BLANTERORBITv102

    KAJIAN Q.S. AZ-ZARIYAT: 37

    Jumat, 28 Februari 2025

    Penulis: Prof. Dr. H. Muhammad Yusuf, S.Ag., M.Pd.I.

    Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Alauddin Makassar

    Pertautan Konseptual

    Surah Az-Zariyat ayat 36–37 mengandung pelajaran mendalam tentang tanda-tanda sejarah sebagai peringatan bagi generasi mendatang. Ayat 36 menyebutkan bahwa Allah hanya menemukan satu rumah yang beriman di tengah kaum yang zalim, yakni rumah Nabi Luth.

    Kemudian, ayat 37 menegaskan bahwa Allah meninggalkan bekas atau tanda di negeri itu sebagai pelajaran:

    وَتَرَكْنَا فِيْهَآ اٰيَةً لِّلَّذِيْنَ يَخَافُوْنَ الْعَذَابَ الْاَلِيْمَ

    "Kami meninggalkan suatu tanda (kebesaran-Nya) di (negeri) itu bagi orang-orang yang takut pada azab yang pedih." (Az-Zariyat: 37)

    Ayat 36 menunjukkan bahwa hanya sedikit orang yang selamat dari azab, yaitu keluarga Nabi Luth. Hal ini menekankan prinsip seleksi ilahi berdasarkan keimanan dan kebaikan. Sementara itu, ayat 37 menekankan bahwa kehancuran kaum Luth bukan sekadar peristiwa masa lalu, tetapi menjadi tanda sejarah bagi orang-orang yang mengambil pelajaran.

    Relevansi dalam Pendidikan dan Sains

    Dalam konteks pendidikan dan sains modern, konsep ini sejalan dengan bagaimana jejak historis dan artefak digunakan untuk memahami peristiwa masa lalu. 

    Reruntuhan kota Sodom dan Gomorah di sekitar Laut Mati sering dikaitkan dengan kisah Nabi Luth, memberikan bukti arkeologis tentang kemungkinan kehancuran akibat fenomena geologis atau bencana alam. Situs-situs peradaban kuno lain yang hancur, seperti Pompeii, menjadi bukti nyata bahwa kemerosotan moral dan kelalaian terhadap tanda-tanda bahaya dapat berujung pada kehancuran.

    Dalam ilmu sejarah dan arkeologi, jejak artefaktual membantu kita memahami bagaimana peradaban berkembang dan runtuh, serta mengambil hikmah agar kesalahan tidak terulang. Begitu pula dalam sains modern, bukti-bukti ilmiah seperti perubahan iklim dan bencana ekologis menjadi "tanda peringatan" yang mengingatkan manusia agar bertindak lebih bijak terhadap alam.

    Jadi, Az-Zariyat ayat 36–37 mengajarkan bahwa peristiwa sejarah bukan sekadar cerita masa lalu, tetapi menjadi tanda pembelajaran bagi mereka yang mau berpikir. Dalam pendidikan dan sains, konsep ini diterapkan melalui studi historis, arkeologi, dan ilmu lingkungan, di mana bukti-bukti empiris (artefak, data sejarah, dan perubahan alam) digunakan untuk memahami hukum sebab-akibat dalam kehidupan manusia.

    Kajian Kebahasaan

    وَتَرَكْنَا فِيْهَآ اٰيَةً لِّلَّذِيْنَ يَخَافُوْنَ الْعَذَابَ الْاَلِيْمَۗ ۝٣٧

    Terjemahnya: "Kami meninggalkan suatu tanda (kebesaran-Nya) di (negeri) itu bagi orang-orang yang takut pada azab yang pedih."(37).

    Struktur ayat ini terdiri dari beberapa bagian utama. Kata "وَتَرَكْنَا" (wa taraknā) berfungsi sebagai fi’il madhi (kata kerja lampau) yang menunjukkan tindakan Allah dalam meninggalkan tanda. "فِيْهَآ" (fīhā) adalah kata keterangan tempat yang merujuk pada negeri kaum Luth yang dihancurkan. "اٰيَةً" (āyatan) adalah objek dari kata kerja "تَرَكْنَا", menunjukkan bahwa yang ditinggalkan adalah tanda kebesaran Allah. Kemudian, "لِّلَّذِيْنَ يَخَافُوْنَ" (lilladzīna yakhāfūn) adalah frasa yang menunjukkan siapa yang dapat mengambil pelajaran dari tanda tersebut, yaitu mereka yang takut akan "الْعَذَابَ الْاَلِيْمَ" (al-‘adzāb al-alīm), azab yang pedih. Struktur ini menggambarkan hubungan sebab-akibat dalam konteks peringatan Ilahi.

    Penggunaan kata "وَتَرَكْنَا" (Kami meninggalkan) mengandung makna bahwa tanda itu tetap ada sebagai peringatan nyata bagi generasi setelahnya. Kata "اٰيَةً" (tanda) digunakan dalam bentuk nakirah (indefinitif) untuk menunjukkan keagungan dan kebesaran tanda tersebut. Frasa "لِّلَّذِيْنَ يَخَافُوْنَ" menggunakan bentuk isim maushul untuk menunjukkan bahwa hanya orang-orang yang memiliki ketakwaan dan rasa takut kepada azab yang mampu mengambil pelajaran. Penyebutan "الْعَذَابَ الْاَلِيْمَ" (azab yang pedih) memperkuat kesan kedahsyatan hukuman yang diberikan, dengan kata "الْاَلِيْمَ" yang berasal dari akar kata ألم (sakit) untuk menggambarkan penderitaan yang luar biasa.

    Makna kata "اٰيَةً" dalam ayat ini merujuk pada tanda kebesaran Allah yang berbentuk bekas kehancuran negeri kaum Luth. Dalam Al-Qur'an, "آيَةٌ" sering digunakan untuk menunjukkan tanda-tanda kekuasaan Allah, baik dalam bentuk fenomena alam maupun sejarah umat terdahulu. Kata "يَخَافُوْنَ" berasal dari akar kata خوف yang berarti takut, tetapi dalam konteks ayat ini, takut yang dimaksud adalah rasa takut yang didasarkan pada kesadaran akan konsekuensi perbuatan. "الْعَذَابَ الْاَلِيْمَ" menunjukkan bentuk hukuman yang tidak hanya menyakitkan secara fisik, tetapi juga menimbulkan penderitaan yang mendalam. Semantik ayat ini menegaskan bahwa tanda yang ditinggalkan di negeri tersebut bukan sekadar sisa kehancuran, tetapi juga sebagai pelajaran bagi mereka yang mau berpikir.

    Kata "اٰيَةً" bukan hanya merujuk pada peninggalan fisik, tetapi juga berfungsi sebagai simbol kebijaksanaan dan keadilan Allah. Negeri yang ditinggalkan sebagai tanda bisa dimaknai sebagai representasi dari akibat moral yang ditanggung suatu kaum akibat menyimpang dari ajaran Ilahi. Frasa "لِّلَّذِيْنَ يَخَافُوْنَ" menunjukkan bahwa tanda tersebut hanya bermakna bagi mereka yang memiliki kesadaran spiritual. Dalam konteks ini, tanda kehancuran bukan sekadar bukti historis, tetapi juga sebuah pesan simbolis yang terus berlaku bagi manusia di setiap zaman agar tidak mengulangi kesalahan kaum terdahulu.

    Penafsira Ulama

    Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur'an menafsirkan ayat ini sebagai peringatan bagi umat manusia tentang akibat dari kedurhakaan. Ia menekankan bahwa kehancuran kaum Nabi Luth bukan sekadar kisah masa lalu, tetapi sebuah tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang memiliki hati yang takut kepada azab-Nya. Menurutnya, azab yang menimpa mereka adalah hasil dari penyimpangan moral yang parah. Sayyid Qutb juga menggarisbawahi bahwa kisah ini relevan sepanjang zaman, mengingatkan manusia untuk menjaga kesucian dan moralitas agar tidak mengalami nasib serupa.

    Al-Maragi menjelaskan bahwa tanda yang dimaksud dalam ayat ini adalah peninggalan-peninggalan sejarah dari kaum Nabi Luth yang dihancurkan oleh Allah dengan hujan batu dan gempa dahsyat. Ia menafsirkan bahwa kejadian ini merupakan sunnatullah yang berlaku bagi setiap kaum yang melanggar fitrah manusia. Menurut Al-Maragi, ayat ini mengandung pesan bahwa manusia harus belajar dari sejarah dan memahami bahwa siksa Allah bukanlah dongeng, melainkan realitas yang terjadi pada umat terdahulu dan bisa terulang jika manusia mengabaikan hukum-hukum Allah.

    Sains Modern dan Bukti Historis

    Dari perspektif sains modern, kisah kaum Nabi Luth sering dikaitkan dengan bencana alam yang dahsyat. Wilayah yang diyakini sebagai tempat tinggal mereka, yaitu sekitar Laut Mati, menunjukkan tanda-tanda geologis yang mendukung teori kehancuran akibat gempa bumi dan letusan gas alam. Studi geologi menemukan bahwa wilayah tersebut pernah mengalami aktivitas tektonik yang hebat, yang dapat menyebabkan ledakan metana atau sulfur, mirip dengan gambaran dalam Al-Qur'an.

    Selain itu, bukti arkeologis seperti reruntuhan kota-kota di sekitar Laut Mati menunjukkan adanya peradaban yang tiba-tiba musnah. Artefak yang ditemukan menunjukkan jejak pembakaran hebat, mendukung teori tentang hujan batu atau ledakan besar. Penemuan ini semakin memperkuat narasi bahwa kehancuran kaum Nabi Luth bukan sekadar legenda, tetapi memiliki dasar historis dan ilmiah.

    Sebagai Sumber Inspirasi 

    Ayat ini dapat menjadi sumber inspirasi dalam pendidikan, terutama dalam membentuk karakter moral dan kesadaran sejarah bagi generasi muda. Pendidikan Islam tidak hanya bertujuan mentransmisikan ilmu pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai ketakwaan dan kepedulian terhadap hukum Allah.

    Dari perspektif pendidikan moral, ayat ini mengajarkan pentingnya rasa takut kepada Allah sebagai bentuk kesadaran akan konsekuensi dari setiap perbuatan. Kisah kaum Nabi Luth menjadi pelajaran bahwa perilaku menyimpang dapat membawa kehancuran, baik secara sosial maupun individual. Hal ini menekankan pentingnya pendidikan akhlak dalam membentuk masyarakat yang bermoral dan bertanggung jawab.

    Dari aspek sejarah dan sains, ayat ini mengajarkan metode pembelajaran berbasis bukti (evidence-based learning). Melalui penelitian terhadap peninggalan sejarah dan kajian ilmiah tentang bencana alam yang terjadi di masa lalu, siswa dapat memahami bahwa Al-Qur'an bukan hanya kitab spiritual, tetapi juga sumber pengetahuan yang relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

    Selain itu, ayat ini juga menginspirasi metode pendidikan berbasis refleksi. Guru dapat mengajak siswa merenungkan bagaimana sejarah berulang dan bagaimana hukum sebab-akibat bekerja dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, pendidikan dapat menjadi alat untuk membangun kesadaran kolektif agar masyarakat tidak mengulangi kesalahan masa lalu dan tetap berada di jalur yang benar.