BLANTERORBITv102

    PENJELASAN Q.S. ATH-THUR: 32

    Senin, 10 Maret 2025

    Pertautan Konseptual 

    Surah Ath-Thur ayat 31 berbicara tentang peringatan terhadap kaum yang mendustakan kebenaran dan menyatakan bahwa mereka akan mengalami kerugian. Ayat ini menggambarkan bahwa mereka hidup dalam keadaan yang penuh keraguan dan kebingungan. Sementara itu, surah Ath-Thur ayat 32 melanjutkan pembahasan tentang sikap mereka yang masih mengucapkan tuduhan atau kebohongan meskipun sudah jelas bukti kebenarannya. Dalam ayat ini, Allah bertanya apakah tuduhan tersebut muncul dari pikiran mereka sendiri atau karena mereka adalah kaum yang melampaui batas.

    Pertaungan konseptual (tanasub) antara kedua ayat ini terletak pada penegasan bahwa kebohongan dan tuduhan yang mereka lontarkan bukanlah sesuatu yang wajar atau berdasarkan pertimbangan rasional. Ayat 31 menekankan bahwa mereka dalam kebingungan dan kerugian karena menolak kebenaran. Ayat 32 menjelaskan bahwa pikiran mereka tidak dapat mengendalikan diri dengan benar, melainkan cenderung kepada sikap yang melampaui batas (ta’ghu), yang menyebabkan mereka tetap bersikap demikian meskipun bukti kebenaran sudah jelas.

    Dalam konteks pendidikan dan sains modern, hal ini mengingatkan kita bahwa individu atau kelompok yang menolak pengetahuan dan kebenaran yang sudah terbukti melalui kajian ilmiah sering kali dipengaruhi oleh pemikiran yang tidak rasional atau bahkan keterbatasan dalam memahami informasi yang ada. Mereka yang memiliki pikiran yang belum terdidik dengan baik atau yang terjebak dalam ideologi sempit, cenderung melontarkan tuduhan atau penolakan tanpa dasar yang jelas, sama seperti yang digambarkan dalam ayat tersebut. Oleh karena itu, penting bagi kita dalam dunia pendidikan dan sains untuk terus mendorong berpikir kritis, rasional, dan berdasarkan bukti yang ada.

    Tinjauan Kebahasaan

    اَمْ تَأْمُرُهُمْ اَحْلَامُهُمْ بِهٰذَآ اَمْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُوْنَۚ ۝٣٢

    Terjemahnya: "Apakah mereka diperintah oleh pikiran-pikiran mereka untuk mengucapkan (tuduhan-tuduhan) ini atau apakah mereka kaum yang melampaui batas?"(32)

    Surah Ath-Thur ayat 32 menggunakan struktur pertanyaan retoris yang mengarah pada dua kemungkinan: pertama, apakah tuduhan yang mereka buat didorong oleh pikiran mereka sendiri (akalnya), atau kedua, apakah mereka adalah kaum yang melampaui batas (ta’ghu). Struktur ini menggambarkan ketidakwajaran sikap mereka, yang tidak rasional atau beralasan. Pertanyaan ini berfungsi untuk menegaskan ketidaklogisan atau ketidakadilan dari perbuatan mereka, serta mengajak pembaca untuk merenungkan sebab di balik tindakan yang tidak sesuai dengan logika atau norma-norma moral.

    Ayat ini menggunakan pertanyaan retoris untuk menimbulkan kesan yang kuat terhadap ketidakwajaran sikap kaum yang mendustakan kebenaran. Penggunaan "أَمْ" (apakah) dalam kalimat ini memberikan penekanan pada kebingungannya mereka, yang seolah-olah bertanya apakah mereka melakukan hal tersebut dengan sengaja atau karena keterbatasan akal. Ayat ini juga menggunakan dua alternatif yang saling bertentangan: apakah mereka didorong oleh pikiran atau apakah mereka melampaui batas, yang menambah kedalaman pesan bahwa tidak ada alasan rasional bagi tindakan mereka. Ini adalah teknik balaghah untuk menegaskan kesalahan dan kebodohan mereka.

    Ayat ini memunculkan dua pilihan yang saling bertolak belakang: tuduhan yang mereka sampaikan bisa disebabkan oleh pikiran mereka yang dipengaruhi oleh kebingungan atau keterbatasan intelektual, atau mereka sengaja melampaui batas (ta’ghu) dengan niat buruk. "أَحْلَامُهُمْ" (pikiran mereka) merujuk pada akal sehat yang seharusnya menjadi alat penilai kebenaran, namun di sini digunakan dalam konteks yang menunjukkan kekeliruan atau penolakan yang tidak rasional. Sementara "طَاغُوْنَ" (kaum yang melampaui batas) menunjukkan sikap yang sengaja menentang kebenaran meskipun sudah jelas.

    Ayat ke-32 ini menggunakan simbol-simbol yang mencerminkan ketidaksinkronan antara pikiran manusia dan tindakan yang diambil. "أَحْلَامُهُمْ" (pikiran mereka) berfungsi sebagai tanda untuk menunjukkan rasionalitas atau pemahaman intelektual, yang dalam hal ini gagal menuntun mereka pada kebenaran. "طَاغُوْنَ" (kaum yang melampaui batas) berfungsi sebagai tanda untuk menggambarkan tindakan melawan norma atau kebenaran secara sadar dan tanpa penyesalan. Ayat ini mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana tanda-tanda ini mencerminkan kesalahan dan kebingungan dalam masyarakat yang menolak kebenaran.

    Penjelasan Ulama Tafsir

    Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya memberikan penjelasan mendalam tentang ayat ini dengan menggali dua kemungkinan besar dalam ayat tersebut. Pertama, beliau menafsirkan bahwa ayat ini menyatakan pertanyaan tentang apakah orang-orang yang menentang keras Nabi Muhammad SAW, seperti kaum kafir Quraisy, benar-benar didorong oleh pemikiran mereka yang keliru atau akal mereka yang terbatas untuk membuat tuduhan palsu terhadap Nabi. Dalam hal ini, al-Qurtubi memandang ayat ini sebagai peringatan kepada mereka yang berlebihan dalam pemikiran mereka tanpa dasar yang kuat atau pemahaman yang benar tentang wahyu Ilahi. Pemikiran yang terdistorsi dapat mengarah pada tuduhan tanpa bukti yang sahih.

    Kedua, al-Qurtubi mengartikan "qawmun thaghun" sebagai kaum yang melampaui batas dalam perbuatan dan perkataan mereka. Bagi al-Qurtubi, kaum yang disebutkan dalam ayat ini adalah orang-orang yang terjebak dalam kebodohan dan ketidakadilan, sehingga mereka melampaui hakikat dan kebenaran yang sesungguhnya dengan menuduh Nabi Muhammad SAW tanpa dasar yang jelas.

    Dalam hal ini, al-Qurtubi menghubungkan ayat tersebut dengan kondisi masyarakat yang tidak memedulikan kebenaran wahyu Ilahi dan lebih mengutamakan pandangan dan argumen pribadi mereka yang jauh dari kebenaran.

    Sementara itu, Imam At-Thabari dalam tafsirnya berpendapat bahwa ayat ini menunjukkan keraguan dan kecaman terhadap sikap orang-orang yang menentang kebenaran wahyu. At-Thabari menekankan bahwa dalam ayat ini terdapat pertanyaan yang menggambarkan seolah-olah orang-orang tersebut diajak untuk berpikir menggunakan akal sehat mereka, namun tetap menolak kebenaran. Menurut At-Thabari, ini bisa dipahami sebagai sindiran terhadap mereka yang mendasarkan pendapat mereka hanya pada hawa nafsu atau logika semata tanpa merujuk kepada wahyu.

    Selain itu, At-Thabari juga mengungkapkan bahwa "qawmun thaghun" adalah suatu gambaran bagi kaum yang sudah melampaui batas dalam perbuatan dan sikap mereka, serta lebih mengutamakan ego dan kebiasaan yang salah. Mereka menjadi tidak peduli dengan kebenaran yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, dan justru semakin keras kepala dalam penolakan mereka terhadap wahyu.

    At-Thabari menambahkan bahwa orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini adalah mereka yang dengan sengaja menutup mata terhadap kebenaran dan terus berbuat zalim dengan mengingkari kebenaran yang jelas di depan mereka.

    Sains dan Pendidikan 

    Pemikiran kritis dan rasionalitas menjadi hal yang sangat penting dalam pendidikan saat ini, khususnya dalam mengembangkan kemampuan berpikir logis dan analitis pada generasi muda. Ayat ini, dalam konteks sains modern, menekankan pentingnya menggunakan akal sehat dan penalaran yang jelas dalam memahami fenomena, termasuk dalam ilmu pengetahuan. Dalam dunia pendidikan, hal ini relevan karena mengajarkan kita untuk tidak mudah menerima sesuatu hanya berdasarkan pemikiran atau argumen yang tidak berdasarkan bukti dan fakta.

    Sains modern sangat mengutamakan bukti empiris dan observasi untuk menarik kesimpulan, sama seperti yang tercermin dalam ayat ini yang mengajak manusia untuk berpikir jernih dan tidak melampaui batas hanya berdasarkan prasangka atau hawa nafsu. Pendidikan terkini, khususnya pendidikan berbasis literasi sains, memerlukan pendekatan yang mengutamakan keterampilan berpikir kritis.

    Sains mengajarkan kita untuk tidak terburu-buru dalam menarik kesimpulan tanpa mempertimbangkan data yang akurat dan kajian yang mendalam. Hal ini sesuai dengan pesan yang terkandung dalam ayat tersebut yang menekankan pentingnya berfikir secara rasional dan berbasis pada pengetahuan yang benar, bukan berdasarkan emosi atau pandangan pribadi yang tidak jelas.

    Riset yang Relevan 

    Terkait dengan maksud ayat ini, Dr. Ahmad al-Farsi, Dr. Yusra Bahri telah melakukan riset bertajuk:  "The Role of Critical Thinking in Enhancing Student Performance in Science Education". Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis data survei yang melibatkan 500 siswa dari beberapa sekolah menengah di Timur Tengah. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur pengaruh keterampilan berpikir kritis terhadap hasil belajar sains siswa. 

    Penelitian ini menemukan bahwa siswa yang dilatih dengan keterampilan berpikir kritis menunjukkan peningkatan signifikan dalam pemahaman mereka terhadap konsep-konsep ilmiah. Keterampilan berpikir kritis juga meningkatkan kemampuan siswa untuk menganalisis dan memecahkan masalah dalam konteks ilmiah, yang menunjukkan relevansi ayat Al-Qur’an tersebut dalam mendidik generasi yang berpikir rasional dan analitis.

    Selain itu, Dr. Maria Nurul Fitri, Prof. Rudi Suryantou juga melakukan riset "The Impact of Rational Thinking on the Acceptance of Scientific Theories in Religious Contexts". Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan wawancara mendalam terhadap 150 individu yang berasal dari berbagai latar belakang agama dan pendidikan. Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana kemampuan berpikir rasional mempengaruhi penerimaan terhadap teori ilmiah dalam konteks keagamaan. 

    Temuan utama penelitian ini adalah bahwa individu yang memiliki keterampilan berpikir rasional cenderung lebih terbuka terhadap teori ilmiah, meskipun mereka memiliki latar belakang keagamaan yang kuat. Penelitian ini menunjukkan bahwa pentingnya berpikir rasional tidak hanya dalam sains, tetapi juga dalam memahami ajaran agama dengan cara yang tidak terdistorsi oleh pemikiran yang fanatik atau tidak berbasis bukti.