BLANTERORBITv102

    KAJIAN Q.S. AZ-ZARIYAT: 40

    Sabtu, 01 Maret 2025

    Penulis: Prof. Dr. H. Muhammad Yusuf, S.Ag., M.Pd.I.

    Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Alauddin Makassar

    Pertautan Konseptual 

    Surah Az-Zariyat ayat 39 dan 40 membentuk kesinambungan konseptual tentang kesombongan dan akibat dari penolakan terhadap kebenaran. Ayat 39 menggambarkan bagaimana Fir’aun berpaling dari kebenaran, memilih untuk bersikap angkuh dan menentang ajaran Nabi Musa. Kesombongannya bukan hanya bersifat personal, tetapi juga sistemik, menular kepada bala tentaranya dan rakyatnya. Kemudian, ayat 40 menegaskan konsekuensi dari sikap tersebut, yaitu kehancuran Fir’aun dan tentaranya dengan ditenggelamkan ke laut.

    Dalam konteks pendidikan modern, ayat-ayat ini memberi pelajaran penting tentang sikap terbuka terhadap ilmu dan kebenaran. Fir’aun mewakili sosok yang menolak perubahan, mengabaikan ilmu yang disampaikan kepadanya, serta mempertahankan kekuasaan dengan menindas yang lain. Dalam dunia akademik dan sains, sikap seperti ini dapat dianalogikan dengan resistensi terhadap inovasi atau pengetahuan baru. Banyak penemuan ilmiah yang pada awalnya ditolak karena bertentangan dengan paradigma lama, tetapi kemudian terbukti benar dan membawa kemajuan bagi peradaban.

    Dalam pendidikan, sikap arogan dan menolak kebenaran dapat menghambat perkembangan intelektual seseorang. Seorang pendidik atau ilmuwan yang menutup diri dari kritik dan wawasan baru akan kehilangan kesempatan untuk berkembang. Sebaliknya, kesediaan untuk belajar dari kesalahan, menerima kebenaran yang didukung bukti, dan beradaptasi dengan perubahan adalah kunci kemajuan dalam ilmu pengetahuan.

    Dengan demikian, keterkaitan antara ayat 39 dan 40 dalam surah Az-Zariyat mengajarkan bahwa keangkuhan dalam menolak kebenaran, baik dalam agama maupun ilmu pengetahuan, akan membawa kehancuran, sedangkan sikap rendah hati dan terbuka terhadap ilmu adalah jalan menuju kemajuan.

    Analisis Kebahasaan

    فَاَخَذْنٰهُ وَجُنُوْدَهٗ فَنَبَذْنٰهُمْ فِى الْيَمِّ وَهُوَ مُلِيْمٌۗ ۝٤٠

    Terjemahnya: "Maka, Kami menghukumnya beserta bala tentaranya, lalu Kami menenggelamkan mereka ke dalam laut dalam keadaan melakukan perbuatan yang tercela."(40)

    Ayat ini memiliki struktur yang kuat dalam penyampaian hukuman terhadap Fir'aun dan tentaranya. Ayat diawali dengan kata فَاَخَذْنٰهُ ("Maka, Kami menghukumnya"), yang menunjukkan hubungan sebab-akibat dari kezaliman mereka. Penggunaan وَجُنُوْدَهٗ ("beserta bala tentaranya") menegaskan bahwa hukuman tidak hanya untuk Fir'aun tetapi juga pengikutnya. Frasa فَنَبَذْنٰهُمْ فِى الْيَمِّ ("lalu Kami menenggelamkan mereka ke dalam laut") menggambarkan tindakan langsung Allah. Akhir ayat وَهُوَ مُلِيْمٌ ("dalam keadaan melakukan perbuatan yang tercela") menunjukkan keadaan mereka ketika dihukum. Struktur ini membangun narasi yang jelas dan mengandung unsur ancaman bagi para penentang kebenaran.

    Penggunaan kata فَاَخَذْنٰهُ (Kami menghukumnya) dalam bentuk fi'il madhi menunjukkan kepastian hukuman Allah. Kata فَنَبَذْنٰهُمْ (Kami melemparkan mereka) menggunakan lafaz "nabdz" yang biasanya berarti membuang sesuatu yang hina, menunjukkan kehinaan Fir’aun dan tentaranya. Penggunaan الْيَمِّ (laut) tanpa penjelasan tambahan menunjukkan kedahsyatan hukuman. Frasa وَهُوَ مُلِيْمٌ (dalam keadaan tercela) memperkuat makna dengan menyatakan bahwa mereka tidak hanya dihukum, tetapi juga berada dalam kondisi yang hina. Struktur dan pilihan diksi ini memberikan efek retoris yang kuat dan menekankan kebinasaan total Fir’aun dan pengikutnya.

    Kata أَخَذْنٰهُ berarti ‘menghukum dengan keras’, bukan sekadar mengambil. Kata جُنُودَ (bala tentara) menunjukkan bahwa pengikut Fir’aun juga ikut terkena azab. Kata نَبَذْنٰهُمْ berasal dari نبذ yang berarti ‘membuang dengan hina’. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak hanya ditenggelamkan tetapi juga dihancurkan dengan kehinaan. Kata الْيَمِّ bisa bermakna ‘laut’ atau ‘sungai besar’, yang dalam konteks ini merujuk pada Laut Merah. مُلِيْمٌ berasal dari لام yang berarti ‘mencela’, menggambarkan kondisi Fir’aun yang tercela akibat kezaliman dan kekafirannya. Makna kata-kata dalam ayat ini saling menguatkan dalam menggambarkan azab Allah yang sangat berat terhadap Fir’aun dan bala tentaranya.

    Pada hal yang lain, ayat ini mengandung tanda-tanda kehancuran tirani. Kata أَخَذْنٰهُ menandakan intervensi langsung Allah terhadap kezaliman. نَبَذْنٰهُمْ فِى الْيَمِّ melambangkan kebinasaan total, bukan sekadar kematian biasa, tetapi dengan cara yang memalukan. Air dalam konteks ini melambangkan keadilan Ilahi yang menghapus kezaliman, sebagaimana juga terjadi dalam kisah Nabi Nuh. وَهُوَ مُلِيْمٌ menandakan kondisi batin Fir’aun yang hina sebelum kematiannya, menunjukkan bahwa kesombongan akhirnya berujung pada kehinaan. Secara keseluruhan, ayat ini menggunakan simbol-simbol untuk memperkuat pesan bahwa kezaliman pasti berakhir dengan kehancuran, memberikan pelajaran bagi umat manusia tentang konsekuensi dari menentang kebenaran.

    Penjelasan Ulama Tafsir

    Ahmad Mustafa Al-Maragi menafsirkan ayat ini sebagai bentuk hukuman Allah terhadap Fir’aun dan bala tentaranya karena kezaliman mereka terhadap Bani Israil. Fir’aun merupakan pemimpin yang sombong dan menolak dakwah Nabi Musa meskipun telah diperlihatkan berbagai mukjizat. Ia justru semakin melampaui batas dengan mengklaim dirinya sebagai tuhan. Akibatnya, Allah menenggelamkannya bersama pasukannya di Laut Merah.

    Menurut Al-Maragi, kata "فَنَبَذْنٰهُمْ فِى الْيَمِّ" (Kami menenggelamkan mereka ke dalam laut) menunjukkan bahwa mereka dilemparkan ke dalam laut sebagai bentuk penghinaan. Keadaan "وَهُوَ مُلِيْمٌ" (dalam keadaan tercela) menggambarkan Fir’aun yang mati dalam kehinaan setelah sebelumnya menyebarkan kesombongan dan kezaliman. Kisah ini mengajarkan bahwa kekuasaan dan kesombongan tanpa keimanan hanya akan berujung pada kehancuran.

    Dalam tafsirnya, Ali Ash-Shabuni menjelaskan bahwa ayat ini merupakan bentuk keadilan Allah terhadap kezaliman Fir’aun. Kata "فَأَخَذْنَاهُ" (Kami menghukumnya) menunjukkan hukuman yang datang tiba-tiba dan tidak dapat dihindari. Fir’aun dan pasukannya yang mengejar Bani Israil akhirnya ditenggelamkan oleh Allah sebagai balasan atas kesombongan mereka.

    Ali Ash-Shabuni juga menekankan bahwa kata "وَهُوَ مُلِيْمٌ" menegaskan bahwa Fir’aun mati dalam keadaan penuh dosa dan aib. Ia yang dahulu merasa berkuasa dan menindas orang lain justru berakhir dalam kehinaan. Kisah ini merupakan peringatan bagi siapa pun yang menolak kebenaran dan bersikap angkuh di dunia.

    Sains Modern dan Pendidikan

    Ayat ini memiliki relevansi dengan ilmu pengetahuan modern, terutama dalam kajian arkeologi dan sejarah. Penemuan mumi Fir’aun, yang diyakini sebagai Ramses II atau Merneptah, telah menarik perhatian ilmuwan. Penelitian menunjukkan adanya indikasi bahwa ia meninggal secara mendadak, sejalan dengan kisah dalam Al-Qur'an tentang tenggelamnya Fir’aun. Fakta ini menguatkan kebenaran kisah yang disebutkan dalam ayat tersebut.

    Dari perspektif oseanografi, fenomena Laut Merah yang terbuka (seperti yang terjadi dalam mukjizat Nabi Musa) juga mendapat perhatian ilmiah. Beberapa teori menjelaskan bahwa peristiwa ini mungkin disebabkan oleh angin kencang atau aktivitas seismik. Ini menunjukkan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an dapat dikaji lebih lanjut dalam perspektif ilmiah.

    Dalam pendidikan, ayat ini memberikan pelajaran penting tentang kepemimpinan, keadilan, dan moralitas. Fir’aun adalah contoh pemimpin yang gagal karena kesombongan dan kezaliman. Kisah ini bisa dijadikan bahan refleksi dalam pendidikan karakter agar generasi muda tidak terjebak dalam sikap arogan dan penyalahgunaan kekuasaan.

    Pendidikan modern juga menekankan pentingnya berpikir kritis dan menerima kebenaran. Fir’aun menolak kebenaran meskipun sudah melihat bukti nyata. Ini mengajarkan bahwa dalam pembelajaran, seseorang harus terbuka terhadap ilmu pengetahuan dan tidak terjebak dalam kesombongan intelektual.

    Selain itu, dalam konteks pendidikan agama, ayat ini memperkuat keyakinan bahwa kekuasaan dan kemuliaan sejati hanya berasal dari Allah. Hal ini dapat diterapkan dalam pendidikan Islam untuk membentuk pribadi yang rendah hati, adil, dan bertanggung jawab.

    Singkatnya, ayat ini tidak hanya relevan dalam kajian tafsir, tetapi juga dalam ilmu pengetahuan modern dan pendidikan moral, menunjukkan bahwa nilai-nilai Al-Qur’an tetap aplikatif dalam kehidupan saat ini.