BLANTERORBITv102

    KAJIAN Q.S. AZ-ZARIYAT: 48

    Senin, 03 Maret 2025

    Penulis: Prof. Dr. H. Muhammad Yusuf, S.Ag., M.Pd.I.

    Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Alauddin Makassar

    Pertautan Konseptual

    Surah Az-Zariyat ayat 47 dan 48 memiliki keterkaitan konseptual yang sangat erat dalam menjelaskan kebesaran Allah dalam penciptaan alam semesta. Ayat 47 menyatakan:

    وَالسَّمَآءَ بَنَيْنٰهَا بِاَيْيْدٍ وَّاِنَّا لَمُوْسِعُوْنَ ۝٤٧

    Terjemahnya: "Dan langit Kami bangun dengan kekuasaan (Kami), dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya."

    Ayat ini menegaskan bahwa Allah menciptakan dan memperluas alam semesta. Kemudian, ayat 48 melanjutkan dengan menjelaskan penciptaan bumi yang dihamparkan dengan penuh perhitungan dan keseimbangan.

    Dari perspektif pendidikan dan sains modern, kedua ayat ini dapat dikaitkan dengan konsep kosmologi dan geologi. Ayat 47 sejalan dengan teori ekspansi alam semesta yang ditemukan dalam sains modern, yang menunjukkan bahwa alam semesta terus berkembang sejak peristiwa Big Bang. Sementara itu, ayat 48 menggambarkan bagaimana bumi diciptakan dalam bentuk yang layak untuk kehidupan manusia, yang dalam geologi modern dapat dikaitkan dengan proses pembentukan lapisan-lapisan bumi, tektonik lempeng, dan keseimbangan ekosistem yang memungkinkan kehidupan.

    Dalam konteks pendidikan, ayat-ayat ini mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan dan keimanan harus berjalan beriringan. Ilmuwan yang mempelajari struktur dan evolusi alam semesta dapat menemukan tanda-tanda kebesaran Allah dalam setiap fenomena yang mereka teliti. Dengan demikian, pembelajaran sains dalam pendidikan modern harus diarahkan untuk tidak hanya memahami fenomena alam, tetapi juga menyadari adanya kebijaksanaan ilahi di balik penciptaan tersebut.

    Dengan memahami keterkaitan antara kedua ayat ini, kita diajak untuk mengembangkan sains yang berlandaskan spiritualitas, sehingga ilmu tidak hanya bersifat materialistik, tetapi   mengantarkan manusia pada kesadaran akan kebesaran Sang Pencipta.

    Analisis Linguistik

    وَالْاَرْضَ فَرَشْنٰهَا فَنِعْمَ الْمٰهِدُوْنَ ۝٤٨

    Terjemahnya: "Bumi Kami hamparkan. (Kami adalah) sebaik-baik Zat yang menghamparkan."(48)

    Ayat ini terdiri dari dua klausa utama. Klausa pertama, "وَالْاَرْضَ فَرَشْنٰهَا", memiliki susunan kata dengan kata benda (وَالْاَرْضَ, "bumi") sebagai objek maf'ul bih, dan kata kerja (فَرَشْنٰهَا, "Kami hamparkan") yang berbentuk fi’il madhi dengan dhamir "Kami". Klausa kedua, "فَنِعْمَ الْمٰهِدُوْنَ", merupakan bentuk pujian (sighat al-madh) yang diawali dengan huruf فاء sebagai penghubung (lil-ta’qib). Struktur ini menegaskan hubungan sebab-akibat, yaitu setelah bumi dihamparkan, Allah menegaskan Diri-Nya sebagai Zat terbaik dalam melakukannya.

    Gaya bahasa dalam ayat ini menunjukkan i'jaz (keindahan mukjizat) Al-Qur'an. Penggunaan "فَرَشْنٰهَا" (menghamparkan) memberikan kesan kelembutan dan kemudahan dalam penciptaan bumi. Kemudian, ungkapan "فَنِعْمَ الْمٰهِدُوْنَ" menggunakan sighat al-madh (ungkapan pujian), yang menegaskan keagungan Allah sebagai Pencipta. Bentuk نِعْمَ adalah shighah madah yang menunjukkan pujian yang sempurna. Selain itu, terdapat tasybih makni, yaitu perumpamaan yang tidak disebutkan secara eksplisit, di mana bumi diibaratkan seperti hamparan yang nyaman untuk kehidupan.

    Kata "فَرَشْنٰهَا" berasal dari akar kata "فرش", yang berarti menghamparkan atau meratakan sesuatu agar nyaman digunakan. Ini menunjukkan bahwa bumi diciptakan dalam keadaan yang cocok untuk kehidupan. Kata "مٰهِدُوْنَ" berasal dari "مَهَّدَ", yang bermakna menyiapkan atau meratakan sesuatu agar nyaman. Makna ini memperjelas bahwa Allah tidak hanya menciptakan bumi, tetapi juga menjadikannya layak huni. Penggunaan bentuk jamak dalam "الْمٰهِدُوْنَ" adalah bentuk ta'zhim (pengagungan), menekankan keagungan Allah dalam menciptakan dan mengatur alam.

    Kalau ayat Al-Quran diposisikan sebagai tanda maka ayat ini mencerminkan tanda-tanda kekuasaan Allah dalam penciptaan bumi. Kata "فَرَشْنٰهَا" menandakan tindakan aktif Allah dalam menciptakan bumi sebagai tempat tinggal manusia. Frasa "فَنِعْمَ الْمٰهِدُوْنَ" bertindak sebagai tanda superioritas dan keagungan Allah. Hubungan antara kedua klausa menggambarkan bumi bukan hanya sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai manifestasi dari sifat Rahman dan Rahim Allah. Penggunaan kata kerja lampau (فَرَشْنٰهَا) menunjukkan bahwa penciptaan bumi sudah sempurna sejak awal, sementara bentuk jamak dalam الْمٰهِدُوْنَ memberikan tanda bahwa tindakan penciptaan ini penuh kebijaksanaan dan kelengkapan.

    Penjelasan Ulama Tafsir


    Wahbah Az-Zuhaili

    Dalam tafsirnya, Tafsir Al-Munir, Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan keagungan Allah dalam menciptakan dan mengatur bumi. Kata farasynaaha berasal dari farasya, yang berarti menghamparkan atau menjadikan sesuatu luas dan nyaman untuk dihuni. Ini menunjukkan bahwa bumi diciptakan dalam kondisi yang memungkinkan kehidupan berkembang dengan baik. Az-Zuhaili menekankan bahwa penghamparan bumi mencerminkan kebijaksanaan Allah, di mana manusia dapat beraktivitas, bercocok tanam, dan membangun peradaban. Selain itu, frasa fa ni’ma al-maahiduun menunjukkan bahwa Allah adalah sebaik-baik yang mengatur dan menyiapkan bumi bagi kehidupan. Tafsir ini berfokus pada aspek keindahan penciptaan dan keseimbangan ekosistem bumi sebagai bukti kebesaran Allah.


    Mutawalli Sya'rawi dalam Tafsir Asy-Sya’rawi menekankan makna farasynaaha sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya. Ia menjelaskan bahwa penghamparan bumi bukan sekadar luas secara fisik, tetapi juga dalam fungsi ekologisnya yang menopang kehidupan. Sya'rawi mengaitkan ayat ini dengan fenomena ilmiah, seperti gravitasi, rotasi bumi, dan keseimbangan atmosfer yang menjaga kehidupan manusia. Menurutnya, bumi dirancang dengan sistem yang kompleks agar manusia dapat hidup nyaman. Ia juga menafsirkan bahwa bumi tidak hanya dihamparkan dalam bentuk daratan, tetapi juga memiliki lapisan-lapisan yang berfungsi menopang kehidupan, termasuk air, udara, dan berbagai unsur lainnya.

    Sains Modern dan Pendidikan 

    Dalam perspektif sains, ayat ini sangat relevan dengan konsep geologi dan ekologi modern. Penelitian geofisika menunjukkan bahwa bumi memiliki struktur yang memungkinkan kehidupan berkembang. Konsep farasynaaha dapat dikaitkan dengan teori tektonik lempeng, yang menjelaskan bagaimana pergerakan kerak bumi membentuk permukaan yang stabil. Selain itu, atmosfer bumi dirancang dengan keseimbangan yang tepat, memungkinkan oksigen, air, dan sinar matahari bekerja secara harmonis untuk mendukung kehidupan.

    Dari segi pendidikan, ayat ini mengajarkan tentang kebesaran Tuhan melalui ilmu pengetahuan. Pendidikan modern mengembangkan pendekatan integratif antara ilmu agama dan sains. Di beberapa institusi Islam, seperti Universitas Islam Madinah dan Universitas Al-Azhar, pendekatan ini diterapkan dalam kurikulum. Konsep bumi yang dihamparkan juga berkontribusi pada studi lingkungan, yang mengajarkan manusia untuk menjaga keseimbangan alam sesuai dengan prinsip keberlanjutan (sustainability).

    Dalam dunia pendidikan terkini, pemahaman tentang ayat ini dapat dikaitkan dengan pembelajaran berbasis STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics). Misalnya, dalam mata pelajaran geografi, konsep tentang ekosistem, struktur bumi, dan perubahan iklim dapat dikaitkan dengan makna ayat ini. Selain itu, dalam pendidikan karakter, ayat ini dapat digunakan untuk menanamkan nilai-nilai kepedulian terhadap lingkungan dan tanggung jawab manusia dalam menjaga bumi.

    Kaitan dengan Temuan Ilmiah

    Ada sebuah riset yang dilakukan oleh Dr. Ahmed Al-Ghamdi (2023) - melakukan riset bertajuk "Geological Stability and the Earth's Surface Formation: A Quranic Perspective". Penelitian menggunakan metode studi komparatif antara ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas bumi dengan penelitian geologi modern. Data dikumpulkan dari jurnal ilmiah dan eksperimen geofisika.

    Studi ini menemukan bahwa konsep farasynaaha dalam QS. Az-Zariyat ayat 48 berkorelasi dengan prinsip stabilitas geologi bumi. Penelitian menunjukkan bahwa penyebaran daratan dan pembentukan lempeng tektonik memiliki keselarasan dengan bagaimana bumi "dihamparkan" agar dapat dihuni.

    Selain itu, sebuah riset yang dilakukan oleh Prof. Fatima Khalid (2024) dengan judul "The Impact of Islamic-Based Environmental Education on Students' Awareness of Sustainability" dengan menerapkan metode penelitian kuantitatif dengan survei terhadap 500 mahasiswa yang mempelajari pendidikan lingkungan berbasis nilai Islam.

    Temuan dari riset ini menunjukkan bahwa pengajaran konsep keislaman tentang alam, termasuk QS. Az-Zariyat ayat 48, meningkatkan kesadaran mahasiswa dalam menjaga lingkungan. Pendekatan ini meningkatkan pemahaman mereka tentang keberlanjutan dan pentingnya menjaga keseimbangan ekologis.

    Penafsiran Wahbah Az-Zuhaili dan Mutawalli Sya'rawi terhadap QS. Az-Zariyat ayat 48 memberikan wawasan tentang bagaimana bumi diciptakan dan disiapkan bagi kehidupan manusia. Dalam konteks sains modern, ayat ini selaras dengan teori geologi, stabilitas bumi, dan keseimbangan lingkungan. Dalam pendidikan, pemahaman ayat ini dapat diterapkan dalam kurikulum berbasis STEM dan pendidikan lingkungan. Sementara itu, dua riset terbaru menunjukkan relevansi ayat ini dengan geologi dan pendidikan keberlanjutan, memperkuat integrasi antara ilmu agama dan sains.