Penulis: Prof. Dr. H. Muhammad Yusuf, S.Ag., M.Pd.I
Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Alauddin Makassar
Prolog
Perkembangan teori pendidikan modern telah mengalami transformasi signifikan seiring dengan kemajuan zaman. Dari teori-teori tradisional yang menekankan pada pengajaran satu arah, kini pendidikan lebih berfokus pada pengembangan potensi peserta didik secara holistik. Teori-teori baru seperti konstruktivisme, pembelajaran berbasis masalah, dan pendidikan inklusif mengutamakan pendekatan yang memberdayakan siswa untuk berpartisipasi aktif dalam proses belajar, dengan menekankan pemikiran kritis dan kreativitas. Pendidikan bukan hanya sekadar transfer pengetahuan, tetapi juga pembangunan karakter dan keterampilan yang relevan dengan tuntutan dunia modern. Sebagai respons terhadap tantangan globalisasi dan kemajuan teknologi, teori-teori ini memberi penekanan lebih pada pengajaran yang mengarah pada pemecahan masalah nyata di masyarakat.
Teori pendidikan modern, meskipun terus berkembang, tidak lepas dari prinsip-prinsip moral dan etika yang mendalam. Dalam konteks ajaran Islam, terutama dalam surat Qaf ayat 5, disebutkan bagaimana umat yang telah mendapatkan siksaan dari Tuhan hanya mengakui kezaliman mereka. Ayat ini menggambarkan pentingnya refleksi diri dalam menghadapi konsekuensi dari tindakan yang salah. Dalam pendidikan, relevansi ayat ini terletak pada pemahaman bahwa kesalahan dan kelalaian dalam sistem pendidikan dapat berdampak buruk bagi masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan modern perlu mengarah pada pembentukan karakter yang adil, bijaksana, dan bertanggungjawab.
Tinjauan Bahasa
Ayat 5
فَمَا كَانَ دَعْوَىٰهُمْ إِذْ جَآءَهُم بَأْسُنَآ إِلَّآ أَن قَالُوٓا۟ إِنَّا كُنَّا ظَٰلِمِينَ
Terjemahnya: Maka tidak adalah keluhan mereka di waktu datang kepada mereka siksaan Kami, kecuali mengatakan: "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim".
Struktur kalimat dalam ayat ini menunjukkan pola kalimat yang sederhana namun bermuatan makna yang dalam. Ayat ini terdiri dari dua bagian utama: klausa utama "فَمَا كَانَ دَعْوَىٰهُمْ" (Fa mā kāna da'wāhum) yang berarti "maka tidak adalah keluhan mereka," dan klausa kedua "إِلَّآ أَن قَالُوا۟ إِنَّا كُنَّا ظَٰلِمِينَ" (illā ang qālū innā kunnā ẓālimīn) yang berarti "kecuali mengatakan: 'Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim'."
Pada ayat ini, terdapat penggunaan kata "مَا" (mā) sebagai negasi yang menguatkan tidak adanya keluhan lain selain pengakuan kesalahan mereka. "دَعْوَىٰهُمْ" (da’wāhum) yang berarti "keluhan mereka" juga memberi gambaran bahwa mereka menyadari kesalahan mereka hanya pada saat menerima hukuman dari Allah. Kata "إِلَّآ" (illā) berfungsi sebagai pengecualian, yang menunjukkan bahwa satu-satunya respons mereka adalah pengakuan terhadap ketidakadilan yang mereka lakukan. Frasa "إِنَّا كُنَّا ظَٰلِمِينَ" (innā kunnā ẓālimīn) adalah pengakuan akan kezaliman yang mereka lakukan, dengan kata "ظَٰلِمِينَ" (ẓālimīn) menguatkan kesadaran bahwa mereka telah melampaui batas.
Dari sisi struktur sintaksis, kalimat ini sederhana namun padat, memperlihatkan bagaimana bentuk pengakuan atau penyesalan dari pihak yang telah mengalami siksaan, namun tidak ada bentuk pengharapan selain pengakuan salah mereka.
Ayat ini menggunakan beberapa unsur penting yang memperindah penyampaian makna. Penggunaan penegasan dengan negasi melalui kata "مَا" (mā) dan "إِلَّآ" (illā) untuk menegaskan bahwa satu-satunya respons dari kaum yang menerima azab adalah pengakuan kesalahan mereka, memperlihatkan kepasrahan mereka yang tidak dapat menghindari kenyataan tersebut.
Penggunaan kata "دَعْوَىٰهُمْ" (da’wāhum) yang secara harfiah berarti "keluhan" menunjukkan bahwa pada awalnya mereka mungkin berharap bisa menghindari atau memprotes hukuman tersebut. Namun, pada akhirnya mereka hanya bisa mengakui bahwa mereka adalah orang yang zalim.
Kata "ظَٰلِمِينَ" (ẓālimīn) dalam bentuk ism fa'il (kata kerja yang menjadi kata benda yang menunjukkan pelaku tindakan) memberikan penekanan pada sifat mereka sebagai orang yang melakukan kedzaliman. Penggunaan kata ini mempertegas bahwa tidak hanya perbuatan mereka yang zalim, tetapi mereka adalah pelaku dari kedzaliman tersebut. Dalam konteks ini, balagah memperlihatkan suatu pembalikan yang menambah dampak emosional: bukan hanya tentang perbuatan zalim mereka, tetapi juga pengakuan terhadap identitas mereka sebagai pelaku kedzaliman.
Ayat ini berfokus pada pengungkapan makna dalam pengakuan kesalahan. Secara literal, ayat ini menyoroti bagaimana pada saat kaum yang zalim menerima azab, satu-satunya ungkapan yang muncul dari mereka adalah pengakuan bahwa mereka adalah orang yang zalim. Dari segi semantik, ini menunjukkan bahwa ketika seseorang sudah berada dalam keadaan terjepit, kesadaran akan kesalahan mereka menjadi sangat jelas.
Kata "دَعْوَىٰهُمْ" (da’wāhum) yang diterjemahkan sebagai "keluhan" memiliki konotasi bahwa pada awalnya mereka mungkin ingin mengajukan alasan atau bantahan, namun akhirnya hanya ada satu pengakuan, yaitu mereka telah berbuat zalim.
Kata "ظَٰلِمِينَ" (ẓālimīn) memiliki makna mendalam yang mengacu pada mereka yang tidak hanya melakukan ketidakadilan, tetapi mereka juga mengakui bahwa seluruh tindakan mereka adalah perbuatan yang melanggar hak-hak yang seharusnya diberikan kepada pihak lain, dan pada akhirnya mereka akan mendapat balasan yang setimpal.
Penggunaan kata-kata ini secara semantik menggambarkan proses pencerahan yang dialami oleh orang-orang yang berdosa saat menghadapi balasan Tuhan, yaitu kesadaran penuh akan kedzaliman mereka yang tak bisa disangkal lagi.
Ayat ini dapat dianalisis melalui tanda dan simbol yang terkandung dalam kata-kata yang digunakan. "دَعْوَىٰهُمْ" (da’wāhum), yang diartikan sebagai "keluhan," dapat dilihat sebagai simbol dari usaha manusia untuk mencari pembenaran atau menghindari tanggung jawab atas perbuatannya. Namun, ketika kata tersebut diikuti dengan "إِلَّآ" (illā) yang menunjukkan pengecualian, ini memberi makna bahwa tidak ada pembenaran lain selain pengakuan atas kezaliman mereka.
Selain itu, kata "ظَٰلِمِينَ" (ẓālimīn) menjadi simbol dari identitas yang mereka kenakan sebagai orang yang berbuat salah, yang kini mereka akui secara sadar di hadapan siksaan Tuhan. Kezaliman mereka bukan hanya dalam perbuatan, tetapi dalam sifat mereka yang telah melampaui batas ketentuan Tuhan. Dalam hal ini, semiotik berfungsi untuk menggambarkan bagaimana pengakuan mereka menjadi bentuk "tanda" bahwa mereka menerima kenyataan dan kesalahan mereka.
Dengan demikian, ayat ini menunjukkan tanda-tanda dari proses pertobatan yang terlambat, di mana kesadaran dan pengakuan kesalahan muncul hanya setelah azab datang, dan ini memperlihatkan bagaimana setiap tindakan memiliki konsekuensi yang pasti, terutama bagi mereka yang melakukan kezaliman.
Penjelasan Ahli Tafsir
Menurut al-Qurtubi, ayat ini menggambarkan bagaimana orang-orang yang mendustakan wahyu Allah dan hidup dalam kebatilan hanya mengakui kesalahan mereka saat menghadapi siksaan yang datang sebagai hukuman dari-Nya. Mereka tidak mampu menghindar atau menanggulangi azab yang telah ditetapkan. Ketika mereka menerima akibat dari perbuatan zalim yang telah mereka lakukan, keluhan mereka hanyalah pengakuan bahwa mereka adalah orang yang zalim (ظَٰلِمِينَ).
Al-Qurtubi menegaskan bahwa pengakuan ini bukanlah sebuah pertobatan atau penyesalan yang tulus. Sebaliknya, itu hanya merupakan pengakuan tanpa niat untuk memperbaiki diri, karena mereka telah merasakan langsung akibat dari keburukan mereka. Dalam hal ini, al-Qurtubi juga menunjukkan bahwa pengakuan seperti ini terlambat, karena selama mereka hidup di dunia, mereka telah diberi peringatan dan kesempatan untuk bertobat, namun tidak mau menerima kebenaaran.
Menurut tafsir Jalalain, ayat ini menjelaskan reaksi orang-orang yang kafir ketika mereka mendapat azab dari Allah. Mereka hanya bisa berkata bahwa mereka adalah orang yang zalim, yang merupakan pengakuan terhadap dosa dan kesalahan mereka. Namun, pengakuan tersebut tidak diiringi dengan perasaan penyesalan yang mendalam atau keinginan untuk berubah, melainkan hanya pengakuan yang terjadi setelah mereka menghadapi azab yang tidak dapat mereka hindari.
Jalalain menyoroti bahwa kalimat ini menunjukkan ketidakmampuan mereka untuk mengubah nasib mereka pada saat itu. Ini menjadi pelajaran bahwa penyesalan yang datang terlambat tidak membawa manfaat bagi mereka, karena kesempatan untuk bertobat sudah habis. Penafsiran ini juga mengingatkan kita bahwa pengakuan akan kesalahan harus datang lebih awal dan disertai dengan niat untuk bertaubat, bukan hanya di saat-saat terakhir ketika telah terlanjur terlambat.
Pendidikan Modern
Dalam konteks pendidikan modern, ayat ini relevan dengan teori pembelajaran yang menekankan pentingnya refleksi dan pengakuan terhadap kesalahan sebagai bagian dari proses belajar. Dalam pendidikan modern, peserta didik diajarkan untuk mengenali dan mengakui kekeliruan mereka secara proaktif, bukan hanya setelah konsekuensi buruk terjadi. Konsep ini selaras dengan teori pendidikan yang memfokuskan pada pembelajaran berbasis kesadaran diri (self-awareness) dan tanggung jawab pribadi.
Dalam dunia pendidikan, pengakuan kesalahan yang diikuti dengan upaya untuk memperbaiki diri adalah hal yang sangat dihargai. Hal ini sejalan dengan prinsip pembelajaran yang menekankan bahwa kesalahan adalah bagian alami dari proses belajar, yang dapat menjadi peluang untuk pengembangan diri lebih lanjut. Sebaliknya, jika pengakuan kesalahan hanya dilakukan pada saat-saat terakhir, ketika sudah terlambat untuk memperbaiki keadaan, maka proses pembelajaran akan gagal maksimal.
Epilog
Dalam konteks pendidikan modern, relevansi ayat Q.S. Qaf: 5 menegaskan pentingnya introspeksi dan tanggung jawab dalam sistem pendidikan. Ayat tersebut mengingatkan kita bahwa pengabaian terhadap prinsip moral dalam pendidikan dapat membawa dampak yang merugikan bagi individu dan masyarakat. Oleh karena itu, penerapan teori pendidikan yang mencakup aspek etika dan moralitas yang kuat menjadi sangat penting. Pendidikan modern tidak hanya bertujuan untuk mentransfer ilmu, tetapi juga untuk menanamkan nilai-nilai yang membentuk individu yang bertanggungjawab dan sadar akan dampak dari tindakan mereka terhadap lingkungan sekitar.
0 komentar