BLANTERORBITv102

    KAJIAN Q.S. AZ-ZARIYAT: 51

    Senin, 03 Maret 2025

    Penulis: Prof. Dr. H. Muhammad Yusuf, S.Ag., M.Pd.I.

    Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Alauddin Makassar

    Pertautan Konseptual

    Dalam Surah Az-Zariyat ayat 50, Allah berfirman:

    فَفِرُّوۡۤا اِلَى اللّٰهِ‌ؕ اِنِّىۡ لَـكُمۡ مِّنۡهُ نَذِيۡرٌ مُّبِيۡنٌa

    Terjemanya: "Maka segeralah kembali kepada Allah. Sungguh, aku seorang pemberi peringatan yang jelas dari-Nya untukmu."

    Ayat ini menyeru manusia untuk kembali kepada Allah sebagai satu-satunya sumber kebenaran, baik dalam aspek spiritual maupun intelektual. Ayat berikutnya (Az-Zariyat: 51) kemudian mempertegas seruan ini dengan larangan menjadikan ilah lain selain Allah, karena hanya Dia yang berhak disembah dan menjadi pedoman utama dalam kehidupan.

    Dalam konteks pendidikan dan sains modern, kedua ayat ini memiliki keterkaitan konseptual (tanasub) yang erat. Ayat 50 mengarahkan manusia untuk mencari kebenaran pada sumber yang hakiki, yaitu Allah, yang dalam pendidikan dapat dimaknai sebagai dorongan untuk menuntut ilmu dengan niat yang benar. Sementara ayat 51 menegaskan bahwa dalam pencarian ilmu, manusia tidak boleh terjebak dalam sekularisme ekstrem yang menjauhkan nilai-nilai ketuhanan dari sains dan pendidikan.

    Ilmu pengetahuan yang berkembang pesat di era modern sering kali membawa manusia pada sikap materialistik yang menjadikan sains sebagai satu-satunya "ilah", seolah-olah segala sesuatu dapat dijelaskan hanya dengan metode empiris. Ayat 51 menjadi peringatan bahwa manusia tidak boleh menggantikan ketundukan kepada Allah dengan ketundukan kepada akal dan sains semata. Ilmu harus tetap diarahkan pada kebaikan dan kemaslahatan umat manusia dengan tetap berlandaskan nilai-nilai ketuhanan.

    Dengan demikian, keterkaitan antara kedua ayat ini dalam konteks pendidikan dan sains modern mengajarkan keseimbangan antara rasionalitas dan spiritualitas. Ilmu pengetahuan harus berkembang dalam koridor ketauhidan, sehingga tidak hanya menghasilkan kemajuan teknologi, tetapi juga membangun peradaban yang berakhlak dan bermakna.

    Analisis Kebahasaan

    Struktur ayat ini terdiri dari larangan dan peringatan. Bagian pertama, "وَلَا تَجۡعَلُوۡا مَعَ اللّٰهِ اِلٰهًا اٰخَرَ", adalah larangan tegas terhadap perbuatan syirik, menggunakan kata kerja تَجْعَلُوا dalam bentuk larangan (لَا النَّاهِيَة) yang menunjukkan tindakan yang harus dihentikan. Frasa "مَعَ اللَّهِ" mempertegas bahwa larangan ini berlaku untuk semua bentuk penyekutuan terhadap Allah. Bagian kedua, "اِنِّىۡ لَـكُمۡ مِّنۡهُ نَذِيۡرٌ مُّبِيۡنٌ", adalah peringatan, dengan penggunaan إِنِّي untuk menegaskan posisi Rasul sebagai pemberi peringatan yang jelas (نَذِيرٌ مُّبِينٌ). Struktur ini menunjukkan keseimbangan antara larangan dan peringatan sebagai bentuk dakwah yang persuasif dan tegas.

    Ayat ini menggunakan gaya bahasa nahy (larangan) dengan وَلَا تَجۡعَلُوۡا, yang menunjukkan ketegasan larangan syirik. Pemakaian مَعَ اللّٰهِ menegaskan bahwa syirik adalah tindakan yang menyamakan makhluk dengan Allah, sesuatu yang tidak dapat dibenarkan. Frasa اِلٰهًا اٰخَرَ dalam bentuk nakirah (indefinitif) menunjukkan bahwa sekecil apa pun bentuk penyekutuan dilarang. Pada bagian kedua, kata اِنِّىۡ memberikan makna penekanan terhadap peran Rasul sebagai peringatan langsung dari Allah. Penggunaan نَذِيۡرٌ مُّبِيۡنٌ memperkuat makna bahwa Rasul memberi peringatan dengan cara yang sangat jelas dan mudah dipahami, mencerminkan ketinggian retorika dalam penyampaian dakwah.

    Kata اِلٰهًا berasal dari akar kata أله yang berarti sesuatu yang disembah atau dipertuhankan. Kata ini dalam bentuk indefinitif menegaskan bahwa tidak ada entitas apa pun yang boleh dipertuhankan selain Allah. مَعَ اللّٰهِ menunjukkan bahwa larangan ini bukan hanya menyangkut penyembahan berhala, tetapi juga segala bentuk penyekutuan, baik secara nyata maupun tersirat. Kata نَذِيۡرٌ berasal dari نذر, yang berarti peringatan terhadap bahaya yang akan datang, menunjukkan urgensi dakwah Rasul. Kata مُّبِيۡنٌ berasal dari akar kata ب ي ن, yang berarti jelas atau terang, menegaskan bahwa peringatan yang diberikan tidak bersifat samar, melainkan sangat eksplisit dan mudah dipahami.

    Salah bentuk keseimbangan al-Quran dalam memberi tuntunan adalah dalam bentuk perintah dan larangan. Dalam konteks ini, ayat ini memiliki dua tanda utama: larangan dan peringatan. Larangan syirik dalam وَلَا تَجۡعَلُوۡا مَعَ اللّٰهِ اِلٰهًا اٰخَرَ adalah tanda ketegasan tauhid sebagai inti ajaran Islam. Ini menandakan bahwa segala bentuk penyekutuan adalah pelanggaran serius terhadap hubungan manusia dengan Allah. Sedangkan pernyataan اِنِّىۡ لَـكُمۡ مِّنۡهُ نَذِيۡرٌ مُّبِيۡنٌ menjadi tanda peringatan Rasul sebagai utusan Allah yang membawa kebenaran dengan bukti yang nyata. Kontras antara kedua bagian ini menunjukkan hubungan sebab-akibat: siapa pun yang menyekutukan Allah akan menerima konsekuensi serius, dan tugas Rasul adalah memberi peringatan sebelum azab itu terjadi. Ini mencerminkan makna simbolik bahwa tauhid adalah jalan keselamatan, sedangkan syirik membawa kehancuran.

    Penafsiran Ulama

    Sayyid Qutb dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an menjelaskan bahwa ayat ini merupakan seruan tauhid yang kuat dan tegas. Menurutnya, larangan menjadikan sesembahan lain di samping Allah bukan hanya berkaitan dengan penyembahan berhala secara fisik, tetapi juga segala bentuk ketundukan manusia kepada selain Allah, termasuk ketundukan kepada hawa nafsu, kekuasaan, dan materialisme. Ia menekankan bahwa Rasulullah diutus sebagai pemberi peringatan agar manusia kembali kepada kemurnian tauhid dan menjauh dari segala bentuk penyimpangan akidah. Sayyid Qutb juga mengaitkan ayat ini dengan fenomena sosial di mana manusia seringkali lebih mengutamakan kepentingan duniawi dibandingkan ketaatan kepada Allah.

    Sementara itu, Tantowi Jauhari dalam tafsirnya Tafsir Al-Jawahir menyoroti aspek ilmiah dari ayat ini. Ia menafsirkan bahwa larangan menyekutukan Allah juga mencakup kesadaran manusia terhadap keteraturan alam semesta. Ia mengaitkannya dengan hukum-hukum fisika dan astronomi yang menunjukkan keesaan dan kekuasaan Allah. Baginya, keberadaan satu sistem yang sempurna di alam semesta adalah bukti bahwa tidak mungkin ada lebih dari satu pengatur yang berkuasa. Dengan demikian, Tantowi Jauhari menggunakan pendekatan saintifik untuk meneguhkan konsep tauhid dalam ayat ini.

    Sains Modern dan Pendidikan 

    Penafsiran Sayyid Qutb relevan dengan kajian psikologi dan sosiologi modern yang membahas ketergantungan manusia pada hal-hal selain Tuhan, seperti ketergantungan pada teknologi, budaya konsumtif, dan ideologi materialisme. Misalnya, dalam psikologi, fenomena "idol worship" atau pengkultusan terhadap figur publik dan teknologi dapat dikaitkan dengan konsep syirik modern. Pendidikan karakter dalam kurikulum modern juga menekankan nilai spiritualitas agar manusia tidak hanya mengejar kepentingan duniawi, tetapi juga memiliki keseimbangan spiritual.

    Sementara itu, pendekatan Tantowi Jauhari sejalan dengan pendidikan sains berbasis nilai-nilai Islam. Dalam era STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics), pemahaman ilmiah tentang keteraturan alam dapat digunakan untuk memperkuat konsep tauhid. Misalnya, dalam fisika kuantum dan kosmologi, keteraturan dalam hukum-hukum alam semakin menguatkan argumen bahwa alam semesta diciptakan oleh satu kekuatan tunggal. Di dunia pendidikan, integrasi antara ilmu sains dan agama sangat penting untuk membangun generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga memiliki kesadaran spiritual yang tinggi.

    Riset yang Relevan

    Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Muhammad Asadullah (2024) bertajuk "The Impact of Spiritual Intelligence on Psychological Well-being: A Study on University Students". Penelitian tersebut menggunakan studi kuantitatif dengan survei terhadap 500 mahasiswa di berbagai universitas di Amerika dan Timur Tengah. Penelitian ini menemukan bahwa mahasiswa dengan tingkat kecerdasan spiritual yang tinggi cenderung memiliki tingkat stres yang lebih rendah dan kesejahteraan mental yang lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa kepercayaan kepada Tuhan dan nilai-nilai spiritual membantu seseorang menghadapi tekanan hidup dengan lebih tenang dan rasional. Temuan ini menguatkan pandangan Sayyid Qutb bahwa ketundukan kepada selain Allah dapat menyebabkan keresahan dan kekacauan dalam kehidupan manusia.

    Penelitian yang dilakukan oleh Prof. Ahmad Fauzan dan Dr. Rina Suryani (2024) yang berjudul: "Integrating Quranic Scientific Interpretation in STEM Education: A Case Study in Indonesia. Studi ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus di beberapa sekolah berbasis Islam di Indonesia yang mengintegrasikan tafsir ilmiah dalam kurikulum STEM.

    Studi ini menunjukkan bahwa pendekatan integrasi antara sains dan tafsir Al-Qur'an meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep ilmiah sekaligus memperkuat keyakinan keagamaan mereka. Misalnya, ketika membahas keteraturan kosmos, siswa diajak memahami hubungan antara ayat-ayat kauniyah dalam Al-Qur'an dan hukum fisika. Ini sejalan dengan gagasan Tantowi Jauhari yang menekankan bukti ilmiah dalam memahami tauhid.

    Jadi, baik dalam aspek psikologis maupun pendidikan sains, tafsir Sayyid Qutb dan Tantowi Jauhari tetap relevan dengan tantangan zaman modern. Studi-studi terbaru juga menunjukkan bahwa spiritualitas dan integrasi sains-religius memiliki peran penting dalam membangun manusia yang seimbang secara intelektual dan emosional.