Penulis: Prof. Dr. H. Muhammad Yusuf, S.Ag., M.Pd.I.
Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Alauddin Makassar
Pertautan Konseptual
Pada ayat sebelumnya, yaitu Surah Az-Zariyat ayat 10, Allah menyatakan, "وَيْلٌ لِّيُدْنِهِمْ", yang dapat diterjemahkan sebagai "Celakalah bagi mereka yang mendustakan". Ayat ini berbicara tentang keadaan orang-orang yang mendustakan kebenaran, yakni mereka yang menolak petunjuk dan wahyu Allah. Sementara pada ayat 11, Allah menggambarkan mereka sebagai orang-orang yang "fi ghamrah sahoon"—"terbenam dalam kebodohan dan lalai dari urusan akhirat". Konsep ini menciptakan keterkaitan yang erat antara dua ayat tersebut, mengindikasikan bahwa kebodohan dan kelalaian lahir dari penolakan terhadap kebenaran.
Dalam konteks pendidikan dan sains modern, hubungan antara kedua ayat ini bisa dipahami dalam kerangka bagaimana pengetahuan dan kesadaran akan tujuan hidup mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap dunia dan akhirat. Dalam dunia modern yang penuh dengan kemajuan teknologi dan informasi, banyak individu yang terjebak dalam "ghamrah" atau kebingungannya, yaitu terperangkap dalam pengetahuan yang tidak membawa pada kesadaran spiritual dan moral. Banyak orang kini terfokus pada pencapaian materi dan sains tanpa menyadari bahwa pengetahuan sejati harus seimbang dengan pemahaman tentang tujuan hidup, yaitu kehidupan setelah mati.
Ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam tidak hanya sebatas pada pengetahuan duniawi, tetapi harus mengarah pada pemahaman yang menghubungkan antara dunia dan akhirat. Mereka yang lalai atau terjebak dalam kebodohan, sebagaimana tercermin dalam ayat ini, sering kali terlepas dari nilai-nilai moral yang harus dibawa dalam pencarian ilmiah. Tanpa keseimbangan ini, ilmu pengetahuan menjadi tidak bermakna karena tidak mendekatkan diri pada kebenaran yang hakiki, yaitu penghambaan kepada Allah dan pemahaman tentang kehidupan yang abadi. Dengan demikian, kedua ayat ini memperingatkan kita untuk tidak terperangkap dalam kelalaian atau kebodohan yang bisa menghalangi kita dari mengenal tujuan hidup yang sebenarnya.
Analisis Kebahasaan
الَّذِيْنَ هُمْ فِيْ غَمْرَةٍ سَاهُوْنَۙ ١١
Terjemahnya: '"(yaitu) orang-orang yang terbenam (dalam kebodohan) lagi lalai (dari urusan akhirat)!" (11)
Komposisi ini terdiri dari dua klausa utama: "الَّذِينَ هُمْ فِي غَمْرَةٍ" (orang-orang yang terbenam dalam kebodohan) dan "سَاهُونَ" (lagi lalai). Struktur kalimat ini mengindikasikan dua keadaan berturut-turut: pertama, terperosok dalam keadaan yang membingungkan (غمْرَةٍ), yang melambangkan keterbenaman dalam kelalaian yang tak disadari; kedua, mereka berada dalam keadaan lalai (ساهُونَ), yakni tidak mengindahkan tanggung jawab spiritual dan moral. Penempatan kata "ساهُونَ" setelah "غَمْرَةٍ" mempertegas bahwa kelalaian adalah akibat langsung dari kebodohan, yang menambah konotasi keterpurukan intelektual dan spiritual. Dengan demikian, struktur kalimat ini membangun gambaran keterasingan seseorang dari realitas akhirat.
Penggunaan kata "غَمْرَةٍ" secara metaforis menggambarkan kedalaman kebodohan yang membenamkan seseorang, sementara "سَاهُونَ" mengindikasikan sikap acuh tak acuh atau ketidakpedulian terhadap hal-hal yang lebih penting. Penggunaan metafora "غَمْرَةٍ" memperkuat gambaran kebingungan yang mendalam, yang tidak hanya terjadi pada fisik tetapi juga pada batin. Selanjutnya, pengulangan bunyi konsonan "س" dalam "ساهُونَ" memperlihatkan kelembutan namun mengandung makna kealpaan yang intens, menggambarkan kebiasaan buruk yang terbentuk karena kelalaian berlarut-larut. Balagah ini menekankan kesan kuat tentang kerugian yang dihasilkan dari kelalaian terhadap tujuan hidup.
Kata "غَمْرَةٍ" merujuk pada kondisi terbenam dalam kebodohan, yang secara figuratif bisa berarti kebingungan atau ketidaktahuan terhadap realitas kehidupan dan tujuan akhirat. "سَاهُونَ" menekankan sikap ketidakpedulian, lalai, atau acuh tak acuh terhadap kewajiban moral dan spiritual. Gabungan kedua kata ini mengungkapkan gambaran orang yang terperosok dalam kebodohan dan ketidakpedulian yang membelenggu kesadaran mereka. Dari sisi ini, ayat ini mengajak kita untuk memahami pentingnya kesadaran dan kewaspadaan terhadap tujuan akhirat. Semantik ayat ini menyampaikan peringatan mengenai akibat kelalaian yang mendalam terhadap kehidupan spiritual.
Ayat ini menggunakan dua simbol utama: "غَمْرَةٍ" dan "سَاهُونَ". "غَمْرَةٍ" dapat diartikan sebagai simbol kebodohan yang membenamkan seseorang dalam ketidakpahaman dan kebingungan, sementara "سَاهُونَ" mewakili simbol kelalaian dan ketidakpedulian terhadap sesuatu yang penting, dalam hal ini, kehidupan akhirat. Kedua simbol ini berfungsi untuk memperingatkan tentang bahaya terbenam dalam kehidupan duniawi yang mengabaikan kesadaran spiritual. Dalam konteks sosial, ini juga dapat diartikan sebagai kritik terhadap ketidakpedulian masyarakat terhadap isu-isu moral dan spiritual, yang dapat mengarah pada kerugian besar dalam kehidupan akhirat.
Pesan Pendidikan
Pesan terdalam ayat ini mengajarkan pentingnya pendidikan yang tidak hanya mengutamakan pengetahuan duniawi, tetapi juga pendidikan spiritual yang membimbing seseorang untuk menyadari tujuan hidup dan akhirat. Kelalaian yang dimaksud mencerminkan kurangnya perhatian terhadap nilai-nilai luhur, termasuk agama dan moralitas. Pendidikan harus mampu mengembangkan kesadaran ini, agar generasi mendatang tidak terperosok dalam kebodohan dan kelalaian yang merugikan kehidupan dunia dan akhirat mereka.
Penjelasan Ulama
Syeikh Mutawalli Sya'rawi dalam tafsirnya terhadap ayat ini menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan "terbenam dalam kebodohan" adalah mereka yang terperangkap dalam kehidupan duniawi yang penuh dengan kesenangan dan kesibukan, tanpa memperhatikan kehidupan akhirat. Kata "ghamrah" (غَمْرَة) menurut Sya'rawi merujuk pada kondisi di mana seseorang tenggelam dalam berbagai urusan dunia yang tidak bermanfaat, hingga ia tidak menyadari atau bahkan lupa akan tujuan hidupnya yang hakiki. Sementara itu, "sahun" (سَاهُونَ) adalah kondisi kelalaian, yang menggambarkan sikap acuh tak acuh terhadap urusan-urusan akhirat, seperti kewajiban beribadah, yang menuntut perhatian dan kesadaran penuh.
Sya'rawi menggambarkan manusia yang terjebak dalam kesibukan dunia sebagai sosok yang memiliki hati yang keras dan pikiran yang tidak mampu merenung, padahal Allah menuntut umat-Nya untuk menyadari hakikat kehidupan. Orang-orang yang terjebak dalam "ghamrah" adalah mereka yang mengabaikan misi hidup sejati sebagai hamba Allah yang harus senantiasa terhubung dengan-Nya melalui ibadah dan pemikiran yang mendalam.
M. Quraish Shihab dalam tafsirnya terhadap ayat ini memberikan penekanan pada makna "ghamrah" sebagai kondisi kebodohan dan ketidaksadaran seseorang terhadap kebenaran. Ghamrah dalam hal ini dipahami sebagai suatu keadaan keterlenaan yang meliputi kehidupan seseorang dalam dunia yang fana, sehingga ia tidak mengingat kehidupan setelah mati yang jauh lebih penting. "Sahun" atau kelalaian adalah kondisi yang menyertai seseorang yang hanya sibuk dengan dunia tanpa ada niat untuk merenung dan mempersiapkan kehidupan akhirat.
Shihab mengungkapkan bahwa ayat ini menggambarkan orang-orang yang terlena oleh hawa nafsu dan kesenangan dunia yang sementara, tanpa menyadari adanya tujuan hakiki yang harus dicapai dalam hidup, yaitu kebahagiaan abadi di akhirat. Kelalaian ini menyebabkan mereka tidak mampu memaksimalkan potensi diri untuk beribadah, menuntut ilmu, dan beramal saleh.
Isyarat Sains Modern
Sains modern memberikan penjelasan yang relevan terhadap makna kelalaian atau keterbenaman dalam kebodohan yang dijelaskan dalam ayat ini. Studi-studi neurologi menunjukkan bahwa manusia cenderung lebih fokus pada kesenangan instan dan kegiatan duniawi yang tidak selalu bermanfaat. Otak manusia, khususnya bagian yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan jangka panjang, sering kali terhambat oleh dorongan emosi dan keinginan sesaat.
Dalam konteks ini, kebiasaan hidup yang hanya berorientasi pada duniawi tanpa merenungkan tujuan hidup jangka panjang atau akhirat, sejalan dengan fenomena di dunia sains yang menunjukkan bahwa manusia seringkali mengabaikan konsekuensi jangka panjang untuk kenyamanan jangka pendek. Ini adalah kelalaian dalam memahami dan menyadari tujuan hidup yang lebih besar, yang pada akhirnya mengarah pada kehidupan yang tidak seimbang.
Pesan Edukatif
Teks dari ayat ini menyampaikan pesan edukatif yang sangat dalam, yakni perlunya kesadaran dan perhatian terhadap kehidupan akhirat sebagai tujuan utama hidup manusia. Ayat ini mengingatkan kita bahwa kehidupan duniawi, meskipun penting, tidak boleh menjadi satu-satunya fokus hidup. Seringkali, kita terjebak dalam rutinitas sehari-hari yang penuh dengan pekerjaan, hiburan, dan hal-hal yang tampaknya penting, namun tidak memberikan dampak positif terhadap kebahagiaan abadi kita.
Pesan yang terkandung dalam ayat ini juga mengajarkan pentingnya introspeksi diri. Setiap individu perlu merenung dan memeriksa dirinya, apakah kehidupannya sudah berada di jalur yang benar, apakah dia sudah mempersiapkan bekal untuk kehidupan yang kekal setelah mati. Oleh karena itu, Islam mengajarkan keseimbangan dalam hidup: menyeimbangkan antara urusan dunia dan akhirat.
Secara praktis, pesan ini mendorong kita untuk tidak terjebak dalam dunia yang fana. Alih-alih hanya mengejar kesenangan duniawi, kita diajak untuk memperhatikan ibadah, pendidikan, dan amal saleh yang akan memberi manfaat bagi kehidupan akhirat kita. Menghargai waktu dan melibatkan diri dalam aktivitas yang mendekatkan diri kepada Allah adalah langkah konkret untuk menghindari kelalaian.
Dengan demikian, ayat ini tidak hanya menyentuh aspek spiritual tetapi juga mengajak kita untuk mengelola kehidupan duniawi dengan bijak, agar kita tidak terjebak dalam kelalaian yang mengarah pada kerugian abadi.
0 komentar