BLANTERORBITv102

    KAJIAN Q.S. AZ-ZARIYAT: 53

    Selasa, 04 Maret 2025

    Penulis: Prof. Dr. H. Muhammad Yusuf, S.Ag., M.Pd.I.

    Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Alauddin Makassar

    Pertautan Konseptual

    Surah Az-Zariyat ayat 52 dan 53 membentuk hubungan konseptual yang kuat (tanasub) dalam menjelaskan pola perlawanan kaum terdahulu terhadap kebenaran. Ayat 52 menggambarkan fenomena historis bahwa setiap kali seorang rasul diutus kepada suatu kaum, mereka pasti menghadapi penolakan dan dicap sebagai penyihir atau orang gila. Ayat 53 kemudian mempertanyakan apakah sikap ini merupakan hasil dari kesepakatan bersama atau warisan sosial yang terus berulang. Allah menegaskan bahwa sebenarnya sikap ini lahir dari kedurhakaan dan sikap melampaui batas mereka sendiri.

    Dalam konteks pendidikan dan sains modern, ayat-ayat ini menggambarkan tantangan yang dihadapi oleh para ilmuwan dan pendidik dalam menyampaikan kebenaran ilmiah. Sejarah menunjukkan bahwa banyak inovasi dan teori baru pada awalnya ditolak karena bertentangan dengan keyakinan atau norma yang sudah mapan. Misalnya, teori heliosentris Copernicus awalnya ditentang oleh institusi keagamaan, sebagaimana ilmuwan Muslim seperti Ibnu Sina dan Al-Khwarizmi yang menghadapi resistensi dalam menyebarkan ilmu pengetahuan.

    Ayat 53 menegaskan bahwa penolakan ini bukanlah hasil diskusi rasional, melainkan sikap keras kepala dan kecenderungan untuk menolak kebenaran yang mengganggu kenyamanan atau kepentingan kelompok tertentu. Dalam pendidikan modern, fenomena ini masih terlihat dalam bentuk bias kognitif, ketidakmauan untuk menerima paradigma baru, atau penolakan terhadap bukti ilmiah.

    Oleh karena itu, ayat ini mengajarkan pentingnya sikap terbuka, berpikir kritis, dan menjauhi sikap taklid buta dalam menerima ilmu dan kebenaran. Pendidikan yang berbasis penelitian dan kebebasan berpikir menjadi solusi agar manusia tidak terjebak dalam sikap menolak kebenaran hanya karena warisan sosial atau kepentingan tertentu.

    Analisis Kebahasaan

    Kalimat pada ayat ini terdiri dari dua klausa utama. Klausa pertama berbentuk kalimat tanya, "اَتَوَاصَوۡا بِهٖ" (Apakah mereka saling berpesan tentang hal itu?), yang menunjukkan keheranan dan kritik terhadap sikap orang-orang kafir. Klausa kedua, "بَلۡ هُمۡ قَوۡمٌ طَاغُوۡنَ" (Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas), menggunakan partikel "بَلْ" untuk mengoreksi asumsi sebelumnya dengan menegaskan bahwa mereka bukan sekadar saling berpesan, tetapi memang bersifat melampaui batas. Struktur ini menegaskan bahwa penolakan mereka terhadap kebenaran bukanlah kebetulan atau kebodohan semata, melainkan sebuah sikap yang disengaja dan berulang. Pola kalimat ini efektif dalam membantah tuduhan mereka terhadap para rasul dan menunjukkan bahwa keingkaran mereka adalah warisan dari generasi ke generasi.

    Gaya bahasa dalam ayat ini mengandung uslub istifhām inkārī (pertanyaan yang bermakna pengingkaran), yaitu "اَتَوَاصَوۡا بِهٖ". Ini menunjukkan ketidakmasukakalan bahwa orang-orang kafir dari berbagai zaman bisa bersepakat dalam menolak para nabi, padahal mereka hidup di era yang berbeda. Penggunaan "بَلْ" sebagai istidrak (pengalihan) menegaskan bahwa bukan karena kesepakatan mereka menolak kebenaran, tetapi karena mereka adalah "قَوۡمٌ طَاغُوۡنَ" (kaum yang melampaui batas). Kata "طَاغُوۡنَ" menunjukkan kezaliman dan kesombongan yang berlebihan. Struktur ini memperkuat argumen bahwa penolakan mereka bukan berdasarkan logika, tetapi berasal dari hawa nafsu. Retorika ayat ini memperlihatkan kecaman terhadap sifat keras kepala mereka yang terus-menerus mengingkari kebenaran.

    Kata "اَتَوَاصَوۡا" berasal dari akar kata "وَصَىٰ" yang berarti berwasiat atau berpesan. Penggunaan bentuk kata kerja lampau (ماض) dalam konteks pertanyaan retoris menunjukkan kesan sarkastik: "Apakah mereka benar-benar mewariskan sikap ini satu sama lain?" Sementara itu, "بَلْ" menegaskan bahwa akar masalahnya bukan pada pewarisan ide, melainkan pada sifat dasar mereka yang "طَاغُوۡنَ" (melampaui batas). Kata "طَاغُوۡنَ" berasal dari "طَغَىٰ", yang berarti melampaui batas atau berbuat kezaliman secara berlebihan. Ini menunjukkan bahwa sikap mereka bukan sekadar penolakan, tetapi bentuk kedurhakaan ekstrem. Makna ayat ini menegaskan bahwa keingkaran terhadap para nabi bukan disebabkan oleh argumentasi rasional, melainkan karena sikap sewenang-wenang yang diwariskan dari generasi ke generasi.

    Ayat ini menggambarkan simbol penolakan kebenaran yang berulang dalam sejarah manusia. Kata "اَتَوَاصَوۡا" menunjukkan adanya pola yang berulang dalam sejarah kaum kafir, seolah-olah mereka memang diwarisi sifat membangkang. Namun, "بَلۡ" sebagai penanda transisi makna justru mengisyaratkan bahwa tidak ada warisan literal, melainkan kecenderungan batiniah untuk menolak kebenaran. Frasa "قَوۡمٌ طَاغُوۡنَ" bukan sekadar deskripsi karakter, tetapi simbol dari sifat manusia yang berlebihan dalam keingkaran dan kesombongan. Dengan demikian, ayat ini tidak hanya berbicara kepada kaum kafir masa lalu, tetapi juga kepada siapa saja di masa kini yang menolak kebenaran karena hawa nafsu dan kesombongan, bukan karena alasan rasional.

    Penafsiran Ulama

    Fakhrur Razi dalam tafsirnya Mafatih al-Ghaib menjelaskan bahwa ayat ini berisi kecaman terhadap kaum yang menolak kebenaran para rasul. Frasa أَتَوَاصَوْا بِهِ (Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu?) merupakan bentuk istifhām inkāri (pertanyaan untuk mengingkari), yang menunjukkan bahwa penolakan terhadap ajaran tauhid bukanlah karena kesepakatan atau warisan turun-temurun, melainkan karena kedengkian dan kesombongan.

    Selanjutnya, frasa بَلْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ menegaskan bahwa mereka adalah kaum yang melampaui batas. Ini merujuk pada tindakan mereka yang tidak hanya menolak kebenaran tetapi juga berusaha menggagalkan misi para nabi. Fakhrur Razi menafsirkan bahwa ketidakterimaan mereka terhadap ajaran rasul bukan karena argumentasi rasional, melainkan karena hati mereka telah dikuasai oleh hawa nafsu dan kezaliman.

    Tantowi Jauhari dalam tafsir Tafsir al-Jawahir menekankan aspek ilmiah dalam memahami ayat ini. Ia melihat bahwa penolakan kaum terdahulu terhadap nabi-nabi bukanlah fenomena kebetulan, melainkan bagian dari pola pikir manusia yang cenderung mempertahankan status quo. Dengan menghubungkan ayat ini dengan sejarah peradaban, ia menjelaskan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan sering kali ditentang oleh kelompok yang memiliki kepentingan tertentu.

    Tantowi Jauhari juga menyoroti bahwa "melampaui batas" dalam ayat ini bisa diartikan sebagai penyalahgunaan ilmu dan kekuasaan. Dalam konteks modern, ini dapat dikaitkan dengan penyalahgunaan teknologi dan sains yang berpotensi merugikan manusia jika tidak dikendalikan dengan etika dan nilai-nilai moral.

    Sains Modern dan Pendidikan

    Dalam konteks sains modern, ayat ini dapat dikaitkan dengan bagaimana manusia menolak atau menerima temuan ilmiah. Sejarah menunjukkan bahwa banyak ilmuwan besar, seperti Galileo Galilei dan Charles Darwin, menghadapi penolakan keras karena temuan mereka bertentangan dengan kepercayaan umum saat itu. Hal ini selaras dengan ayat yang mengisyaratkan bahwa penolakan terhadap kebenaran sering kali bukan karena kurangnya bukti, melainkan karena sikap keras kepala dan kepentingan pribadi.

    Di bidang pendidikan, ayat ini mengingatkan kita akan pentingnya membentuk pola pikir kritis dan terbuka terhadap ilmu pengetahuan. Pendidikan yang baik seharusnya tidak hanya mentransmisikan ilmu, tetapi juga membangun karakter agar tidak terjebak dalam sikap dogmatis dan ketertutupan terhadap ide-ide baru.

    Dalam era digital, informasi menyebar dengan sangat cepat, tetapi sering kali tanpa penyaringan yang baik. Fenomena ini mencerminkan bagaimana manusia dapat terjebak dalam bias konfirmasi, hanya menerima informasi yang mendukung pandangan mereka sendiri dan menolak fakta ilmiah yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka. Oleh karena itu, pendidikan harus mengajarkan cara berpikir ilmiah dan logis, sehingga masyarakat tidak mudah tertipu oleh hoaks dan propaganda.

    Riset Terkini yang Relevan

    Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Emily Patterson & Prof. Mark Stevenson berjudul "Cognitive Bias and Resistance to Scientific Evidence in the Digital Age. Penelitian ini menerapkan metode studi eksperimental dan analisis big data dari media sosial. Riset ini menemukan bahwa individu yang terpapar informasi yang bertentangan dengan keyakinan mereka cenderung menolaknya secara emosional, bukan rasional. Faktor sosial, seperti kelompok referensi dan media yang digunakan, sangat mempengaruhi bagaimana seseorang menerima atau menolak sains. Penelitian ini mendukung pemahaman bahwa sikap melampaui batas (ṭāghūn) dalam ayat ini dapat dikaitkan dengan bias kognitif yang menghambat penerimaan terhadap kebenaran.

    Sebuah penelitian juga dilakukan oleh Dr. Ahmed Al-Farisi & Dr. Lisa McConnell bertajuk "Developing Critical Thinking in Higher Education: A Comparative Study between Eastern and Western Pedagogis". Metode yang diterapkan adalah studi perbandingan dengan pendekatan kualitatif terhadap metode pengajaran di universitas di Timur Tengah dan Eropa. Studi ini menemukan bahwa sistem pendidikan yang menekankan dialog terbuka dan analisis kritis lebih efektif dalam membentuk individu yang terbuka terhadap ilmu pengetahuan. Di sisi lain, sistem pendidikan yang terlalu dogmatis cenderung melahirkan individu yang lebih mudah menolak temuan ilmiah yang bertentangan dengan keyakinan awal mereka. Ini menunjukkan pentingnya membangun sistem pendidikan yang mendorong keterbukaan dan tidak terjebak dalam sikap menolak kebenaran, sebagaimana yang ditegaskan dalam Q.S. Az-Zariyat: 53.

    Penafsiran Fakhrur Razi dan Tantowi Jauhari terhadap Q.S. Az-Zariyat: 53 menunjukkan bahwa penolakan terhadap kebenaran sering kali bukan karena kurangnya bukti, tetapi karena faktor psikologis dan sosial. Dalam konteks modern, ini relevan dengan bagaimana manusia menolak sains karena bias kognitif dan kepentingan tertentu. Pendidikan yang baik harus membentuk pola pikir kritis agar individu dapat menerima ilmu pengetahuan secara objektif, sebagaimana yang ditekankan dalam riset terbaru