BLANTERORBITv102

    KAJIAN Q.S. AZ- ZARIYAT: 45

    Minggu, 02 Maret 2025

    Penulis: Prof. Dr. H. Muhammad Yusuf, S.Ag., M.Pd.I.

    Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Alauddin Makassar

    Pertautan Konseptual

    Surah Az-Zariyat ayat 44 menyebutkan bahwa kaum Tsamud berlaku sombong terhadap perintah Allah, sehingga mereka ditimpa azab yang membuat mereka binasa. Ayat berikutnya, yakni ayat 45, menegaskan akibat dari kesombongan tersebut: mereka tidak mampu bangkit (فَمَا اسْتَطَاعُوْا مِنْ قِيَامٍ) dan tidak dapat menolong diri sendiri (وَّمَا كَانُوْا مُنْتَصِرِيْنَ).

    Pertautan konseptual antara kedua ayat ini mengajarkan bahwa kesombongan terhadap kebenaran dan ilmu dapat membawa kehancuran. Dalam konteks pendidikan dan sains modern, ini menjadi pelajaran penting bahwa menolak ilmu dan enggan menerima perubahan bisa menghambat kemajuan individu maupun peradaban.

    Di dunia pendidikan, seseorang yang menutup diri dari ilmu dan enggan berpikir kritis akan sulit berkembang. Kesombongan intelektual, seperti menolak ide baru atau tidak mau mengakui kesalahan, dapat menghambat inovasi. Hal ini serupa dengan keadaan kaum Tsamud yang sombong dan akhirnya kehilangan kemampuan untuk bangkit dari kehancuran.

    Dalam sains, sejarah mencatat bahwa peradaban yang menolak kemajuan ilmu sering mengalami kemunduran. Misalnya, di abad pertengahan, bangsa yang menolak perkembangan ilmu pengetahuan akhirnya tertinggal oleh mereka yang terbuka terhadap penelitian dan inovasi. Seperti kaum Tsamud yang kehilangan daya untuk bangkit, demikian pula individu atau bangsa yang menolak sains akan tertinggal dalam kompetisi global.

    Dengan demikian, ayat-ayat ini mengajarkan pentingnya sikap rendah hati dalam menuntut ilmu, menerima kebenaran, serta terus berinovasi agar tidak mengalami stagnasi atau kehancuran seperti kaum terdahulu.

    Kajian Keberhasilan

    Ayat ini terdiri dari dua klausa utama yang diawali dengan "فَمَا" (fa-mā) sebagai bentuk negasi dan penekanan terhadap ketidakmampuan kaum yang dibinasakan. Frasa pertama, "اسْتَطَاعُوْا مِنْ قِيَامٍ" (mereka tidak mampu bangun), menggunakan kata kerja "اسْتَطَاعُوْا" yang menunjukkan ketidakberdayaan total. Frasa kedua, "وَّمَا كَانُوْا مُنْتَصِرِيْنَ" (mereka tidak mendapat pertolongan), menggunakan pola jumlah ismiyyah (kalimat nominal), memperkuat kepastian bahwa mereka tidak akan selamat. Penggunaan huruf "وَّ" (wa) menghubungkan dua kondisi tragis, memperjelas bahwa mereka tidak hanya tak berdaya tetapi juga tidak ada pihak yang membantu mereka. Secara struktural, ayat ini menunjukkan kesinambungan dengan ayat sebelumnya yang membahas kehancuran kaum terdahulu akibat kezaliman mereka.

    Keindahan balagah dalam ayat ini terlihat dalam penggunaan struktur negasi "فَمَا اسْتَطَاعُوْا" yang memperkuat ketidakmampuan total kaum yang dibinasakan. Kata "مِنْ قِيَامٍ" dengan tambahan "مِنْ" berfungsi sebagai taukid (penegasan), menunjukkan bahwa mereka bahkan tidak bisa bangkit sedikit pun. Pengulangan negasi dalam "وَّمَا كَانُوْا مُنْتَصِرِيْنَ" menambah tekanan emosional terhadap kehancuran mereka. Bentuk kata "مُنْتَصِرِيْنَ" dalam pola isim fa'il menunjukkan sifat permanen ketidakberdayaan mereka. Keterpaduan balagah dalam ayat ini menegaskan hukuman Ilahi yang mutlak dan tak terhindarkan, memberikan efek peringatan yang mendalam bagi pendengar atau pembaca Al-Qur'an.

    Kata "اسْتَطَاعُوْا" bermakna kemampuan yang bersyarat, tetapi dalam ayat ini, negasinya menunjukkan ketidakmampuan total, bukan hanya dalam arti fisik tetapi juga eksistensial. Kata "قِيَامٍ" bisa bermakna berdiri secara fisik atau bangkit kembali setelah kehancuran, menunjukkan bahwa kaum tersebut benar-benar musnah tanpa harapan untuk kembali. Sementara itu, "مُنْتَصِرِيْنَ" berasal dari akar kata "نصر" (pertolongan/kemenangan), tetapi dalam bentuk isim fa'il, ia menyiratkan bahwa mereka seharusnya berada dalam kondisi memperoleh kemenangan, namun justru tidak. Makna ini mempertegas bahwa tidak ada kemungkinan mereka mendapat bantuan, baik dari diri mereka sendiri maupun dari pihak lain. Dengan demikian, ayat ini menyampaikan makna kehancuran total tanpa jalan keluar.

    Ayat ini menyiratkan simbolisme kehancuran mutlak sebagai akibat dari keingkaran terhadap kebenaran. "فَمَا اسْتَطَاعُوْا مِنْ قِيَامٍ" melambangkan hilangnya kekuatan dan daya hidup, bukan hanya dalam arti fisik tetapi juga dalam makna spiritual dan sosial. Kaum yang dihancurkan tidak bisa bangkit lagi, mencerminkan ketidakberdayaan yang sempurna. Sementara itu, "وَّمَا كَانُوْا مُنْتَصِرِيْنَ" menunjukkan bahwa tidak ada elemen eksternal yang dapat menyelamatkan mereka, melambangkan keterputusan total dari pertolongan Ilahi dan manusia. Ayat ini secara simbolis memperingatkan bahwa kezaliman dan kedurhakaan akan membawa kehancuran tanpa peluang untuk bertahan. Ini menjadi pelajaran bagi umat manusia tentang konsekuensi dari penolakan terhadap kebenaran.

    Penjelasan Ulama Tafsir

    At-Tabari menjelaskan bahwa ayat ini menggambarkan kehancuran yang menimpa umat-umat terdahulu akibat kedurhakaan mereka terhadap Allah. Ketika azab datang, mereka tidak mampu berdiri atau mempertahankan diri. Frasa فَمَا اسْتَطَاعُوْا مِنْ قِيَامٍ menurut At-Tabari berarti mereka tidak sanggup berdiri untuk melarikan diri atau melawan azab. Sedangkan وَّمَا كَانُوْا مُنْتَصِرِيْنَ menegaskan bahwa mereka tidak mendapat pertolongan dari siapa pun, baik dari diri sendiri maupun orang lain. At-Tabari menekankan bahwa ayat ini mengingatkan manusia agar tidak mengulangi kesalahan umat sebelumnya, karena akibatnya adalah kehancuran total tanpa peluang untuk bangkit kembali.

    Al-Qurtubi dalam tafsirnya juga menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan kelemahan manusia di hadapan azab Allah. Ia menafsirkan فَمَا اسْتَطَاعُوْا مِنْ قِيَامٍ sebagai ketidakmampuan mereka untuk berdiri atau mempertahankan diri, baik secara fisik maupun mental, akibat azab yang tiba-tiba. Sementara itu, وَّمَا كَانُوْا مُنْتَصِرِيْنَ menegaskan bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk menolong diri sendiri atau meminta bantuan dari orang lain. Al-Qurtubi juga menyoroti aspek keadilan Allah, bahwa kehancuran ini adalah akibat dari perbuatan mereka sendiri. Dengan demikian, ayat ini menjadi peringatan keras bagi umat manusia agar tidak sombong dan selalu patuh kepada ajaran Allah.

    Sains dan Pendidikan 

    Ayat ini memiliki relevansi yang kuat dalam konteks sains dan pendidikan modern. Dari perspektif sains, ayat ini bisa dikaitkan dengan prinsip sebab-akibat dalam hukum alam. Banyak bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, dan badai yang menyebabkan kehancuran mendadak, di mana manusia tidak dapat berdiri atau menyelamatkan diri, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat ini. Ilmu geologi dan meteorologi membuktikan bahwa bencana tersebut sering kali terjadi akibat ketidakseimbangan ekosistem atau eksploitasi alam yang berlebihan, yang bisa dikaitkan dengan ketidaktaatan manusia terhadap aturan alam yang ditetapkan oleh Allah.

    Dari sudut pandang pendidikan, ayat ini mengajarkan pentingnya persiapan dan kewaspadaan. Pendidikan modern menekankan pentingnya mitigasi bencana dan kesiapsiagaan dalam menghadapi situasi darurat. Kurangnya kesiapan dalam menghadapi bencana sering kali menyebabkan korban jiwa yang besar, sebagaimana yang tergambar dalam ayat ini. Oleh karena itu, pendidikan saat ini perlu memasukkan pembelajaran tentang mitigasi bencana sebagai bentuk ikhtiar manusia dalam menghadapi tantangan alam.

    Selain itu, ayat ini juga relevan dalam pendidikan moral dan karakter. Manusia sering kali merasa kuat dan tidak terkalahkan, namun kenyataannya, mereka sangat lemah tanpa perlindungan Allah. Dalam dunia pendidikan, nilai-nilai seperti rendah hati, kesadaran akan keterbatasan diri, serta pentingnya kerja sama dan pertolongan sosial harus diajarkan sejak dini. Dengan memahami bahwa tidak ada manusia yang bisa sepenuhnya bergantung pada dirinya sendiri, pendidikan dapat membentuk individu yang lebih peduli terhadap sesama dan selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah.

    Ayat ini bukan hanya menjadi peringatan tentang azab Allah, tetapi juga mengandung hikmah ilmiah dan pendidikan yang relevan untuk kehidupan modern. Ilmu pengetahuan dan pendidikan harus dijadikan alat untuk memahami hukum-hukum Allah di alam semesta, sehingga manusia dapat hidup lebih selaras dengan aturan-Nya.