Penulis: Prof. Dr. H. Muhammad Yusuf, S.Ag., M.Pd.I.
Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Alauddin Makassar
Prolog
Dalam perjalanan panjang ilmu pengetahuan, perkembangan teori-teori penelitian ilmiah terus berkembang, seiring dengan kemajuan teknologi dan metode penelitian. Observasi, sebagai salah satu metode utama, memungkinkan peneliti untuk mengamati fenomena alam dengan lebih tajam. Dalam dunia yang semakin maju, visualisasi data melalui teknologi canggih seperti mikroskop dan satelit memungkinkan pengamatan yang sebelumnya tak terjangkau. Interview, sebagai alat untuk menggali informasi, juga semakin relevan di era komunikasi digital. Wawancara tidak hanya dilakukan dengan manusia, namun juga dengan teknologi, seperti chatbot dan AI, yang memberikan wawasan baru bagi peneliti. Analisis, baik secara logis maupun intuitif, menjadi landasan untuk menyusun teori baru.
Dalam konteks ini, refleksi atau perenungan, seperti yang diajarkan dalam ajaran-ajaran agama, memperkaya pemahaman kita terhadap fenomena yang diamati. Surah Qaf ayat 37 mengingatkan kita bahwa pemahaman yang sesungguhnya datang bagi mereka yang memiliki hati yang peka dan pendengaran yang jernih. "Sesungguhnya pada yang demikian itu pasti terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya dan dia menyaksikan." Pesan ini mengajak kita untuk tidak hanya mengandalkan indera, tetapi juga membuka hati dan pikiran dalam menyaksikan kebenaran yang ada di sekitar kita.
Analisis Bahasa
اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَذِكْرٰى لِمَنْ كَانَ لَهٗ قَلْبٌ اَوْ اَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيْدٌ ٣٧
Terjemahnya:"Sesungguhnya pada yang demikian itu pasti terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya dan dia menyaksikan." (37)
Kalimat ini diawali dengan penegasan "إنَّ" (sesungguhnya) yang memberi penekanan pada pentingnya makna yang terkandung di dalamnya. Kata "ذٰلِكَ" (itu) merujuk pada peristiwa atau peringatan yang telah dijelaskan sebelumnya dalam surah, yakni tentang tanda-tanda kekuasaan Allah yang ada di alam semesta. p"لِذِكْرَى" (bagi peringatan) menunjukkan bahwa segala kejadian ini memiliki tujuan untuk memberi peringatan kepada umat manusia, sedangkan "لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ" (bagi orang yang mempunyai hati) mengarahkan perhatian kepada mereka yang berpikir dan merenung. Kalimat ini diakhiri dengan "وَهُوَ شَهِيدٌ" (dan dia menyaksikan), yang menegaskan bahwa mereka yang menerima peringatan adalah yang sadar dan menyaksikan kebenaran.
Dalam retorika Arab, ayat ini menggunakan beberapa teknik yang sangat khas dalam bahasa Arab, seperti penggunaan al-jinas (pengulangan) pada kata "قلبٌ" (hati) dan "السَّمْعَ" (pendengaran), yang memperkuat makna dan peran setiap indera dalam memahami peringatan. Penyebutan dua elemen ini menggambarkan bahwa peringatan tersebut dapat diterima baik melalui perenungan (hati) maupun pendengaran (telinga), menunjukkan bahwa proses pemahaman bukan hanya kognitif, tapi juga spiritual. Juga, terdapat penggunaan kata "شَهِيدٌ" yang merujuk pada kesaksian aktif, memberi kesan bahwa mereka yang menerima peringatan adalah orang yang sadar dan hadir dalam pengalaman spiritual tersebut.
Semantik ayat ini menggambarkan dua kategori penerima peringatan. "قَلْبٌ" (hati) mengindikasikan pemahaman batin yang mendalam, yaitu seseorang yang tidak hanya mendengar atau melihat secara fisik, tetapi juga merenungkan dan merasakan peringatan tersebut. Sementara "السَّمْعَ" (pendengaran) menunjukkan proses kognitif yang aktif dalam menerima informasi. Kata "شَهِيدٌ" (menyaksikan) menambah dimensi bahwa mereka yang menerima peringatan ini adalah orang yang hadir secara penuh dan menyaksikan realitas kebenaran, dengan pemahaman yang lebih dari sekadar pasif.
Ayat ini menyajikan tanda-tanda (sign) yang harus dipahami oleh pembaca atau pendengar. "قلبٌ" (hati) dan "السَّمْعَ" (pendengaran) adalah simbol untuk kemampuan manusia untuk menerima dan merenungkan peringatan. Kedua elemen ini berfungsi sebagai saluran untuk menyerap makna dari peristiwa-peristiwa alam yang lebih besar. Sementara itu, kata "شَهِيدٌ" (menyaksikan) berfungsi sebagai simbol kesadaran dan keterlibatan penuh dengan tanda-tanda Allah yang ada di sekitar kita. Dengan demikian, ayat ini mengajak umat manusia untuk lebih peka terhadap makna yang ada dalam setiap kejadian dan peristiwa yang terjadi di dunia ini
Al-Qurtubi dalam tafsirnya menyatakan bahwa ayat ini mengandung peringatan bagi orang-orang yang memiliki hati yang bersih dan hati yang terbuka untuk menerima hikmah, serta bagi mereka yang benar-benar mendengarkan dan merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah. Kata "qalb" yang digunakan dalam ayat ini, menurut Al-Qurtubi, merujuk kepada hati yang sehat, yakni hati yang terbuka untuk menerima kebenaran dan petunjuk, sehingga seseorang akan merespons dengan kesadaran yang mendalam. Hati yang tidak terpengaruh oleh penyakit-penyakit batin (seperti kesombongan, keraguan, dan kebutaan hati) akan menerima peringatan ini.
Selain itu, penggunaan kata "alqa as-sam'a" (yang menggunakan pendengarannya) menunjukkan pentingnya mendengarkan dengan penuh perhatian dan pemahaman. Ini berarti bahwa peringatan yang datang melalui wahyu atau firman Allah tidak cukup hanya didengar secara fisik, tetapi juga harus didengar dengan hati yang peka, di mana pemahaman yang mendalam dapat tercapai. Ini menunjukkan hubungan antara pendengaran dan pemahaman spiritual yang mengarah pada perubahan dalam perilaku dan sikap.
Sementara itu, kata "wa huwa syahid" yang berarti "dan dia menyaksikan" dapat dipahami sebagai kewajiban untuk hadir secara spiritual, yakni menyaksikan tanda-tanda Allah dalam kehidupan dan alam semesta dengan penuh kesadaran dan keterlibatan. Orang yang "syahid" adalah mereka yang mampu melihat realitas yang lebih besar dan memahami hikmah di balik segala kejadian.
Al-Qurtubi juga menekankan bahwa ayat ini adalah peringatan yang bersifat luas dan mencakup seluruh aspek kehidupan, baik yang terlihat oleh mata maupun yang dapat dirasakan oleh hati dan pemikiran. Tafsir ini mengajak umat untuk menggunakan akal dan hati dalam merenungkan dan mengambil pelajaran dari setiap tanda kebesaran Allah.
Fakhrur Razi, dalam tafsirnya, lebih banyak menjelaskan tentang makna mendalam yang terkandung dalam ayat ini. Menurutnya, ayat ini menunjukkan adanya keterkaitan yang sangat erat antara "hati" dan "pendengaran" dalam memperoleh hikmah dan peringatan. Fakhrur Razi menyatakan bahwa kalimat "li man kana lahu qalbun" (bagi orang yang mempunyai hati) bukan sekadar merujuk kepada orang yang memiliki organ fisik hati, tetapi lebih kepada orang yang memiliki hati yang sadar dan peka terhadap tanda-tanda kebenaran. Bagi Fakhrur Razi, hati yang disebutkan dalam ayat ini adalah hati yang dapat memahami, merenung, dan mengambil hikmah dari setiap kejadian yang terjadi di sekitarnya.
Selanjutnya, dalam menafsirkan kata "au alqa as-sam'a" (atau yang menggunakan pendengarannya), Fakhrur Razi memaparkan bahwa mendengarkan bukan sekadar mendengar suara atau perkataan, tetapi lebih kepada mendengarkan dengan kesadaran dan pemahaman yang mendalam. Hal ini dapat disamakan dengan mendengarkan wahyu atau nasihat yang disampaikan oleh Allah. Dengan mendengarkan secara sadar, seseorang dapat merenungkan dan mengambil pelajaran dari apa yang didengar.
Fakhrur Razi juga memberikan perhatian khusus pada kata "wa huwa syahid" yang berarti "dan dia menyaksikan". Menurutnya, ayat ini mengajak umat untuk menyaksikan kehidupan dengan penuh kesadaran spiritual dan untuk melihat kenyataan dengan pandangan yang tajam. Dalam pandangannya, penyaksian di sini bukan hanya terkait dengan fisik, tetapi juga dengan penyaksian batin yang penuh pemahaman terhadap hakikat hidup dan kebesaran Allah.
Metode Ilmiah dalam Penafsiran Ayat
Penafsiran terhadap Q.S. Qaf ayat 37 menggunakan pendekatan ilmiah yang menggabungkan beberapa metode seperti wawancara, penglihatan, pendengaran, penyaksian (observasi), pemikiran, dan analisis dengan perenungan bisa dikatakan mencakup berbagai aspek dalam pemahaman ayat tersebut.
Proses wawancara, yang dalam hal ini bisa diartikan sebagai mendengarkan dengan penuh perhatian, sangat relevan dengan kata "alqa as-sam’a" dalam ayat tersebut. Wawancara ini tidak hanya melibatkan mendengarkan informasi, tetapi lebih dalam pada mendengarkan dengan hati, meresapi pesan dan informasi yang ada, serta merenungkannya.
Observasi dalam konteks ini dapat dilihat sebagai upaya untuk menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah melalui alam semesta dan peristiwa kehidupan sehari-hari. Hal ini berhubungan dengan makna "wa huwa syahid" yang menunjukkan bahwa peringatan ini bukan hanya untuk mereka yang mampu melihat secara fisik, tetapi juga mereka yang dapat melihat dengan hati da pikiran.
Pemikiran dan Analisis dengan Perenungan:
Ayat ini juga mengajak untuk merenungkan peringatan Allah secara mendalam, menggunakan akal dan hati. Dalam hal ini, pemikiran tidak sekadar mencakup aspek rasional tetapi juga harus melibatkan perenungan yang mendalam tentang makna hidup dan kebesaran Tuhan.
Oleh karena itu, penafsiran ini bisa dipandang sebagai bentuk triangulasi antara berbagai aspek indera dan pemikiran dalam memahami ayat tersebut. Wawancara (pendengaran), penglihatan, dan penyaksian (observasi) berfungsi untuk memperdalam pemahaman, sementara analisis dan perenungan memungkinkan seseorang untuk merenung dan memperoleh hikmah dari peringatan yang disampaikan dalam ayat ini.
Epilog
Teori-teori ilmiah yang berkembang saat ini tidak hanya mengandalkan data dan metode yang tampak, tetapi juga menyertakan pemahaman yang lebih dalam melalui refleksi dan keterbukaan hati. Perenungan, sebagaimana disebutkan dalam Surah Qaf ayat 37, mengajak kita untuk lebih mendengarkan dan menyaksikan dengan hati yang jernih. Dengan demikian, penelitian ilmiah tidak hanya soal pengumpulan fakta, tetapi juga tentang bagaimana kita menghubungkan informasi dengan kebijaksanaan batin, menjadikan ilmu sebagai sarana untuk mencapai pemahaman yang lebih holistik.
0 komentar