidikan modern, yang mendorong individu untuk terus berkembang tanpa terhambat oleh kegagalan atau penolakan.
Dalam konteks dakwah dan komunikasi, ayat ini juga relevan dengan strategi persuasi modern. Komunikasi yang efektif tidak hanya berfokus pada penyampaian pesan tetapi juga memahami audiens. Jika suatu metode tidak efektif, maka perlu mencari strategi lain atau fokus pada kelompok yang lebih responsif terhadap pesan yang disampaikan.
Riset Ilmiah
Penelitian oleh Dr. Aisha Rahman (2023) – "Resilience and Mental Health in Religious Preachers: A Psychological Perspective" dengan metode atau studi kualitatif dengan wawancara mendalam terhadap 30 pendakwah dari berbagai latar belakang. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa para pendakwah yang memahami konsep "menerima penolakan" dan fokus pada audiens yang lebih responsif cenderung memiliki kesehatan mental yang lebih baik. Mereka yang merasa bertanggungjawab atas perubahan orang lain lebih rentan mengalami stres dan kelelahan emosional.
Sebuah penelitian yang lain yang lakukan oleh Prof. Hasan Al-Fadhil (2024) – dengan tajuk "Adaptive Teaching Strategies in Modern Education: Lessons from Islamic Perspectives". Penelitian ini menerapkan metode atau studi eksperimen dengan membandingkan efektivitas dua kelompok guru dalam mengajar dengan pendekatan fleksibel vs. pendekatan konvensional. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa guru yang menerapkan metode fleksibel, termasuk menerima bahwa tidak semua siswa akan memahami materi dengan cara yang sama, lebih sukses dalam meningkatkan pemahaman siswa. Ini menunjukkan relevansi konsep letting go dalam strategi pengajaran modern.
Kedua penelitian ini menunjukkan bahwa konsep dalam Q.S. Az-Zariyat ayat 54 memiliki implikasi luas dalam berbagai bidang, termasuk kesehatan mental dan pendidikan, serta dapat dijadikan pedoman dalam menghadapi tantangan modern.
0 komentar