BLANTERORBITv102

    KAJIAN Q.S. AZ-ZARIYAT: 34

    Jumat, 28 Februari 2025

    Penulis: Prof. Dr. H. Muhammad Yusuf, S.Ag., M.Pd.I.

    Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Alauddin Makassar

    Pertautan Konseptual

    Dalam Surah Az-Zariyat ayat 33–34, Allah menggambarkan azab yang ditimpakan kepada kaum yang melampaui batas, dengan hujan batu yang telah ditandai untuk membinasakan mereka. Ayat ini tidak hanya berfungsi sebagai peringatan terhadap hukuman akibat melampaui batas, tetapi juga memiliki relevansi dalam dunia pendidikan dan sains modern.

    Pendidikan menuntut keseimbangan antara kebebasan berpikir dan batasan moral serta etika. Siswa dan pendidik harus memahami bahwa ilmu harus digunakan dalam batas kewajaran dan tidak disalahgunakan. Dalam konteks ini, "musrifin" (orang yang melampaui batas) dapat dimaknai sebagai mereka yang menggunakan ilmu dengan cara yang berlebihan atau menyimpang, seperti plagiarisme, manipulasi data, atau riset yang merusak kemanusiaan. Ilmu tanpa kendali etis dapat membawa kehancuran, sebagaimana umat-umat terdahulu yang dihancurkan akibat melampaui batas moral dan akhlak.

    Dalam sains modern, batasan ini juga tercermin dalam konsep keberlanjutan dan etika ilmiah. Penelitian yang berlebihan tanpa mempertimbangkan dampaknya—seperti eksploitasi sumber daya alam, rekayasa genetika tanpa kontrol, atau pengembangan teknologi yang merugikan umat manusia—dapat membawa konsekuensi besar. Sejalan dengan ayat ini, ilmu yang tidak digunakan dalam koridor yang benar dapat membawa kehancuran, bukan kemaslahatan.

    Dengan demikian, ayat 33 dan 34 Surah Az-Zariyat mengajarkan bahwa keseimbangan dalam belajar dan mengembangkan ilmu sangat penting. Jika batas kewajaran dilanggar, baik dalam pendidikan maupun sains, akibatnya bisa merusak kehidupan manusia, sebagaimana kehancuran yang menimpa kaum terdahulu.

    Analisis Kebahasaan

    مُّسَوَّمَةً عِنْدَ رَبِّكَ لِلْمُسْرِفِيْنَ ۝٣٤

    Terjemahnya: "yang ditandai oleh Tuhanmu untuk (membinasakan) orang-orang yang melampaui batas (berlebih-lebihan)" (34)

    Jika dicermati dengan saksama, struktur ayat ini terdiri dari tiga bagian utama: (1) "مُّسَوَّمَةً" (ditandai), (2) "عِنْدَ رَبِّكَ" (di sisi Tuhanmu), dan (3) "لِلْمُسْرِفِيْنَ" (untuk orang-orang yang melampaui batas). Kata "مُّسَوَّمَةً" berbentuk ism maf'ul yang menunjukkan sifat tetap, menegaskan bahwa azab tersebut memang telah ditentukan. Frasa "عِنْدَ رَبِّكَ" menunjukkan ketetapan Allah, menandakan azab ini bukan kebetulan tetapi bagian dari sunnatullah. Kata "لِلْمُسْرِفِيْنَ" memakai lam ta’lil (لِ), menunjukkan bahwa kehancuran ini diperuntukkan khusus bagi orang-orang yang melampaui batas. Secara sintaksis, struktur ayat ini memperjelas kesinambungan makna bahwa azab telah dipersiapkan dengan tanda khusus dan diarahkan kepada kaum yang berlebihan dalam dosa dan keingkaran.

    Keindahan retorika dalam ayat ini terlihat dari pemilihan kata "مُّسَوَّمَةً", yang berarti sesuatu yang diberi tanda atau ciri khusus. Kata ini menunjukkan bahwa azab tersebut memiliki identitas yang jelas, seolah telah dipersiapkan secara spesifik. Frasa "عِنْدَ رَبِّكَ" menambah kesan keagungan dan ketegasan bahwa keputusan ini berasal langsung dari Allah, sehingga tidak ada yang bisa menghindarinya. Kata "لِلْمُسْرِفِيْنَ" dipilih untuk menggambarkan orang-orang yang melampaui batas, bukan hanya dalam dosa, tetapi juga dalam kedurhakaan terhadap ajaran Allah. Susunan ayat yang singkat dan padat memberikan efek ketegasan dan ancaman yang kuat, sesuai dengan fungsi ayat ini sebagai peringatan bagi orang-orang yang durhaka.

    Kata "مُّسَوَّمَةً" berakar dari "س و م" yang berarti menandai atau memberi tanda khusus. Ini menunjukkan bahwa azab yang dijatuhkan bukan sembarang hukuman, melainkan sesuatu yang telah ditentukan bentuk dan sasarannya. Kata "عِنْدَ" dalam konteks ini tidak hanya berarti "di sisi," tetapi juga menunjukkan bahwa ketentuan ini bersumber dari Allah, memperlihatkan aspek kepastian hukuman. Sementara itu, kata "المسرفين" berasal dari akar "س ر ف" yang berarti berlebihan atau melampaui batas. Dalam konteks ayat ini, istilah tersebut merujuk pada orang-orang yang berlebih-lebihan dalam dosa dan kemaksiatan, sehingga mereka pantas menerima hukuman dari Allah. Semantik ayat ini menegaskan bahwa hukuman tersebut ditetapkan secara spesifik bagi kaum yang durhaka.

    Kata "مُّسَوَّمَةً" dapat diinterpretasikan sebagai simbol dari ketetapan azab yang memiliki tanda atau ciri khas tertentu, mungkin dalam bentuk jenis siksaan atau metode kehancuran yang spesifik. Frasa "عِنْدَ رَبِّكَ" bukan hanya menunjukkan sumber keputusan, tetapi juga menandakan bahwa azab ini bukan kejadian acak, melainkan bagian dari hukum Allah yang pasti. Kata "لِلْمُسْرِفِيْنَ" menjadi penanda kelompok manusia yang melampaui batas dalam keingkaran, yang dalam banyak narasi Al-Qur'an sering dikaitkan dengan kehancuran umat-umat terdahulu. Dengan demikian, ayat ini membentuk sistem tanda yang menyampaikan pesan tentang konsekuensi bagi mereka yang melanggar batas-batas ketentuan Allah.

    Penjelasan Ulama Tafsir

    Al-Maragi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kata "musawwamah" berarti sesuatu yang memiliki tanda atau ciri khas yang jelas. Dalam konteks ayat ini, ia merujuk pada batu-batu yang dilemparkan kepada kaum Nabi Luth yang melampaui batas dalam kezaliman dan perbuatan maksiat. Batu-batu tersebut bukanlah batu biasa, melainkan telah ditandai oleh Allah sebagai bentuk hukuman yang telah dipersiapkan secara khusus untuk mereka.

    Menurut Al-Maragi, ayat ini menegaskan bahwa sanksi terhadap kaum yang berbuat zalim bukanlah sekadar kebetulan, melainkan bagian dari ketetapan ilahi yang adil. Hukuman itu turun sebagai akibat dari perilaku kaum tersebut yang terus-menerus menentang kebenaran dan menolak peringatan Nabi Luth.

    Ia juga menekankan bahwa hukuman Allah kepada kaum terdahulu merupakan pelajaran bagi generasi setelahnya. Masyarakat yang melampaui batas dalam kemaksiatan dan menolak seruan kebenaran akan menghadapi akibat yang serupa, meskipun bentuknya bisa berbeda sesuai dengan kondisi zaman.

    Ali Ash-Shabuni dalam kitab tafsirnya Shafwatut Tafasir menjelaskan bahwa kata "musawwamah" menunjukkan bahwa azab yang ditimpakan kepada kaum Nabi Luth bukan sekadar bencana alam biasa, tetapi memiliki tanda khusus dari Allah. Batu-batu tersebut bukan hanya menghancurkan secara fisik, tetapi juga merupakan simbol pembalasan atas tindakan mereka yang melampaui batas moral dan sosial.

    Ia mengaitkan ayat ini dengan konsep keadilan ilahi, di mana setiap kaum yang berlebihan dalam kezaliman pasti akan menerima hukuman setimpal. Ali Ash-Shabuni juga menyoroti bahwa penggunaan kata "lil musrifin" (bagi orang-orang yang melampaui batas) menunjukkan bahwa Allah tidak menimpakan hukuman secara sewenang-wenang, melainkan hanya kepada mereka yang sudah melampaui batas kewajaran dalam perbuatan dosa.

    Ia juga menekankan bahwa ayat ini memberikan peringatan kepada umat manusia agar tidak mengulangi kesalahan yang sama seperti kaum terdahulu. Dengan demikian, ayat ini tidak hanya berbicara tentang sejarah masa lalu, tetapi juga menjadi pedoman moral bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan agar tidak jatuh dalam perilaku melampaui batas.

    Sains Modern dan Pendidikan Etika

    Dalam konteks sains modern, ayat ini dapat dikaitkan dengan fenomena alam seperti jatuhnya meteor atau peristiwa geologi yang dapat menyebabkan kehancuran suatu wilayah. Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa peristiwa kehancuran kota Sodom dan Gomorah, yang diyakini sebagai tempat tinggal kaum Nabi Luth, mungkin terkait dengan ledakan meteor atau gempa bumi besar yang memicu kebakaran dahsyat. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian-kejadian yang disebutkan dalam Al-Qur’an memiliki kemungkinan korelasi dengan hukum alam yang telah ditetapkan oleh Allah.

    Dari perspektif lingkungan, ayat ini juga memberikan pelajaran bahwa eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan dapat membawa konsekuensi bencana. Keserakahan manusia yang tidak mengenal batas, seperti deforestasi, pencemaran udara, dan eksploitasi bahan tambang secara berlebihan, dapat menyebabkan kehancuran ekosistem yang pada akhirnya akan berbalik merugikan manusia sendiri. Hal ini sejalan dengan konsep bahwa segala sesuatu memiliki batasan yang harus dijaga agar keseimbangan tetap terpelihara.

    Dalam pendidikan etika, ayat ini memberikan pesan penting tentang pentingnya mengenali batas-batas kewajaran dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam kehidupan sosial, seseorang harus mampu membedakan antara kebebasan dan kebablasan, antara kebutuhan dan keserakahan, serta antara tindakan yang bermanfaat dan yang merugikan orang lain.

    Misalnya, dalam kehidupan pribadi, seseorang perlu memahami batasan dalam konsumsi makanan, penggunaan teknologi, serta dalam mengelola emosi dan hubungan sosial. Orang yang tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri cenderung jatuh dalam sikap boros, hedonisme, atau bahkan tindakan destruktif yang dapat merugikan diri sendiri dan masyarakat.

    Dalam dunia pendidikan, nilai-nilai ini sangat penting untuk diajarkan kepada generasi muda agar mereka memiliki kesadaran akan pentingnya disiplin, tanggung jawab, dan keseimbangan dalam hidup. Guru dan orang tua perlu menanamkan konsep bahwa segala sesuatu memiliki konsekuensi, sehingga melampaui batas dalam hal apa pun akan membawa dampak negatif.

    Sejarah membuktikan bahwa kecerdasan tanpa etika hanya melahirkan kesombongan, bahkan kehancuran. Ilmu yang tinggi tanpa akhlak hanya akan menjadi senjata yang membahayakan kemanusiaan. Oleh karena itu, pendidikan etika harus ditanamkan lebih awal, bahkan sebelum ilmu, atau setidaknya bersamaan dan terintegrasi dalam setiap aspek pembelajaran.

    Dalam Islam, para ulama terdahulu menekankan bahwa adab lebih utama daripada ilmu. Imam Malik bahkan berkata, "Pelajarilah adab sebelum ilmu." Dengan etika yang kuat, ilmu akan menjadi cahaya yang menerangi kehidupan, bukan alat untuk menindas. Hanya dengan fondasi akhlak yang kokoh, ilmu dapat membawa kemaslahatan bagi masyarakat. Tanpa etika, ilmu kehilangan arah. Oleh karena itu, sudah seharusnya pendidikan kita menempatkan etika sebagai prioritas utama.