BLANTERORBITv102

    MENYADARI KETERBATASAN ILMU MANUSIA (Q.S. QAF: 3)

    Jumat, 21 Februari 2025

     Penulis: Muhammad Yusuf

    Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Alauddin Makassar


    Prolog

    Perkembangan pendidikan saat ini telah mengalami lompatan besar, memanfaatkan teknologi untuk mengakses ilmu pengetahuan secara global. Pendidikan mutakhir, dengan pemanfaatan kecerdasan buatan, internet of things, dan media digital lainnya, membuka peluang tanpa batas bagi setiap individu untuk memperoleh pengetahuan. Pendidikan kini bukan hanya soal menyampaikan informasi, tetapi juga tentang membentuk karakter dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Meskipun kemajuan teknologi ini membawa dampak positif dalam berbagai aspek kehidupan, ada satu hal yang tetap tak tergantikan oleh perkembangan ini: pertanyaan tentang kehidupan dan kematian. Dalam kehidupan yang terus berkembang ini, kita dihadapkan pada satu realitas yang tidak bisa kita hindari—kematian. Meskipun kita mampu meraih berbagai pencapaian dalam bidang ilmu dan teknologi, kematian tetap menjadi misteri yang tak terpecahkan. Ayat Al-Qur’an dalam Surah Qamar, ayat 3, mengingatkan kita bahwa kematian dan kehidupan setelahnya adalah sesuatu yang tampaknya sangat jauh bagi sebagian orang, namun tetap tak bisa dielakkan.

    Tinjauan Bahasa

    ءَاِذَا مِتْنَا وَكُنَّا تُرَابًاۚ ذٰلِكَ رَجْعٌۢ بَعِيْدٌ ۝٣

    Terjemahnya: "Apakah setelah kami mati dan sudah menjadi tanah (akan dikembalikan)? Itu adalah pengembalian yang sangat jauh.”

    Pada Q.S. Qaf ayat 3, terdapat kalimat tanya yang mengandung unsur keheranan tentang kebangkitan setelah mati. "Aza mita" ("apakah kami mati") menunjukkan tanya yang memunculkan keraguan. Kata "tuba" ("tanah") menggambarkan kehancuran fisik, sedangkan "raj’un ba’id" ("pengembalian yang sangat jauh") menguatkan keraguan tersebut. Kalimat ini memperlihatkan pola yang berfungsi untuk menegaskan bahwa kebangkitan setelah mati adalah sesuatu yang dianggap tidak mungkin oleh sebagian orang. Penggunaan "raj’un ba’id" memberikan penekanan pada kesulitan dan keajaiban kebangkitan.

    Penggunaan kalimat tanya "Apakah setelah kami mati...?" mencerminkan gaya balaghah yang penuh ironi dan sindiran. Kalimat ini mengandung "istifham" (pertanyaan retoris) yang bertujuan menggugah pemahaman bahwa manusia cenderung meragukan kebangkitan. "Raj'un ba'id" adalah penggunaan majaz yang mengandung makna hiperbola untuk menggambarkan kebangkitan sebagai sesuatu yang sangat sulit dan mustahil bagi akal manusia. Penggunaan kata ini memperlihatkan kontras antara pemahaman manusia yang terbatas dan kekuasaan Allah yang tak terbatas.

    Kata "mitna" (mati) merujuk pada keadaan akhir kehidupan, sebuah transisi dari hidup menuju kematian yang menandai hilangnya eksistensi fisik. "Tuba" (tanah) melambangkan kehancuran tubuh yang menjadi bagian dari siklus alam. "Raj'un ba’id" memiliki makna mendalam sebagai pengembalian atau kebangkitan yang jauh dan mustahil menurut pandangan manusia. Secara keseluruhan, ayat ini menggambarkan keraguan manusia terhadap kehidupan setelah mati, namun dalam konteks semantik, ayat ini menyiratkan bahwa kebangkitan itu mungkin, meskipun manusia merasa itu jauh dari kenyataan.

    Dari perspektif semiotik, ayat ini menggunakan simbolisme "tuba" (tanah) sebagai tanda kematian dan kehancuran fisik yang menunjukkan ketidakberdayaan manusia. "Raj'un ba’id" menjadi tanda representasi dari kebangkitan yang dianggap tidak mungkin oleh manusia. Simbol ini menciptakan makna kontras antara kondisi mati dan kebangkitan yang jauh di luar jangkauan pemahaman manusia. Pertanyaan "apakah kami dikembalikan?" juga menjadi tanda akan keberagaman pandangan manusia terhadap hal-hal gaib, menggugah pertanyaan tentang ketidakmungkinan yang akhirnya membuka pemahaman tentang kekuasaan Allah yang tidak terbatas.

    Penjelasan Ulama Tafsir

    Ali Ash-Shabuni dalam tafsirnya mengartikan ayat ini sebagai ungkapan keraguan dari orang-orang yang tidak percaya akan kebangkitan setelah mati. Mereka mempertanyakan apakah setelah tubuh mereka menjadi tanah, mereka akan dibangkitkan kembali. Ash-Shabuni menjelaskan bahwa ayat ini mencerminkan penolakan mereka terhadap konsep kebangkitan yang tampak mustahil bagi mereka. Namun, dalam perspektif Islam, ini adalah pengingat bahwa kekuasaan Allah tidak terbatas, dan kebangkitan kembali merupakan hal yang pasti meskipun sulit dipahami oleh akal manusia. Ali Ash-Shabuni mengajak umat untuk mempercayai bahwa Allah mampu menghidupkan kembali apa yang sudah menjadi tanah.

    Buya Hamka dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan keraguan orang-orang kafir terhadap kehidupan setelah mati. Mereka merasa bahwa setelah tubuh mereka menjadi tanah, maka mustahil untuk dibangkitkan. Namun, menurut Buya Hamka, dalam Islam, kebangkitan kembali bukanlah hal yang mustahil karena Allah yang Maha Kuasa memiliki kemampuan untuk menghidupkan kembali. Ini menjadi bukti bagi orang yang beriman akan kehidupan setelah mati dan menguatkan iman mereka terhadap kebangkitan di akhirat.

    Konsep Pendidikan Modern 

    Ayat ini mengandung pesan yang relevan dengan teori-teori pendidikan modern, terutama dalam pengembangan keyakinan diri dan pentingnya pengetahuan untuk membuka pemahaman lebih mendalam. Misalnya, dalam teori konstruktivisme yang dikembangkan oleh Jean Piaget dan Lev Vygotsky, ada penekanan pada pentingnya pengalaman dan konteks dalam membangun pemahaman. Dalam hal ini, pertanyaan orang kafir tentang kebangkitan dapat dipahami sebagai keterbatasan pemahaman manusia, yang memerlukan pengetahuan dan pembelajaran lebih lanjut. Melalui pendidikan, seperti dalam pendidikan Islam, individu didorong untuk mengembangkan pemahaman mereka tentang kehidupan, kematian, dan kebangkitan yang sejalan dengan nilai-nilai agama. Pembelajaran ini dapat memperkuat iman dan memperkaya pemahaman spiritual serta intelektual yang mendalam, seiring dengan teori pendidikan yang menekankan pengembangan pemikiran kritis dan holistik.

    Epilog

    Relevansi ayat ini dengan perkembangan pendidikan mutakhir mengingatkan kita bahwa meskipun kita dapat meraih banyak pengetahuan dan pencapaian dalam dunia ini, ada hal-hal yang jauh melampaui batas pemahaman manusia, seperti kehidupan setelah mati. Ilmu pengetahuan dapat menjawab banyak pertanyaan, namun tidak akan pernah mampu menjelaskan hakikat kematian dan kehidupan setelahnya. Kita tetap perlu menyadari keterbatasan kita sebagai manusia.