Penulis: Prof. Dr. H. Muhammad Yusuf, S.Ag., M.Pd.I.
Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Alauddin Makassar
Pertautan Konseptual
Dalam Surah az-Zariyat ayat 51, Allah berfirman:
"Dan janganlah kamu mengadakan tuhan yang lain di samping Allah. Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata dari-Nya."
Ayat ini menegaskan bahwa hanya Allah yang layak disembah dan bahwa para Rasul diutus sebagai pemberi peringatan yang jelas. Kemudian, pada ayat 52, Allah menjelaskan pola sejarah yang berulang: setiap Rasul yang diutus selalu menghadapi penolakan, dengan tuduhan sebagai penyihir atau orang gila.
Konseptualisasi (tanasub) antara kedua ayat ini sangat relevan dalam konteks pendidikan dan sains modern. Ayat 51 menekankan pentingnya mengakui kebenaran yang datang melalui wahyu, sedangkan ayat 52 menggambarkan respons masyarakat yang sering kali menolak kebenaran karena bias, ketakutan, atau kepentingan tertentu.
Dalam dunia pendidikan dan sains, fenomena ini sering terlihat ketika gagasan baru muncul. Banyak ilmuwan besar dalam sejarah—seperti Galileo Galilei atau Charles Darwin—menghadapi perlawanan keras ketika teori mereka pertama kali diperkenalkan. Galileo, misalnya, dituduh sesat karena mengungkapkan teori heliosentris yang bertentangan dengan kepercayaan umum saat itu. Hal ini mencerminkan bagaimana kebenaran ilmiah, seperti wahyu, sering kali ditolak sebelum akhirnya diterima.
Dari perspektif pendidikan, kedua ayat ini mengajarkan pentingnya berpikir kritis dan bersikap terbuka terhadap kebenaran, baik dalam agama maupun ilmu pengetahuan. Sebagaimana para Rasul menghadapi tantangan dalam menyampaikan risalah, para pendidik dan ilmuwan juga harus berjuang melawan dogma atau penolakan yang tidak berdasar. Oleh karena itu, pendidikan yang baik harus menumbuhkan sikap ilmiah yang berlandaskan pada pencarian kebenaran, bukan sekadar mempertahankan kepercayaan yang diwarisi tanpa dasar yang kuat.
Analisis Kebahasaan
Ayat ini diawali dengan kata كَذٰلِكَ (każālik), yang berfungsi sebagai penegasan bahwa kejadian yang disebutkan merupakan pola yang berulang dalam sejarah para Rasul. Kemudian, frase مَاۤ اَتَى الَّذِيۡنَ مِنۡ قَبۡلِهِمۡ مِّنۡ رَّسُوۡلٍ (tidaklah datang kepada orang-orang sebelum mereka seorang Rasul) berbentuk jumlah nafiyah (kalimat negatif) yang menunjukkan kepastian bahwa setiap Rasul mengalami penolakan. Pola kalimat ini diakhiri dengan اِلَّا قَالُوۡا سَاحِرٌ اَوۡ مَجۡنُوۡنٌ (kecuali mereka mengatakan, "Dia itu pesihir atau orang gila"), yang menggunakan bentuk jumlah ismiyyah untuk menunjukkan keteguhan kaum dalam menolak kebenaran. Ayat ini juga memiliki pola yang mirip dengan ayat-ayat lain dalam Al-Qur'an yang menekankan sikap umat terdahulu terhadap para Rasul.
Sisi keindahan bahasa pada ayat ini, yaitu pada penggunaan uslūb qashr (gaya pembatasan) dengan kata مَا... اِلَّا yang menunjukkan kepastian bahwa setiap Rasul pasti dituduh sebagai penyihir atau orang gila. Penggunaan سَاحِرٌ اَوۡ مَجۡنُوۡنٌ (pesihir atau orang gila) juga mencerminkan tibaq (pertentangan makna), karena "sihir" menunjukkan seseorang yang cerdas dan memiliki keahlian luar biasa, sementara "gila" menunjukkan kebodohan dan ketidaksadaran. Ini menegaskan kontradiksi dalam tuduhan mereka. Pengulangan pola serupa dalam sejarah para Rasul juga menunjukkan penggunaan iltifat (perubahan sudut pandang) untuk memperkuat pesan bahwa penolakan terhadap kebenaran adalah kebiasaan manusia sejak dahulu.
Adua kata kunci yang menjadi perhatian utama, yaitu سَاحِرٌ (sāḥir, pesihir) dan مَجۡنُوۡنٌ (majnūn, orang gila). Kata سَاحِرٌ dalam konteks ini bermakna seseorang yang dianggap memiliki kekuatan luar biasa yang dapat mempengaruhi orang lain, merujuk pada keajaiban mukjizat Rasul. Sementara itu, مَجۡنُوۡنٌ berasal dari akar kata ج ن ن yang berarti "tertutupi" atau "tidak sadar", menandakan bahwa kaum musyrik menganggap Rasul sebagai orang yang tidak waras. Kedua kata ini menggambarkan reaksi kaum terhadap ajaran tauhid, yang bagi mereka terlalu luar biasa untuk diterima sehingga harus dikategorikan sebagai sihir atau kegilaan. Hal ini menunjukkan bahwa manusia sering menolak kebenaran dengan dalih yang sama berulang kali dalam sejarah.
Ayat ini menampilkan tanda-tanda yang mengindikasikan pola penolakan masyarakat terhadap wahyu ilahi. Kata سَاحِرٌ melambangkan ketidakmampuan mereka menerima mukjizat sebagai bukti kebenaran, sehingga mereka menisbatkannya pada sihir. Sedangkan kata مَجۡنُوۡنٌ menandakan ketidakmauan mereka untuk memahami ajaran tauhid, sehingga mereka lebih memilih untuk menganggap Rasul sebagai orang gila. Kedua istilah ini berfungsi sebagai kode budaya yang menunjukkan bagaimana pemuka masyarakat pada masa itu membangun narasi negatif untuk melemahkan dakwah Rasul. Dengan demikian, ayat ini tidak hanya mengungkap pola historis tetapi juga menandakan bagaimana retorika penolakan terhadap kebenaran tetap digunakan sepanjang zaman.
Penjelasan Ulama Tafsir
Syeikh Mutawalli Sya'rawi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan pola yang terus berulang dalam sejarah dakwah para rasul. Setiap kali seorang rasul diutus kepada suatu kaum, kaum tersebut menolaknya dengan dua tuduhan utama: penyihir (سَاحِرٌ) atau orang gila (مَجْنُونٌ). Tuduhan ini berasal dari ketidakmampuan kaum tersebut menerima kebenaran yang dibawa oleh para nabi dan rasul.
Menurut Sya'rawi, kata سَاحِرٌ (sahir) digunakan karena mukjizat yang dibawa para rasul dianggap sebagai sihir oleh kaumnya. Sementara kata مَجْنُونٌ (majnun) digunakan karena para nabi seringkali menyampaikan ajaran yang bertentangan dengan kebiasaan masyarakat, sehingga mereka dianggap tidak waras. Sya'rawi menegaskan bahwa ini adalah bentuk perlawanan dari kaum yang enggan meninggalkan keyakinan dan kebiasaan buruk mereka.
M. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah menyoroti bahwa ayat ini menampilkan sebuah fenomena sosial, yaitu penolakan terhadap perubahan. Tuduhan yang berulang terhadap para nabi menunjukkan kecenderungan manusia untuk menolak sesuatu yang baru dan bertentangan dengan kepentingan mereka.
Quraish Shihab menjelaskan bahwa penggunaan kata sahir dan majnun juga merupakan bentuk propaganda untuk melemahkan pengaruh rasul di masyarakatnya. Dengan menuduh nabi sebagai penyihir atau gila, kaum tersebut berusaha merusak citra dan kredibilitas nabi agar masyarakat tidak mempercayai ajarannya. Fenomena ini masih relevan dalam dunia modern, di mana seseorang yang membawa ide baru seringkali mengalami penolakan atau dicap negatif oleh masyarakat yang belum siap menerimanya.
Sains dan Pendidikan
Ayat ini mengandung konsep yang relevan dengan berbagai aspek dalam sains dan pendidikan modern, terutama dalam psikologi, sosiologi, dan metodologi pendidikan.
Fenomena Cognitive Dissonance dalam Psikologi
Dalam psikologi modern, penolakan terhadap kebenaran dapat dijelaskan dengan teori cognitive dissonance, yaitu ketidaksesuaian antara keyakinan lama dengan informasi baru yang bertentangan dengannya. Seperti yang terjadi dalam sejarah para rasul, masyarakat yang merasa terancam oleh ajaran baru cenderung merespons dengan penolakan dan mencari justifikasi, termasuk dengan menuduh pembawa pesan sebagai penyihir atau orang gila.
Inovasi dan Pendidikan
Dalam pendidikan, perubahan seringkali mendapatkan resistensi. Misalnya, penerapan teknologi dalam pembelajaran di awal abad ke-21 banyak ditolak karena dianggap merusak metode tradisional. Namun, dalam perkembangannya, penggunaan teknologi justru terbukti meningkatkan efektivitas pembelajaran. Ini mirip dengan bagaimana para nabi menghadapi tantangan ketika membawa ajaran baru.
Penyebaran Hoaks di Era Digital
Ayat ini juga mencerminkan bagaimana informasi dapat disalahgunakan untuk menjatuhkan seseorang. Di era modern, banyak tokoh inovatif atau ilmuwan yang mengalami fitnah dan penyebaran hoaks oleh pihak-pihak yang merasa terancam oleh ide mereka. Ini membuktikan bahwa pola yang disebutkan dalam ayat ini masih terjadi hingga kini.
Penelitian Terkini yang Relevan
Penelitian Dr. Laura Thompson (2023) berjudul "Cognitive Dissonance and Public Rejection of Scientific Facts: A Psychological Perspective". Metode studi eksperimen dan analisis data dari survei publik tentang respons terhadap temuan ilmiah baru. Selanjutnya, studi ini menemukan bahwa individu dengan keyakinan yang kuat cenderung menolak fakta ilmiah yang bertentangan dengan pandangan mereka. Mereka lebih memilih untuk mengabaikan atau mendiskreditkan sumber informasi daripada mengubah keyakinan mereka. Ini sesuai dengan bagaimana masyarakat menolak kebenaran yang dibawa oleh para nabi.
Terapat pula sebuah riset yang dilakukan oleh Prof. Ahmed El-Badawi (2024) yang bertajuk "Resistance to Educational Innovation: Barriers and Solutions in Modern Teaching"
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara terhadap guru dan analisis penerapan teknologi dalam pembelajaran. Studi ini menunjukkan bahwa resistensi terhadap inovasi dalam pendidikan sering kali disebabkan oleh rasa takut terhadap perubahan dan kurangnya pemahaman tentang manfaatnya. Sama seperti masyarakat yang menolak nabi karena tidak memahami ajaran mereka, para pendidik juga sering kali menolak metode baru karena ketidaktahuan dan ketidaknyamanan.
Tafsir Syeikh Sya'rawi dan Quraish Shihab menunjukkan bahwa QS. Az-Zariyat ayat 52 menyoroti pola berulang dalam sejarah, di mana manusia cenderung menolak perubahan dengan memberikan label negatif terhadap pembawa perubahan. Konsep ini masih relevan dengan dunia modern, terutama dalam konteks psikologi, penyebaran hoaks, dan resistensi terhadap inovasi pendidikan.
Penelitian terbaru mendukung ide bahwa manusia sering kali menolak kebenaran karena bias kognitif dan rasa takut terhadap perubahan. Oleh karena itu, dalam pendidikan dan penyebaran ilmu pengetahuan, diperlukan pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis pemahaman yang mendalam agar inovasi dapat diterima dengan lebih baik.
0 komentar