BLANTERORBITv102

    MOTIVASI INTRINSIK DALAM PENDIDIKAN (Q.S. QAF: 25)

    Senin, 24 Februari 2025

    Penulis: Prof. Dr. H. Muhammad Yusuf, S.Ag., M.Pd.I.

    Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Alauddin Makassar

    Prolog

    Dalam dunia yang terus berkembang, teori-teori motivasi telah mengalami evolusi yang signifikan. Di awal abad ke-20, teori motivasi sering kali berfokus pada kebutuhan fisik dan psikologis dasar manusia, seperti yang dijelaskan dalam hierarki kebutuhan Maslow. Namun, seiring berjalannya waktu, pendekatan yang lebih kompleks muncul, seperti teori motivasi intrinsik dan ekstrinsik, yang menekankan pentingnya faktor internal dan eksternal dalam mendorong tindakan manusia. Saat ini, motivasi tidak lagi dilihat sebagai faktor tunggal, melainkan sebagai hasil interaksi berbagai elemen psikologis, sosial, dan lingkungan. 

    Dalam konteks ini, relevansi ayat dalam surah Qaf, ayat 25, memberikan pandangan yang mendalam mengenai motivasi negatif. Allah menggambarkan seseorang yang sangat enggan untuk berbuat kebaikan, melampaui batas, dan bersikap ragu-ragu. Karakter ini mencerminkan bentuk motivasi yang berlawanan dengan tindakan yang baik, di mana individu terhambat oleh keraguan dan kecenderungan untuk menolak kebajikan, yang pada akhirnya menghalangi pencapaian potensi positif mereka. Hal ini menjadi refleksi tentang betapa pentingnya pemahaman motivasi dalam mencapai tujuan yang baik, serta bagaimana pengaruh internal dan eksternal mempengaruhi pilihan hidup.

    Tinjauan Bahasa

    مَّنَّاعٍ لِّلۡخَيۡرِ مُعۡتَدٍ مُّرِيۡبِ

    Terjemahnya: "yang sangat enggan melakukan kebajikan, melampaui batas dan bersikap ragu-ragu" 

    Ayat Q.S. Qaf: 25 menggunakan kata-kata yang padat dan menggambarkan karakter orang yang sangat enggan untuk berbuat kebaikan. Frase "مَّنَّاعٍ لِّلۡخَيۡرِ" menggambarkan sifat sangat menahan diri dari kebajikan, sementara "مُعۡتَدٍ" dan "مُّرِيۡبِ" mengungkapkan perilaku yang melampaui batas dan penuh keraguan. Dalam struktur kalimat ini, terdapat penggunaan kata sifat yang memberikan penekanan pada tiga karakter buruk yang dimiliki oleh orang tersebut, yaitu enggan berbuat baik, melampaui batas, dan penuh keraguan. Penyusunan kata-kata ini berfungsi untuk memberi kesan negatif yang kuat terhadap karakter tersebut, menandakan sifat yang sangat buruk dalam perilaku sosial.

    Redakasi ayat ini menggunakan gaya bahasa yang kuat dan menggugah. Penggunaan tautologi dalam "مَّنَّاعٍ لِّلۡخَيۡرِ" yang mempertegas sikap sangat enggan, dan "مُعۡتَدٍ" serta "مُّرِيۡبِ" yang memperlihatkan kondisi yang tidak hanya melampaui batas, tetapi juga menyisakan keraguan, menciptakan efek dramatik. Ini memanfaatkan bentuk penegasan dan repetisi untuk menggambarkan sifat buruk yang sangat dalam. Dengan demikian, pesan ayat ini lebih terasa dalam emosi dan perasaan pembaca, membuatnya mudah dipahami dan langsung menyentuh kesan moral yang diinginkan.

    Semantik ayat ini menggambarkan ciri khas individu yang sangat buruk dalam konteks moral dan sosial. "مَّنَّاعٍ لِّلۡخَيۡرِ" menunjukkan sifat yang enggan atau sangat pelit terhadap kebajikan, yang berarti menolak atau menghambat segala bentuk kebaikan. "مُعۡتَدٍ" menandakan tindakan yang melampaui batas, baik dalam hal perilaku maupun norma yang berlaku. Sementara itu, "مُّرِيۡبِ" mengarah pada keraguan atau ketidakjelasan, yang merujuk pada ketidakpastian atau ketidakjujuran dalam sikap dan tindakannya. Secara keseluruhan, ayat ini merujuk pada seseorang yang buruk moralnya, yang tidak hanya enggan berbuat baik, tetapi juga cenderung melampaui batas-batas etis dan penuh keraguan dalam niatnya.

    Ayat ini menggunakan simbol-simbol untuk menandakan sifat-sifat buruk yang tampak jelas dalam masyarakat. "مَّنَّاعٍ لِّلۡخَيۡرِ" menjadi tanda penolakan terhadap kebajikan, simbol dari seseorang yang jauh dari kebaikan. "مُعۡتَدٍ" melambangkan pelanggaran terhadap norma, yang menjadi tanda ketidakpedulian terhadap batasan etika atau hukum. "مُّرِيۡبِ" mewakili ketidakpastian, yang berfungsi sebagai simbol dari keraguan atau ketidakjujuran yang mengaburkan niat asli individu tersebut. Secara keseluruhan, ayat ini menggambarkan tiga tanda negatif yang membentuk identitas seseorang yang enggan berbuat baik, melanggar batas, dan tidak jelas dalam niat dan tindakannya, menciptakan gambaran moral yang sangat buruk.

    Penjelasan Ulama

    Dalam tafsir Ruh al-Ma'ani, Al-Alusi menafsirkan ayat ini dengan menyoroti sikap orang yang disebutkan dalam ayat sebagai "menolak kebajikan". Menurutnya, ayat ini merujuk pada seseorang yang selalu menghalangi perbuatan baik dan kebaikan yang dilakukan orang lain. Orang ini menghindari tindakan yang bermanfaat bagi diri mereka maupun masyarakat. Kata "مَّنَّاعٍ" (enggan) menunjukkan adanya sifat keras kepala dan tidak mau berpartisipasi dalam amal baik atau pekerjaan sosial.

    Al-Alusi mengaitkan sikap ini dengan perilaku seseorang yang tidak memiliki kesadaran sosial dan moral. Sifat melampaui batas dan ragu-ragu yang disebutkan dalam ayat ini menunjukkan bahwa orang tersebut tidak hanya terhindar dari kebaikan, tetapi juga cenderung melakukan perbuatan yang berbahaya atau negatif, yang bisa merugikan dirinya dan orang lain. Al-Alusi mengingatkan bahwa sikap seperti ini merupakan tanda ketidakdewasaan rohani yang dapat merusak hubungan antar individu dalam masyarakat.

    Al-Zamakhsyari, dalam tafsir Al-Kashshaf, menafsirkan ayat ini dengan menjelaskan bahwa seseorang yang disebutkan dalam ayat tersebut memiliki sifat menyempitkan diri terhadap segala bentuk kebajikan. Dalam pandangannya, sifat مَّنَّاعٍ (enggan) bukan hanya menunjukkan penolakan terhadap kebaikan, tetapi juga menunjukkan sikap egois dan materialistis, yang hanya mementingkan kepentingan diri sendiri tanpa peduli dengan kesejahteraan orang lain.

    Al-Zamakhsyari menambahkan bahwa kata melampaui batas mencerminkan perilaku seseorang yang sering bertindak di luar batas yang wajar, baik dalam hal keadilan maupun moralitas. Sikap ini, menurutnya, berhubungan dengan ketidakmampuan seseorang untuk mengontrol hawa nafsu dan godaan duniawi. Selain itu, ragu-ragu (مُّرِيۡبِ) mencerminkan ketidakpastian dalam tindakan, yang disebabkan oleh keragu-raguan dalam keimanan atau keraguan dalam menilai mana yang benar dan salah.

    Teori Motivasi 

    Teori motivasi terkini, seperti yang dikemukakan oleh psikolog seperti Edward Deci dan Richard Ryan dalam teori Self-Determination Theory (SDT), menekankan pentingnya motivasi intrinsik untuk mendorong individu melakukan tindakan yang bermanfaat. Motivasi intrinsik mencakup dorongan internal untuk berbuat baik tanpa paksaan eksternal, sejalan dengan ajaran Islam yang mengajarkan kebajikan sebagai upaya yang dilandasi kesadaran moral dan spiritual.

    Al-Zamakhsyari dan Al-Alusi, meskipun berasal dari konteks yang sangat berbeda, memberikan gambaran bahwa ketidakmauan untuk melakukan kebajikan atau sikap enggan dalam ayat ini adalah penolakan terhadap bentuk motivasi intrinsik. Orang yang tidak melakukan kebaikan atau melampaui batas, sesuai dengan teori SDT, kemungkinan besar tidak menemukan kepuasan batin dalam berbuat baik atau tidak merasa kompeten untuk melakukannya, yang menyebabkan motivasi mereka lebih berfokus pada keuntungan pribadi daripada kontribusi kepada masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi individu untuk menyelaraskan tujuan pribadi mereka dengan nilai-nilai yang mendukung kebajikan, yang dalam teori motivasi, berhubungan dengan perasaan otonomi, kompetensi, dan keterhubungan dengan orang lain.

    Epilog

    Ayat surah Qaf, ayat 25, mengingatkan kita akan bahaya sikap yang menghambat kebaikan. Dalam konteks perkembangan teori motivasi, kita dapat melihat bahwa penghalang terbesar bagi seseorang untuk mencapai tujuan positif adalah keraguan dan keengganan untuk berubah. Teori-teori motivasi modern mengajarkan bahwa untuk mencapai potensi terbaik, seseorang harus mampu mengatasi hambatan internal dan eksternal, serta berkomitmen untuk bertindak sesuai dengan nilai kebaikan. Dalam hal ini, petunjuk dalam ayat tersebut relevan sebagai peringatan agar kita selalu menjaga niat baik, serta menghindari sikap yang menolak kebaikan demi kemajuan pribadi dan sosia