BLANTERORBITv102

    KAJIAN Q.S. AZ-ZARIYAT: 35

    Jumat, 28 Februari 2025

    Penulis: Prof. Dr. H. Muhammad Yusuf, S.Ag., M.Pd.I.

    Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Alauddin Makassar

    Pertautan Konseptual

    Jika sebelumnya berbicara tentang azab yang ditimpakan kepada kaum Nabi Luth akibat kefasikan mereka. Lalu, ayat 35 melanjutkan dengan penegasan bahwa Allah menyelamatkan orang-orang mukmin yang beriman dan taat kepada-Nya.

    Secara konseptual (tanasub), keterkaitan kedua ayat ini mencerminkan prinsip keadilan Ilahi bahwa perbuatan seseorang akan berujung pada konsekuensi yang sepadan. Bagi yang menanam keburukan, mereka akan menuai kebinasaan, sedangkan bagi yang menanam kebaikan, mereka akan menuai keselamatan.

    Dalam konteks pendidikan, prinsip ini sejalan dengan hukum sebab-akibat dan teori hukum tebar tuai dalam sains modern. Pendidikan yang berbasis karakter dan keilmuan yang benar akan menghasilkan generasi yang selamat, baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Jika seseorang menanam benih ilmu, disiplin, dan akhlak yang baik, maka ia akan menuai keberhasilan dan keselamatan. Sebaliknya, jika pendidikan diabaikan atau diisi dengan nilai-nilai yang rusak, maka hasilnya adalah kebinasaan moral dan sosial.

    Dalam ilmu fisika dan biologi, hukum sebab-akibat juga terbukti. Misalnya, jika seseorang merawat lingkungannya dengan baik, ia akan mendapatkan udara yang bersih dan ekosistem yang sehat. Sebaliknya, jika lingkungan dirusak, maka bencana alam akan datang sebagai akibat dari perbuatan manusia itu sendiri.

    Ayat ini mengajarkan bahwa dalam kehidupan, baik dalam aspek spiritual, pendidikan, maupun ilmu pengetahuan, ada keseimbangan antara perbuatan dan akibatnya. Kebaikan yang ditanam akan berbuah keselamatan, sementara keburukan akan membawa kehancuran.

    Analisis Kebahasaan

    Ayat ini memiliki struktur yang jelas dengan pola fi'il (kata kerja) di awal, yaitu فَأَخْرَجْنَا (fa-akhrajnā, "Maka Kami mengeluarkan"). Kata kerja ini berbentuk fi'il madhi (lampau) dengan dhamir nā yang menunjukkan bahwa Allah sebagai subjek pelaku.

    Kemudian, مَنْ كَانَ فِيهَا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ merupakan maf'ul (objek) yang diawali dengan kata sambung man sebagai isim maushul, menunjukkan kelompok tertentu, yaitu orang-orang mukmin. Frasa فِيْهَا merujuk pada negeri kaum Luth. مِنَ الْمُؤْمِنِينَ adalah bayan (penjelas) yang menjelaskan bahwa yang dikeluarkan adalah orang-orang beriman.

    Secara sintaksis, ayat ini memiliki keterpaduan antara subjek, predikat, dan objek dengan pola yang efektif dan padat makna.

    Pola ayat ini menggunakan taqdim wa ta’khir (pendahuluan dan pengakhiran) dalam susunan مَنْ كَانَ فِيهَا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ, yang memberi tekanan bahwa hanya orang beriman yang diselamatkan.

    Terdapat juga ijaz (kependekan dengan makna luas), karena tanpa penjelasan panjang, ayat ini sudah menggambarkan pemisahan antara orang beriman dan kaum yang diazab.

    Huruf fa dalam فَأَخْرَجْنَا menunjukkan kesinambungan cepat antara keputusan Allah dan pelaksanaan penyelamatan, menandakan ketegasan. Penggunaan fi'il madhi (akhrajnā) juga menunjukkan kepastian bahwa kejadian ini sudah benar-benar terjadi dan menjadi pelajaran bagi kaum setelahnya.

    Kata أَخْرَجْنَا (Kami mengeluarkan) berasal dari akar kata خ-ر-ج yang berarti "keluar" atau "mengeluarkan". Dalam konteks ayat ini, maknanya lebih dari sekadar perpindahan tempat; ini adalah penyelamatan dari azab.

    Kata مَنْ dalam ayat ini bersifat umum (mawṣūlah), tetapi dijelaskan dengan مِنَ الْمُؤْمِنِينَ, yang mengkhususkan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang beriman.

    Selain itu, frasa فِيْهَا (di dalamnya) mengindikasikan bahwa sebelumnya mereka berada dalam lingkungan yang terkena azab, tetapi kemudian diselamatkan. Konsep ini menegaskan bahwa imanlah yang menjadi sebab keselamatan.

    Ayat ini menunjukkan tanda atau simbol keselamatan bagi orang beriman dan kebinasaan bagi orang kafir. Kata أَخْرَجْنَا melambangkan intervensi ilahi yang tidak dapat dihindari.

    Penyebutan مِنَ الْمُؤْمِنِينَ mengindikasikan bahwa hanya iman yang menjadi syarat penyelamatan, bukan sekadar hubungan keluarga atau status sosial. Hal ini diperkuat dalam kisah Nabi Luth, di mana istrinya sendiri tidak termasuk yang diselamatkan.

    Frasa فِيْهَا menunjukkan keterikatan lokasi dengan takdir yang telah ditentukan. Negeri itu menjadi tanda sejarah kehancuran akibat dosa besar, sementara penyelamatan menjadi bukti kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya yang beriman.

    Pandangan Ulama Tafsir

    Syeikh Mutawalli Sya'rawi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan rahmat Allah terhadap kaum mukminin di tengah kehancuran suatu kaum yang durhaka. Dalam kisah kaum Lut, Allah tidak langsung membinasakan seluruh penduduk negeri, melainkan menyelamatkan orang-orang yang masih beriman sebelum azab turun. Hal ini menjadi bukti bahwa keimanan memiliki kekuatan untuk menyelamatkan seseorang dari kebinasaan.

    Sya'rawi juga menyoroti keadilan Allah dalam menghukum suatu kaum. Allah tidak menurunkan azab secara sembarangan, melainkan berdasarkan keadilan dan kebijaksanaan-Nya. Bagi orang-orang beriman yang masih tinggal di negeri tersebut, Allah mengeluarkan mereka terlebih dahulu agar mereka tidak terkena dampak kebinasaan yang akan menimpa kaum yang ingkar.

    Dari perspektif spiritual, ayat ini menunjukkan bahwa iman adalah benteng perlindungan yang sejati. Dalam kehidupan sehari-hari, orang-orang yang bertakwa akan selalu mendapatkan petunjuk dan perlindungan dari Allah, baik dalam bentuk penyelamatan fisik maupun penjagaan dari penyimpangan moral dan akidah.

    Wahbah Az-Zuhaili dalam tafsirnya menekankan bahwa ayat ini merupakan bukti kasih sayang Allah terhadap orang-orang beriman. Menurutnya, penyelamatan kaum mukminin dari negeri yang akan dihancurkan adalah sunnatullah yang berlaku dalam sejarah umat manusia. Hal ini menunjukkan bahwa Allah selalu melindungi orang-orang yang bertakwa dari kebinasaan, baik dalam bentuk azab langsung maupun akibat kemerosotan moral suatu bangsa.

    Az-Zuhaili juga menyoroti bahwa penyelamatan ini bukan hanya bersifat fisik, tetapi juga bersifat spiritual. Orang-orang beriman dipisahkan dari kaum yang durhaka agar mereka tidak terpengaruh oleh kemaksiatan dan dosa yang telah merajalela. Ini juga menjadi pelajaran bagi umat Islam agar tidak tinggal di lingkungan yang dapat merusak iman dan akhlak mereka.

    Dalam konteks kehidupan modern, ayat ini menjadi peringatan agar seseorang selalu berada dalam komunitas yang baik dan menjauhi lingkungan yang penuh kemaksiatan. Keimanan seseorang dapat terjaga dengan baik jika berada di lingkungan yang mendukung nilai-nilai Islam, sebagaimana Allah menyelamatkan kaum beriman dari kehancuran negeri kaum Lut.

    Dari perspektif ilmu sosial, ayat ini menunjukkan bahwa lingkungan memiliki peran penting dalam membentuk perilaku manusia. Penelitian dalam psikologi sosial menunjukkan bahwa individu yang tinggal di lingkungan yang rusak moralnya cenderung mengalami degradasi nilai. Hal ini selaras dengan hikmah penyelamatan kaum mukminin dari negeri kaum Lut: agar mereka tidak terpengaruh oleh budaya yang menyimpang.

    Dalam ilmu lingkungan, ayat ini juga dapat dikaitkan dengan konsep mitigasi bencana. Sering kali, ketika suatu wilayah menghadapi ancaman bencana besar, langkah pertama yang diambil adalah mengevakuasi kelompok yang rentan. Hal ini sejalan dengan prinsip yang diajarkan dalam ayat ini, di mana Allah terlebih dahulu menyelamatkan orang-orang yang masih beriman sebelum azab diturunkan.

    Dalam dunia pendidikan, ayat ini mengajarkan pentingnya menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan iman dan akhlak peserta didik. Pendidikan bukan hanya tentang mentransfer ilmu, tetapi juga membangun karakter dan moral. Lingkungan belajar yang sehat, guru yang berakhlak baik, serta kurikulum yang menanamkan nilai-nilai keimanan akan membantu menciptakan generasi yang kuat secara moral dan spiritual.

    Selain itu, pendidikan modern menekankan pentingnya critical thinking dan self-awareness dalam memilih lingkungan pergaulan. Para pendidik perlu membimbing peserta didik agar mampu menilai mana lingkungan yang positif dan mana yang dapat merusak nilai-nilai mereka. Dalam konteks ini, ayat ini mengajarkan prinsip "hijrah" secara sosial, yaitu meninggalkan lingkungan yang berbahaya bagi iman dan memilih komunitas yang mendukung pertumbuhan spiritual dan intelektual.

    Dengan demikian, pelajaran dari ayat ini tidak hanya relevan dalam konteks sejarah, tetapi juga memiliki implikasi yang luas dalam kehidupan modern, baik dalam sains, sosial, maupun pendidikan.

    Secara logis, konsep dalam ayat ini mengikuti prinsip sebab-akibat yang jelas: Jika suatu masyarakat tenggelam dalam kemaksiatan dan penolakan terhadap kebenaran, maka konsekuensinya adalah kehancuran atau kemunduran, baik secara moral maupun fisik.

    Jika ada individu yang masih memegang teguh iman di tengah masyarakat yang rusak, maka logis jika mereka harus diselamatkan terlebih dahulu agar tidak terkena dampak negatif dari kehancuran tersebut. Jika lingkungan berpengaruh terhadap moral seseorang, maka berpindah ke lingkungan yang lebih baik adalah langkah yang logis untuk menjaga kualitas iman dan akhlak.

    Ayat ini menegaskan prinsip dasar bahwa keberlangsungan hidup seseorang dipengaruhi oleh moralitas dan lingkungan sosialnya, yang juga sejalan dengan pemikiran logika dan hukum sebab-akibat dalam kehidupan manusia.