Penulis: Prof. Dr. H. Muhammad Yusuf, S.Ag., M.Pd.I.
Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Alauddin Makassar
Pertaautan Konseptual
Surah az-Zariyat ayat 30 menyebutkan tentang jawaban yang diberikan oleh umat Nabi Ibrahim, di mana mereka mengatakan bahwa apa yang disampaikan adalah firman Tuhan yang penuh kebijaksanaan dan pengetahuan. Ayat ini menggambarkan penegasan bahwa segala yang terjadi di dunia ini bukanlah hasil kebetulan, melainkan merupakan bagian dari takdir dan kebijaksanaan Allah yang Maha Mengetahui.
Tanasub atau pertautan konseptual antara ayat 30 ini dengan ayat sebelumnya, yaitu az-Zariyat ayat 29, dapat dilihat dari konteks peristiwa yang sedang terjadi. Dalam ayat 29, Allah menceritakan tentang kejadian yang luar biasa ketika para malaikat menyampaikan kabar gembira kepada Nabi Ibrahim bahwa ia akan dikaruniai anak, meskipun usianya sudah sangat tua. Peristiwa ini merupakan salah satu bentuk kebijaksanaan Allah yang tampak dalam kehidupan manusia.
Pada ayat 30, ketika umat Nabi Ibrahim mengonfirmasi bahwa apa yang disampaikan tersebut adalah firman Tuhan, mereka mengakui bahwa itu bukanlah sesuatu yang terjadi tanpa tujuan dan hikmah. Inilah titik pertautannya dengan pendidikan dan sains modern. Dalam ilmu pengetahuan, banyak penemuan dan fenomena yang menjelaskan hukum-hukum alam yang bekerja dalam kehidupan kita. Namun, di balik penemuan-penemuan itu, ada kebijaksanaan dan pengetahuan yang lebih tinggi, yaitu dari Tuhan Yang Maha Mengetahui.
Dalam konteks pendidikan dan sains, ayat ini mengajarkan bahwa pencarian ilmu haruslah dilandasi dengan kesadaran akan kebijaksanaan dan pengetahuan Allah yang meliputi segala sesuatu. Walaupun manusia mampu memahami sebagian dari hukum-hukum alam, pada akhirnya semua pengetahuan yang ditemukan oleh sains tetaplah terbatas, sedangkan Allah adalah sumber dari segala kebijaksanaan dan pengetahuan yang tidak terbatas. Oleh karena itu, pendidikan dan penelitian dalam sains hendaknya disertai dengan rasa tawadhu dan kesadaran akan kebesaran Tuhan yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.
Analisis Kebahasaan
Ayat ini merupakan bagian dari percakapan antara Nabi Ibrahim dan malaikat yang menyampaikan berita gembira kepada istrinya yang akan mengandung seorang anak meski dalam usia yang sangat lanjut. Struktur kalimat ini terdiri dari dua bagian utama: pertama adalah ucapan mereka yang merujuk pada pernyataan Tuhan dan kedua adalah penegasan tentang sifat Tuhan, yaitu Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui. Kalimat ini menggunakan konjungsi "Demikianlah" sebagai penghubung antara klaim mereka dan pernyataan Tuhan, memberi kesan kepastian. Struktur ini juga menekankan bahwa apa yang terjadi adalah kehendak Tuhan yang tak dapat disangkal.
Pengulangan kata "Demikianlah" berfungsi untuk menegaskan pernyataan dan menambah kesan kepastian dan keyakinan. Frase "Tuhanmu berfirman" mengandung sifat otoritatif dan membuktikan kebenaran wahyu yang diterima. Penggunaan kata "Mahabijaksana" dan "Maha Mengetahui" dalam ayat ini memperlihatkan penggambaran Tuhan yang penuh kebijaksanaan dan pengetahuan yang tidak terbatas, dua sifat yang menambah kedalaman makna dalam komunikasi antara malaikat dan Nabi Ibrahim. Penggunaan istilah ini berfungsi sebagai penguatan pesan ilahi yang tidak dapat diragukan.
Kata "Mahabijaksana" (al-Hakim) menggambarkan Tuhan yang memiliki kebijaksanaan yang sempurna, sehingga segala keputusan-Nya selalu tepat dan tidak pernah salah. Sedangkan "Maha Mengetahui" (al-‘Alim) mengandung pengertian bahwa Tuhan memiliki pengetahuan yang tak terbatas tentang segala hal, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Keseluruhan ayat ini memberi pemahaman bahwa kejadian yang terjadi, yakni kelahiran anak yang luar biasa, adalah hasil dari kebijaksanaan dan pengetahuan Tuhan yang sempurna. Hal ini mengajak umat untuk selalu meyakini bahwa semua ketetapan Tuhan adalah yang terbaik.
Frase "Demikianlah Tuhanmu berfirman" menjadi tanda yang menunjukkan bahwa apa yang terjadi adalah bagian dari keputusan ilahi yang pasti dan tidak dapat dibantah. Kata "Mahabijaksana" dan "Maha Mengetahui" juga berfungsi sebagai tanda untuk menggambarkan sifat-sifat Tuhan yang tinggi, yang berfungsi untuk memberikan pemahaman bahwa segala peristiwa yang ada di dunia ini diatur oleh suatu kekuatan yang sangat bijaksana dan penuh pengetahuan. Dengan demikian, simbolisme ini mengarah pada pengakuan akan keesaan dan kebesaran Tuhan dalam segala aspek kehidupan.
Pola ayat ini mencerminkan prinsip logika dalam komunikasi ilahi. Dalam argumen yang disampaikan oleh malaikat, mereka mengaitkan pernyataan Tuhan dengan tindakan yang akan terjadi, yaitu kelahiran anak dari istri Nabi Ibrahim yang sudah lanjut usia. Logika yang digunakan adalah bahwa jika Tuhan yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui berfirman, maka pasti segala perintah dan keputusan-Nya adalah benar dan tepat. Ini juga menunjukkan bahwa tidak ada hal yang mustahil bagi Tuhan, meski secara logika manusia tidak dapat membayangkan hal tersebut. Ayat ini menyampaikan logika teologis bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak atas segala hal.
Penafsiran Ulama
Syeikh Mutawalli Sya'rawi menafsirkan ayat ini dengan pendekatan yang mendalam terkait dengan sifat-sifat Tuhan, terutama kebijaksanaan dan ilmu-Nya yang meliputi segala hal. Menurut Sya'rawi, pernyataan “Demikianlah Tuhanmu berfirman” menunjukkan kepastian bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini adalah bagian dari ketetapan Tuhan. Kalimat ini mencerminkan keyakinan bahwa apa yang ditentukan oleh Tuhan pasti berdasarkan hikmah-Nya yang tinggi dan pengetahuan-Nya yang tak terbatas.
Sya'rawi lebih jauh mengungkapkan bahwa sifat "Al-Hakim" (Yang Mahabijaksana) menegaskan bahwa Tuhan tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan yang benar, baik dalam urusan ciptaan-Nya maupun ketentuan hukum-Nya. Sedangkan "Al-‘Alim" (Yang Maha Mengetahui) menunjukkan bahwa pengetahuan Tuhan mencakup segala aspek, dari yang tampak hingga yang tersembunyi, dari yang besar hingga yang kecil. Tiada satu pun yang luput dari pengetahuan-Nya. Ini menyiratkan bahwa Tuhan memahami secara detail setiap kejadian di alam semesta ini.
Bagi Sya'rawi, ayat ini mengingatkan manusia untuk selalu merenungkan kebijaksanaan di balik segala takdir dan hukum yang telah ditetapkan oleh Tuhan, serta mempercayai bahwa segala peristiwa memiliki tujuan dan hikmah yang bisa dipahami oleh orang yang memiliki pengetahuan yang cukup dan keimanan yang kuat.
M. Quraish Shihab dalam tafsirnya menegaskan bahwa ayat ini menunjukkan kesempurnaan sifat Tuhan, yaitu kebijaksanaan dan ilmu-Nya. Ketika Allah berfirman "Demikianlah Tuhanmu berfirman," ini menunjukkan ketetapan dan kepastian dari wahyu yang disampaikan-Nya. Quraish Shihab mengungkapkan bahwa kalimat ini mengandung penguatan bahwa wahyu atau perintah Allah tidaklah sia-sia, dan setiap ciptaan-Nya, termasuk hukum-hukum-Nya, adalah bagian dari kebijaksanaan yang tak terhingga.
Menurut Quraish Shihab, "Al-Hakim" menunjukkan bahwa segala sesuatu yang ditetapkan oleh Allah pasti memiliki tujuan yang baik dan tidak ada yang sia-sia, meskipun terkadang manusia tidak dapat memahaminya dengan sempurna. Sedangkan "Al-‘Alim" mengandung makna bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi, bahkan yang tersembunyi sekalipun. Pengetahuan Allah meliputi segala dimensi, baik yang fisik maupun yang metafisik.
Quraish Shihab juga menekankan bahwa ayat ini mengajak umat untuk selalu yakin dan menerima setiap ketetapan Allah, karena Dia Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui. Ketika seseorang menghadapi kesulitan atau peristiwa yang tidak dapat dipahami, ayat ini mengingatkan bahwa kebijaksanaan Allah tetap ada di baliknya, meski manusia belum tentu memahami secara langsung.
Sains Modern dan Pendidikan
Dalam konteks sains modern, ayat ini relevan dengan pemahaman bahwa segala hukum alam semesta yang kita temui adalah ciptaan Tuhan yang sangat teratur dan penuh hikmah. Konsep "Al-Hakim" dan "Al-‘Alim" sejalan dengan penemuan ilmiah yang menunjukkan bahwa alam semesta ini beroperasi menurut hukum-hukum yang sangat kompleks dan penuh ketepatan, seperti hukum fisika, biologi, dan kimia. Pemahaman ini mengarah pada kesadaran bahwa pengetahuan ilmiah yang terus berkembang merupakan bagian dari upaya manusia untuk memahami kebijaksanaan Allah yang terkandung dalam ciptaan-Nya.
Pendidikan terkini juga menekankan pentingnya mengajarkan nilai-nilai kebijaksanaan dan pengetahuan yang tak terbatas dalam konteks ilmiah dan spiritual. Dalam hal ini, ayat ini mengajarkan kepada kita bahwa ilmu dan kebijaksanaan tidak hanya diperoleh melalui pendidikan formal, tetapi juga melalui pemahaman akan kebesaran Tuhan yang mengatur segala sesuatu. Pendidikan yang mengajarkan integrasi antara ilmu pengetahuan dan keimanan dapat memberikan pemahaman yang lebih utuh bagi siswa, mempersiapkan mereka untuk menjadi individu yang mampu berpikir kritis dan memiliki moralitas yang baik.
Selain itu, penerapan prinsip "Al-Hakim" dan "Al-‘Alim" dalam pendidikan dapat memperkuat etika ilmiah, di mana para ilmuwan dan pelajar diajak untuk selalu mencari kebenaran dengan penuh kesungguhan, sambil menyadari bahwa ada banyak hal yang masih perlu digali dan dipahami. Oleh karena itu, kebijaksanaan dan pengetahuan Tuhan yang tercermin dalam ayat ini menjadi dasar untuk mendorong pembelajaran yang tidak hanya mengutamakan pencapaian akademik, tetapi juga pengembangan karakter dan kedalaman spiritual.
0 komentar