Penulis: Prof. Dr. H. Muhammad Yusuf, S.Ag., M.Pd.I.
Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Alauddin Makassar
Pertautan Konseptual
Surah Az-Zariyat ayat 38-39 mengisahkan bagaimana Fir‘aun menolak dakwah Nabi Musa AS. Ayat 38 menyebutkan bahwa di dalam kisah Musa terdapat pelajaran besar ketika dia diutus kepada Fir‘aun dengan membawa bukti kebenaran. Namun, pada ayat 39, respons Fir‘aun justru berupa penolakan dan arogansi. Ia berpaling dengan kekuatannya (بِرُكْنِهٖ), menunjukkan kesombongan dan kepercayaan diri yang berlebihan pada kekuasaan dan ilmu duniawinya, lalu mencap Musa sebagai "penyihir" atau "orang gila."
Pola ini memiliki relevansi dengan pendidikan dan sains modern. Dalam dunia akademik, sejarah menunjukkan bahwa banyak ilmuwan dan pemikir yang pada awalnya ditolak atau dianggap sesat karena ide-ide mereka bertentangan dengan pemahaman yang mapan. Misalnya, Galileo Galilei dicap sebagai pelawan dogma gereja ketika menyatakan bahwa bumi mengelilingi matahari. Demikian pula, dalam dunia pendidikan, ada tantangan dalam menerima inovasi baru yang bertentangan dengan paradigma lama.
Kesombongan intelektual yang digambarkan dalam ayat ini mencerminkan sikap resistensi terhadap kebenaran yang dapat terjadi dalam dunia pendidikan dan sains. Sebagaimana Fir‘aun yang menolak Musa karena merasa lebih berkuasa dan berilmu, dalam dunia modern, kebenaran ilmiah atau inovasi sering kali diabaikan jika tidak sejalan dengan kepentingan tertentu. Oleh karena itu, ayat ini mengajarkan pentingnya sikap rendah hati dalam menuntut ilmu serta keterbukaan terhadap kebenaran, baik dalam agama maupun sains.
Dalam pendidikan, keberanian untuk berpikir kritis dan menerima ide-ide baru sangat diperlukan agar ilmu terus berkembang. Sikap Fir‘aun menjadi peringatan bagi dunia akademik agar tidak menolak kebenaran hanya karena bertentangan dengan pemahaman yang telah mapan.
Syaikh Mutawalli Sya'rawi menjelaskan bahwa ayat ini menggambarkan kesombongan dan keangkuhan Fir‘aun saat menghadapi kebenaran yang dibawa Nabi Musa. Kata "فَتَوَلّٰى بِرُكْنِهٖ" menunjukkan bahwa Fir‘aun berpaling dengan kekuatan dan kekuasaannya, mengandalkan kekuatan politik serta militernya untuk menolak seruan Nabi Musa. Ini menunjukkan bahwa ketika seseorang merasa kuat dan berkuasa, ia cenderung menolak kebenaran yang tidak sesuai dengan kepentingannya.
Adapun perkataan Fir‘aun "سٰحِرٌ اَوْ مَجْنُوْنٌ", menurut Sya‘rawi, adalah cara Fir‘aun meremehkan dan menstigmatisasi Nabi Musa agar rakyatnya tidak percaya kepadanya. Strategi propaganda ini sering digunakan oleh para tiran untuk mendiskreditkan lawan-lawan mereka dengan menuduh mereka sebagai penyihir atau orang gila, bukan dengan membantah argumen mereka secara rasional.
Wahbah Al-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menekankan bahwa "تَوَلّٰى" (berpaling) menunjukkan sikap Fir‘aun yang sombong dan menolak menerima kebenaran, meskipun ia tahu bahwa mukjizat Nabi Musa adalah nyata. Kata "بِرُكْنِهٖ" merujuk pada kekuatan Fir‘aun, baik dari sisi militer, kekuasaan, maupun penasihat-penasihatnya. Fir‘aun mengandalkan hal-hal ini untuk menolak seruan Nabi Musa, bukan karena kurangnya bukti, tetapi karena ketakutannya kehilangan kekuasaan.
Fir‘aun juga menggunakan strategi psikologis dengan menyebut Nabi Musa sebagai "سٰحِرٌ اَوْ مَجْنُوْنٌ" agar rakyatnya tidak mengikuti Nabi Musa. Menurut Al-Zuhaili, ini adalah contoh klasik dari karakter para tiran, yang ketika tidak mampu membantah kebenaran, mereka memilih menyerang kepribadian lawannya.
Psikologi Propaganda dan Hoaks
Ayat ini mencerminkan fenomena psikologi sosial yang masih relevan hingga kini. Dalam dunia modern, strategi yang digunakan Fir‘aun sering kali dijumpai dalam politik, media, dan dunia akademik. Pemimpin atau kelompok tertentu yang merasa terancam oleh kebenaran sering kali menggunakan propaganda untuk menciptakan opini negatif tentang lawannya. Ini selaras dengan teori psikologi komunikasi, di mana opini publik dapat dimanipulasi melalui penggiringan narasi yang menyimpang.
Berpikir Kritis dan Literasi Digital
Dalam konteks pendidikan, ayat ini mengajarkan pentingnya berpikir kritis. Siswa dan masyarakat umum perlu memahami bagaimana suatu informasi dapat dimanipulasi oleh pihak-pihak berkepentingan. Pendidikan modern harus menekankan literasi digital agar orang dapat membedakan fakta dari opini serta tidak mudah terpengaruh oleh propaganda dan hoaks.
Sains dan Penolakan Kebenaran
Sikap Fir‘aun yang menolak kebenaran meskipun ada bukti nyata dapat dikaitkan dengan resistensi terhadap sains dalam masyarakat modern. Misalnya, dalam isu perubahan iklim atau vaksinasi, masih ada kelompok yang menolak bukti ilmiah karena kepentingan politik, ekonomi, atau ideologi. Ini menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi Nabi Musa dalam menyampaikan kebenaran juga terjadi dalam dunia sains, di mana fakta ilmiah sering kali ditolak oleh mereka yang merasa terancam oleh perubahan yang dibawanya.
Akhlak dan Kebenaran
Ayat ini juga memberikan pelajaran penting bagi dunia pendidikan tentang pentingnya menanamkan akhlak dalam menerima kebenaran. Pendidikan tidak hanya harus berorientasi pada penguasaan ilmu, tetapi juga pada pembentukan karakter agar individu tidak arogan terhadap kebenaran dan memiliki keberanian untuk berpihak pada yang benar, meskipun menghadapi tekanan.
Dengan demikian, QS. Az-Zariyat ayat 39 bukan hanya relevan dalam konteks historis, tetapi juga dalam dunia modern, terutama dalam memahami propaganda, literasi informasi, serta pentingnya berpikir kritis dan sikap rendah hati dalam menerima kebenaran.
Penjelasan Ulama Tafsir
Syaikh Mutawalli Sya'rawi menjelaskan bahwa ayat ini menggambarkan kesombongan dan keangkuhan Fir‘aun saat menghadapi kebenaran yang dibawa Nabi Musa. Kata "فَتَوَلّٰى بِرُكْنِهٖ" menunjukkan bahwa Fir‘aun berpaling dengan kekuatan dan kekuasaannya, mengandalkan kekuatan politik serta militernya untuk menolak seruan Nabi Musa. Ini menunjukkan bahwa ketika seseorang merasa kuat dan berkuasa, ia cenderung menolak kebenaran yang tidak sesuai dengan kepentingannya.
Adapun perkataan Fir‘aun "سٰحِرٌ اَوْ مَجْنُوْنٌ", menurut Sya‘rawi, adalah cara Fir‘aun meremehkan dan menstigmatisasi Nabi Musa agar rakyatnya tidak percaya kepadanya. Strategi propaganda ini sering digunakan oleh para tiran untuk mendiskreditkan lawan-lawan mereka dengan menuduh mereka sebagai penyihir atau orang gila, bukan dengan membantah argumen mereka secara rasional.
Wahbah Al-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menekankan bahwa "تَوَلّٰى" (berpaling) menunjukkan sikap Fir‘aun yang sombong dan menolak menerima kebenaran, meskipun ia tahu bahwa mukjizat Nabi Musa adalah nyata. Kata "بِرُكْنِهٖ" merujuk pada kekuatan Fir‘aun, baik dari sisi militer, kekuasaan, maupun penasihat-penasihatnya. Fir‘aun mengandalkan hal-hal ini untuk menolak seruan Nabi Musa, bukan karena kurangnya bukti, tetapi karena ketakutannya kehilangan kekuasaan.
Fir‘aun juga menggunakan strategi psikologis dengan menyebut Nabi Musa sebagai "سٰحِرٌ اَوْ مَجْنُوْنٌ" agar rakyatnya tidak mengikuti Nabi Musa. Menurut Al-Zuhaili, ini adalah contoh klasik dari karakter para tiran, yang ketika tidak mampu membantah kebenaran, mereka memilih menyerang kepribadian lawannya.
Psikologi Propaganda dan Hoaks
Ayat ini mencerminkan fenomena psikologi sosial yang masih relevan hingga kini. Dalam dunia modern, strategi yang digunakan Fir‘aun sering kali dijumpai dalam politik, media, dan dunia akademik. Pemimpin atau kelompok tertentu yang merasa terancam oleh kebenaran sering kali menggunakan propaganda untuk menciptakan opini negatif tentang lawannya. Ini selaras dengan teori psikologi komunikasi, di mana opini publik dapat dimanipulasi melalui penggiringan narasi yang menyimpang.
Berpikir Kritis dan Literasi Digital
Dalam konteks pendidikan, ayat ini mengajarkan pentingnya berpikir kritis. Siswa dan masyarakat umum perlu memahami bagaimana suatu informasi dapat dimanipulasi oleh pihak-pihak berkepentingan. Pendidikan modern harus menekankan literasi digital agar orang dapat membedakan fakta dari opini serta tidak mudah terpengaruh oleh propaganda dan hoaks.
Sains dan Penolakan Kebenaran
Sikap Fir‘aun yang menolak kebenaran meskipun ada bukti nyata dapat dikaitkan dengan resistensi terhadap sains dalam masyarakat modern. Misalnya, dalam isu perubahan iklim atau vaksinasi, masih ada kelompok yang menolak bukti ilmiah karena kepentingan politik, ekonomi, atau ideologi. Ini menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi Nabi Musa dalam menyampaikan kebenaran juga terjadi dalam dunia sains, di mana fakta ilmiah sering kali ditolak oleh mereka yang merasa terancam oleh perubahan yang dibawanya.
Akhlak dan Kebenaran
Ayat ini juga memberikan pelajaran penting bagi dunia pendidikan tentang pentingnya menanamkan akhlak dalam menerima kebenaran. Pendidikan tidak hanya harus berorientasi pada penguasaan ilmu, tetapi juga pada pembentukan karakter agar individu tidak arogan terhadap kebenaran dan memiliki keberanian untuk berpihak pada yang benar, meskipun menghadapi tekanan.
Dengan demikian, QS. Az-Zariyat ayat 39 bukan hanya relevan dalam konteks historis, tetapi juga dalam dunia modern, terutama dalam memahami propaganda, literasi informasi, serta pentingnya berpikir kritis dan sikap rendah hati dalam menerima kebenaran.
0 komentar