BLANTERORBITv102

    KAJIAN Q.S. AZ-ZARIYAT: 10

    Rabu, 26 Februari 2025

    Penulis: Prof. Dr. H. Muhammad Yusuf, S.Ag., M.Pd.I.

    Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Alauddin Makassar

    Pertautan Konseptual

    Surah Az-Zariyat ayat 9 dan 10 memberikan gambaran tentang sifat-sifat buruk orang yang menolak kebenaran dan berdusta. Ayat 9 menyatakan, "Pada hari langit dan bumi berguncang." Ayat ini menggambarkan sebuah kondisi yang penuh kekacauan, yang bisa diartikan sebagai gambaran ketidakstabilan dalam kehidupan manusia ketika mereka menolak kebenaran dan ilmu yang datang kepada mereka. Ketidakstabilan ini dapat merujuk pada kondisi sosial, moral, atau bahkan intelektual yang bisa terjadi jika manusia menutup diri terhadap kebenaran ilmiah atau ajaran yang benar.

    Sementara itu, pada ayat 10, Allah menyatakan, "Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta." Ayat ini memberikan hukuman bagi mereka yang secara sengaja menutupi atau memutarbalikkan kebenaran. Dalam konteks pendidikan dan sains modern, ayat ini bisa dipahami sebagai peringatan terhadap fenomena penyebaran informasi yang tidak akurat atau bahkan sesat. Di dunia sains dan pendidikan, ada beberapa pihak yang seringkali mendistorsi fakta atau hasil penelitian untuk kepentingan pribadi atau kelompok, yang tentu saja merugikan masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri.

    Pendidikan dan sains modern mengajarkan pentingnya pencarian kebenaran dan pemahaman yang objektif, yang berdasarkan bukti dan penelitian. Namun, ketika banyak orang atau pihak tertentu yang berdusta atau mengabaikan fakta ilmiah, seperti dalam hal perubahan iklim, kesehatan, atau masalah sosial, maka kita akan merasakan dampak buruknya, baik dari segi pengetahuan yang tidak berkembang maupun kerusakan lingkungan dan sosial yang lebih luas.

    Secara konseptual, hubungan antara kedua ayat ini memperingatkan bahwa kebohongan dan penutupan kebenaran akan membawa akibat yang merusak, baik bagi individu maupun masyarakat secara keseluruhan. Dalam pendidikan, kita diajarkan untuk tidak hanya mencari kebenaran, tetapi juga untuk menghindari penyebaran kebohongan yang dapat merugikan orang lain.

    Analisis Kebahasaan

    قُتِلَ الْخَرَّاصُوْنَۙ ۝١٠

    Terjemahnya: "Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta,"(10)

    Q.S. Az-Zariyat:10 ini terdiri dari kalimat pendek yang langsung mengungkapkan kutukan terhadap orang yang banyak berdusta. Secara struktur, ayat ini menggunakan kata kerja "qutila" yang berarti "terkutuk" yang diikuti dengan "al-kharrasoon" yang merujuk pada orang-orang yang suka berdusta. Pemilihan kata yang sederhana namun tegas memberikan kesan kekuatan dan ketegasan terhadap tindakan yang tercela. Frasa ini menggunakan bahasa yang lugas, yang bertujuan untuk menekankan akibat buruk bagi mereka yang terlibat dalam kebohongan dan kedustaan. Penggunaan kalimat pasif juga memberi kesan bahwa tindakan kebohongan akan mendatangkan kutukan yang tak terhindarkan.

    Redaksi ayat ini menggunakan gaya bahasa yang kuat dan efektif. Penggunaan kata "qutila" yang berarti "terkutuk" merupakan bentuk do'a buruk yang menunjukkan kecaman sangat keras terhadap kebiasaan berdusta. Hal ini menunjukkan balaghah dalam memotivasi pembaca atau pendengar untuk menjauhi kebohongan. Frasa "al-kharrasoon" menggambarkan orang yang banyak berdusta, dengan penekanan pada kebiasaan yang berulang. Ini menciptakan rasa keterikatan emosional dengan audiens, serta menambah kesan negatif pada mereka yang terjerumus dalam kebohongan. Selain itu, struktur kalimat yang ringkas dan padat memperkuat pesan yang disampaikan.

    Kata "qutila" memberi makna kutukan atau kemalangan bagi mereka yang terlibat dalam kebohongan. Kata ini memiliki implikasi bahwa kebohongan bukan hanya tindakan yang salah, tetapi juga akan membawa dampak yang mengerikan bagi pelakunya. "Al-kharrasoon" mengacu pada orang-orang yang terbiasa membuat klaim tanpa dasar yang jelas, yang menggambarkan seseorang yang tidak hanya berdusta tetapi juga merusak kebenaran. Konteks semantik ayat ini mengarah pada pentingnya menjaga kejujuran dalam kehidupan sehari-hari. Menggunakan kebohongan akan berakibat fatal dan tidak mendapat tempat dalam kehidupan yang beradab dan bermoral.

    Kata "qutila" berfungsi sebagai tanda atau simbol kutukan terhadap kebohongan. Semiotika di sini menunjukkan bahwa kebohongan bukan hanya sekadar kesalahan, tetapi juga tanda kehancuran moral dan spiritual bagi seseorang. "Al-kharrasoon" berfungsi sebagai simbol dari kelompok yang terus-menerus berbohong, menciptakan sebuah representasi masyarakat yang terjerumus dalam kebohongan. Tanda kutukan terhadap mereka yang berdusta memberi gambaran bahwa dalam struktur sosial yang adil dan benar, tindakan berdusta tidak akan mendapat tempat dan akan terpinggirkan. Pesan ini juga dapat dipahami sebagai peringatan agar kita menjaga integritas dan kejujuran dalam setiap ucapan dan perbuatan.

    Petunjuk ayat ini mengajarkan pentingnya nilai kejujuran dalam pendidikan. Dalam konteks pendidikan, kebohongan atau kedustaan dapat merusak integritas pribadi dan sistem pendidikan itu sendiri. Pesan ini mengingatkan bahwa pendidikan bukan hanya tentang ilmu pengetahuan, tetapi juga tentang membentuk karakter yang jujur. Dengan menghindari kebohongan, seseorang dapat membangun kepercayaan, baik dalam hubungan sosial maupun dalam proses pembelajaran. Pendidikan yang baik mengajarkan nilai kebenaran, yang menjadi dasar bagi masyarakat yang bermoral dan beradab.

    Perspektif Mufassir

    Sayyid Qutub dalam tafsirnya, Fi Zilal al-Qur'an, menjelaskan bahwa ayat ini menggambarkan orang-orang yang banyak berdusta atau menyebarkan kebohongan. Menurutnya, "الْخَرَّاصُونَ" (al-kharrasun) merujuk pada mereka yang suka membuat spekulasi tanpa dasar yang kuat, terutama dalam masalah agama dan kehidupan. Mereka cenderung berbohong, baik tentang ajaran-ajaran agama maupun tentang hal-hal yang belum terbukti kebenarannya, demi kepentingan pribadi atau golongan tertentu.

    Qutub memandang ayat ini sebagai peringatan terhadap bahaya kebohongan dalam segala bentuknya, baik itu berupa penyelewengan fakta maupun pendapat yang merugikan masyarakat. Kebohongan, menurut Qutub, dapat merusak tatanan sosial, mengelabui orang banyak, dan menghancurkan kepercayaan. Ia juga menegaskan bahwa kebohongan ini bukan hanya terbatas pada penyebaran informasi palsu, tetapi juga mencakup sikap dan tindakan yang menipu orang lain.

    Penting untuk dicatat bahwa bagi Qutub, ayat ini juga menggambarkan suatu kondisi sosial yang penuh dengan ketidakjujuran. Oleh karena itu, ia mengajak umat untuk berpegang pada kebenaran dan menjauhi sikap buruk yang dapat merusak masyarakat.

    Syeikh Mutawalli Sya'rawi dalam tafsirnya memberi penekanan pada makna kebohongan yang ada dalam ayat ini. Ia menjelaskan bahwa kata "الْخَرَّاصُونَ" (al-kharrasun) menunjukkan orang-orang yang suka membuat dugaan atau spekulasi tanpa dasar yang jelas dan pasti. Menurutnya, kebohongan semacam ini dapat menciptakan kerusakan dalam kehidupan sosial dan spiritual umat manusia.

    Sya'rawi menafsirkan bahwa orang-orang yang berdusta dalam ayat ini bukan hanya yang berbohong dengan kata-kata, tetapi juga dengan tindakan mereka. Mereka yang membuat klaim-klaim palsu tanpa bukti, terutama dalam urusan-urusan yang terkait dengan agama dan moralitas, adalah orang-orang yang terkutuk menurut ayat ini. Ia mengaitkan kebohongan ini dengan kecenderungan manusia yang ingin mendominasi dan mengendalikan kebenaran sesuai dengan keinginan pribadi atau kelompok tertentu.

    Lebih lanjut, Sya'rawi menyatakan bahwa ayat ini memperingatkan umat manusia agar tidak terjebak dalam kebohongan, baik dalam hal-hal kecil maupun besar, karena akibatnya dapat merusak keharmonisan sosial dan keutuhan moral. Ia juga menekankan pentingnya berbicara dengan jujur dan tidak terpengaruh oleh informasi yang tidak jelas atau tidak pasti.

    Isyarat Sains Modern

    Isyarat sains modern dapat dilihat dalam ayat ini ketika membahas fenomena kebohongan atau distorsi informasi. Dalam konteks sains, kita sering kali mendapati informasi yang tidak akurat atau belum terbukti kebenarannya tersebar luas, baik melalui media sosial maupun sumber-sumber lain. Seperti dalam ilmu pengetahuan, teori atau hipotesis perlu diuji dan dibuktikan melalui eksperimen dan bukti yang jelas. Kebohongan atau spekulasi tanpa bukti yang sah dapat menyesatkan masyarakat dan menghambat perkembangan pengetahuan.

    Sains modern, dalam banyak kasus, mengajarkan pentingnya verifikasi fakta, pembuktian, dan penggunaan data yang valid untuk mencapai kesimpulan yang benar. Hal ini selaras dengan peringatan dalam ayat ini untuk menjauhi kebohongan, karena dalam sains, klaim-klaim yang tidak terverifikasi dapat menyebabkan kebingungannya. Oleh karena itu, relevansi antara ayat ini dengan sains modern adalah pentingnya menjaga kejujuran, integritas, dan verifikasi dalam penyampaian informasi.

    Pesan Pendidikan 

    Pesan pendidikan yang dapat diambil dari ayat ini sangat relevan dengan tantangan pendidikan saat ini, di mana hoaks dan disinformasi menjadi masalah besar di dunia digital. Dalam konteks pendidikan, sangat penting bagi pendidik dan siswa untuk mengembangkan sikap kritis terhadap informasi yang diterima. Pendidikan perlu menanamkan nilai-nilai kebenaran, integritas, dan akuntabilitas. Dalam menghadapi berbagai informasi yang beredar, pendidikan harus mengajarkan cara untuk mengevaluasi sumber informasi, memverifikasi fakta, dan berpikir secara rasional.

    Di era digital, di mana informasi begitu mudah diakses dan disebarkan, pendidikan harus memberi penekanan pada pentingnya literasi media dan pemahaman mengenai cara kerja algoritma di media sosial yang seringkali memanipulasi informasi. Salah satu aspek yang perlu ditekankan adalah sikap skeptis terhadap informasi yang tidak didukung oleh bukti yang jelas dan valid. Para pendidik juga harus mendorong siswa untuk tidak hanya menerima informasi secara pasif, tetapi aktif mencari kebenaran dan mempertanyakan hal-hal yang tidak sesuai dengan logika atau fakta.

    Lebih dari itu, pendidikan juga harus membentuk karakter siswa yang menjunjung tinggi nilai kejujuran, tanggung jawab, dan rasa empati terhadap sesama. Seiring dengan perkembangan zaman, generasi muda perlu dilatih untuk menjadi individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki akhlak yang baik, yang senantiasa mengedepankan kebenaran dan kejujuran dalam setiap tindakan dan perkataan mereka.