Penulis: Prof. Dr. H. Muhammad Yusuf, S.Ag., M.Pd.I.
Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Alauddin Makassar
Prolog
Seiring berjalannya waktu, perkembangan teori-teori pendidikan semakin berkembang dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman. Seiring dengan kemajuan teknologi dan globalisasi, pendidikan bukan lagi sekadar transfer ilmu, tetapi juga merupakan proses membentuk karakter dan kecakapan hidup yang holistik. Berbagai teori pendidikan yang muncul, seperti konstruktivisme, behaviorisme, dan humanisme, berusaha menjawab tantangan zaman dengan memberikan pendekatan yang lebih variatif dan relevan.
Namun, dalam konteks perkembangan pendidikan yang terus bergulir, kita tidak boleh melupakan akar spiritual dan nilai-nilai yang mendalam dalam kehidupan, yang dapat ditemukan dalam berbagai ajaran agama dan budaya. Sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur'an surah Ar-Ra'd ayat 13, "وَعَادٌ وَفِرْعَوْنُ وَإِخْوَٰنُ لُوطٍ" (dan kaum Aad, kaum Fir’aun, dan kaum Luth), ayat ini mengingatkan kita pada sejarah umat yang pernah mengalami kemajuan, namun juga kehancuran karena kesalahan dalam menjalani nilai-nilai kehidupan yang hakiki. Sebuah refleksi penting untuk melihat bahwa perkembangan tanpa landasan moral dan spiritual yang kuat akan berisiko menghasilkan kehancuran yang sama seperti yang dialami oleh kaum-kaum tersebut.
Tinjauan Bahasa
Pada ayat ini, terdapat struktur yang sederhana namun kuat dalam menyampaikan pesan. Kalimat "وَعَادٌ وَفِرْعَوْنُ وَإِخْوَٰنُ لُوطٍ" terdiri dari tiga bagian yang saling terhubung, yaitu "kaum Aad", "kaum Fir'aun", dan "kaum Luth". Penulisan yang berturut-turut ini mengindikasikan perbandingan antara tiga kaum yang digambarkan sebagai umat yang mendurhaka. Struktur ini menggunakan pola gramatikal yang jelas dan terstruktur, serta menciptakan kesan konsistensi dalam ayat ini, memperlihatkan bahwa ketiganya memiliki nasib yang serupa sebagai kaum yang ditimpakan azab oleh Allah karena kesalahan yang sama, yaitu ketidaktaatan terhadap wahyu-Nya.
Ayat ini memanfaatkan penggunaan pola repetisi dengan menyebutkan tiga kaum yang terkenal karena kejahatan moral dan penolakan terhadap wahyu Tuhan: Aad, Fir’aun, dan Luth. Pengulangan ini bertujuan untuk mempertegas kesamaan nasib ketiga kaum tersebut dalam menghadapi azab. Selain itu, penempatan "إِخْوَٰنُ لُوطٍ" (kaum Luth) juga memiliki efek dramatis karena menggambarkan mereka sebagai saudara (ikhwan) Luth, yang berarti mereka adalah bagian dari umat yang menerima wahyu yang sama, namun tetap mendurhaka. Pemilihan kata ini memperlihatkan kontras antara potensi kebaikan dan kecenderungan untuk berbuat jahat.
Semantik dari ayat ini menunjukkan makna kolektif yang menghubungkan tiga kaum, yaitu Aad, Fir’aun, dan Luth, sebagai kelompok yang mendapat hukuman Allah karena perbuatan dosa dan penolakan terhadap ajaran yang dibawa oleh para nabi. Masing-masing kaum ini dikenal dalam sejarah karena kekufuran dan penindasan terhadap rasul. Semantik "إِخْوَٰنُ لُوطٍ" menekankan hubungan kekerabatan yang lebih dekat, yaitu kaum yang sama-sama diberi petunjuk namun menolak. Ayat ini menggambarkan bahwa azab Allah tidak mengenal perbedaan asal-usul, bahkan kaum yang seharusnya saling mendukung dalam kebenaran bisa saja terjerumus dalam dosa dan menerima akibat yang serupa.
Ayat ini mengandung tanda yang menonjol, yakni penyebutan nama-nama kaum yang memiliki konotasi tertentu dalam sejarah. Aad dan Fir’aun sering diasosiasikan dengan kekuatan dan kediktatoran, sementara kaum Luth dikenal karena penyimpangan moral yang sangat tercela. Secara semiotik, penyebutan nama-nama ini berfungsi sebagai tanda peringatan dan simbol dari umat yang tidak mendengarkan wahyu, sehingga menimbulkan kehancuran. Selain itu, hubungan "إِخْوَٰنُ لُوطٍ" menciptakan tanda sosial yang kuat, di mana kebersamaan dalam wahyu tidak menjamin keselamatan jika mereka menolak untuk memperbaiki diri. Secara keseluruhan, ayat ini menggunakan simbol sejarah untuk menyampaikan pesan moral yang dalam.
Penafsiran Ulama Tafsir
Sayyid Qutb dalam tafsirnya, Fi Zilal al-Qur'an, memberikan penekanan pada konteks sejarah dan moral dari ayat ini. Menurut Qutb, kaum 'Aad, Fir'aun, dan Luth merupakan simbol peringatan bagi umat manusia tentang konsekuensi dari penolakan terhadap wahyu dan petunjuk Allah. Dalam tafsirnya, Qutb menilai bahwa ketiganya adalah contoh dari kekufuran yang memunculkan tirani, kezaliman, dan kebobrokan moral yang akhirnya menghancurkan mereka. Kaum 'Aad, yang terkenal dengan kekuatan fisik dan bangunan besar, menjadi contoh bagi umat yang menyombongkan diri dengan kekayaan dan keperkasaan mereka, sementara Fir'aun mewakili kekuasaan tiran yang menindas umat manusia. Kaum Luth, yang dihukum akibat perilaku seksual yang menyimpang, menunjukkan bahaya kerusakan moral dalam masyarakat. Bagi Qutb, ayat ini mengingatkan umat untuk tidak terjerumus dalam kekufuran dan kezaliman yang bisa meruntuhkan peradaban.
Tafsir Ibnu Asyur, dalam karyanya At-Tahrir wa at-Tanwir, menyoroti perbedaan sifat kekufuran yang terdapat pada tiga kaum ini. Ia menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan keberagaman bentuk kezaliman yang berakar pada penolakan terhadap wahyu dan prinsip-prinsip moral yang diajarkan oleh Nabi. Bagi Ibnu Asyur, setiap kaum yang disebutkan dalam ayat ini memiliki kesalahan dan keburukan yang berbeda, tetapi pada akhirnya, mereka semua menolak peringatan dari para nabi yang diutus kepada mereka. Kaum 'Aad dihancurkan karena kesombongan dan keteguhan mereka dalam kekafiran. Fir'aun, sebagai simbol kekuasaan, dihukum karena penindasan terhadap umat dan penolakan terhadap kebenaran. Sementara itu, kaum Luth dihukum karena perbuatan seksual yang menyimpang dan perilaku moral yang rusak. Ibnu Asyur menekankan bahwa ayat ini memberi pelajaran tentang kehancuran yang menanti umat yang menentang wahyu Allah dengan kebodohan dan kesesatan mereka.
Tren Teori Pendidikan Modern
Analisis terhadap ayat ini dapat dihubungkan dengan tren teori pendidikan modern, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan moral dan karakter. Pendidikan modern sering kali menekankan pentingnya pembentukan karakter dan nilai-nilai moral dalam diri individu untuk membangun masyarakat yang sehat. Kedua penafsir, baik Sayyid Qutb maupun Muhammad Tahir Ibnu Asyur, melihat kezaliman dan kehancuran yang dialami oleh kaum-kaum ini sebagai akibat dari kegagalan mereka dalam mendidik masyarakat dengan nilai-nilai kebaikan dan moral yang benar. Dalam konteks ini, mereka dapat diartikan sebagai peringatan bagi sistem pendidikan modern untuk lebih memperhatikan aspek pembentukan karakter dan moral dalam diri siswa.
Sistem pendidikan modern harus melibatkan pendidikan yang tidak hanya fokus pada pengajaran akademis tetapi juga pada pembinaan nilai-nilai kemanusiaan yang kuat, untuk mencegah kerusakan sosial dan moral yang dapat mengarah pada kehancuran. Ini sejalan dengan pentingnya pendidikan karakter yang mencakup nilai-nilai seperti kejujuran, keadilan, dan empati, yang jika tidak diajarkan, dapat membawa masyarakat pada kehancuran seperti yang terjadi pada kaum-kaum tersebut dalam ayat tersebut.
Epilog
Relevansi petunjuk dari ayat 13 ini semakin terasa dalam perkembangan teori-teori pendidikan saat ini. Di tengah kemajuan yang kita capai, kita harus sadar bahwa tanpa etika, moralitas, dan nilai spiritual, pembangunan tersebut bisa membawa kehancuran. Pendidikan yang hanya fokus pada pengetahuan tanpa membangun karakter dan akhlak yang baik berisiko membuat manusia lupa akan hakikat tujuan hidup. Oleh karena itu, penting bagi teori-teori pendidikan modern untuk tidak hanya mengedepankan aspek kognitif, tetapi juga aspek moral dan spiritual, yang mencakup pengembangan karakter.
0 komentar