BLANTERORBITv102

    KECERDASAN INTELEKTUA, EMOSIONAL, INTELEKTUAL, INTELEKTUAL, DAN SPRITUAL.S. QAF: 19)

    Minggu, 23 Februari 2025

    Penulis: Prof. Dr. H. Muhammad Yusuf, S.Ag., M.Pd.I.

    Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Alauddin Makassar

    Prolog

    Di tengah dinamika dunia pendidikan yang semakin berkembang, teori-teori pembelajaran terus mengalami transformasi untuk menjawab tantangan zaman. Dengan kemajuan teknologi dan perubahan sosial yang pesat, pendidikan kini tidak hanya berfokus pada transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter dan kemampuan adaptasi peserta didik terhadap perubahan global. Teori-teori seperti konstruktivisme, pembelajaran berbasis proyek, dan pembelajaran berbasis teknologi mengedepankan peran aktif siswa dalam proses belajar, serta menekankan pentingnya keterampilan abad 21 seperti kreativitas, kolaborasi, dan pemecahan masalah.

    Namun, di balik kemajuan ini, ada sebuah kenyataan yang tak bisa dihindari: proses kehidupan ini memiliki batasannya, sebagaimana yang digambarkan dalam ayat 19 surat Qamar, "وَجَاۤءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّۗ ذٰلِكَ مَا كُنْتَ مِنْهُ تَحِيْدُ" (Seketika itu datanglah sakratulmaut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang dahulu hendak engkau hindari). Ayat ini mengingatkan kita bahwa meskipun kita berusaha menghindari hal-hal yang tidak kita inginkan, seperti kematian atau akhir dari sesuatu, kenyataannya kita tidak bisa menolaknya. Demikian pula dalam konteks pendidikan, meskipun kita berusaha beradaptasi dengan berbagai teori dan metode, perubahan tak terhindarkan dan harus diterima untuk mencapainya dengan bijak.

    وَجَاۤءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّۗ ذٰلِكَ مَا كُنْتَ مِنْهُ تَحِيْدُ ۝١٩

    Terjemahnya: "(Seketika itu) datanglah sakratulmaut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang dahulu hendak engkau hindar" (19)i

    Analisis Kebasaan

    Surat Qaf ayat 19 memiliki struktur kalimat yang sederhana namun penuh makna. "وَجَاۤءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ" adalah induk kalimat yang menunjukkan peristiwa yang datangnya pasti, yaitu sakaratul maut (kematian). Bagian ini diikuti oleh penegasan dengan kata "بِالْحَقِّ" yang menunjukkan bahwa kematian itu nyata dan tidak bisa dielakkan. "ذٰلِكَ مَا كُنْتَ مِنْهُ تَحِيْدُ" adalah kalimat penutup yang menegaskan bahwa ini adalah sesuatu yang dahulu coba dihindari oleh manusia. Struktur kalimat ini mengarahkan pembaca untuk merenungkan realitas kematian yang tak terelakkan, meskipun manusia berusaha menghindarinya.

    Tampak ayat ini menggunakan gaya bahasa yang kuat dan menyentuh. Penggunaan kata "وَجَاۤءَتْ" menunjukkan datangnya kematian dengan pasti, memberikan kesan yang mendalam dan tak terelakkan. "سَكْرَةُ الْمَوْتِ" menggambarkan kondisi yang penuh penderitaan dan ketegangan, menciptakan efek emosional yang kuat. Frasa "بِالْحَقِّ" menambah kesan kepastian dan kebenaran bahwa kematian itu tidak hanya suatu kemungkinan, tetapi suatu kenyataan yang harus diterima. Kalimat penutup "ذٰلِكَ مَا كُنْتَ مِنْهُ تَحِيْدُ" menunjukkan kontras antara usaha manusia menghindar dan kenyataan bahwa kematian tetap datang.

    Semantik ayat ini sangat kuat dalam menggambarkan hakikat kematian. "سَكْرَةُ الْمَوْتِ" merujuk pada kondisi yang sangat berat dan penuh penderitaan saat seseorang menghadapi kematian, yang menandakan bahwa proses ini sangat sulit dan penuh rasa sakit. Kata "بِالْحَقِّ" menegaskan bahwa kematian adalah sesuatu yang tidak bisa dielakkan dan merupakan bagian dari kenyataan hidup yang harus diterima. "ذٰلِكَ مَا كُنْتَ مِنْهُ تَحِيْدُ" menunjukkan penolakan atau usaha menghindari kematian yang pada akhirnya tidak akan berhasil, sehingga menekankan bahwa kematian adalah takdir yang tidak dapat dihindari oleh siapapun.

    Ayat ini mengandung tanda dan simbol yang mendalam. "سَكْرَةُ الْمَوْتِ" menjadi simbol dari penderitaan dan ketegangan yang menyertai saat-saat terakhir kehidupan. Kata "بِالْحَقِّ" adalah tanda yang menggambarkan kepastian dan ketidakterhindarkan dari kematian, mengisyaratkan kebenaran yang tidak bisa disangkal. "ذٰلِكَ مَا كُنْتَ مِنْهُ تَحِيْدُ" berfungsi sebagai simbol dari usaha manusia untuk menghindari takdir, namun pada akhirnya menunjukkan bahwa segala usaha itu sia-sia, karena kematian adalah keniscayaan. Secara keseluruhan, ayat ini membangun pesan tentang keterbatasan manusia dalam menghadapi takdir yang sudah digariskan.

    Al-Qurtubi dalam tafsirnya mengartikan bahwa ayat ini menggambarkan situasi ketika seseorang menghadapi sakaratul maut, di mana segala hal yang sebelumnya dihindari atau diingkari, kini datang dengan kenyataan yang sangat nyata. Sakaratul maut yang disebutkan dalam ayat ini menandakan sebuah kondisi di mana seseorang merasakan betapa keras dan tak terhindarkannya kematian. Al-Qurtubi juga menyoroti bahwa dalam kehidupan ini, banyak orang yang cenderung menghindari kenyataan tentang kematian, tetapi pada akhirnya, saat itu datang dengan sangat jelas dan tidak bisa ditolak lagi. Hal ini juga mengingatkan bahwa setiap orang akan berhadapan dengan takdirnya dan tidak ada yang bisa menghindar darinya.

    At-Tabari, dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa ayat ini merupakan peringatan kepada manusia agar tidak melupakan kematian dan kenyataan tentang kehidupan setelah mati. Dia menekankan bahwa sakaratul maut yang disebutkan dalam ayat adalah saat-saat akhir hidup yang penuh dengan kebenaran yang datang tanpa bisa dielakkan. Menurutnya, ayat ini mengandung makna bahwa segala upaya manusia untuk menghindari kematian atau berpaling darinya pada akhirnya tidak akan berhasil. Kematian adalah suatu yang pasti dan setiap orang harus siap menghadapi kenyataan tersebut. At-Tabari juga mengungkapkan bahwa ayat ini menegaskan bahwa manusia tidak bisa lari dari takdir Allah yang telah ditentukan.

    Tren perkembangan pendidikan dan pembelajaran terkini menekankan pada pentingnya pemahaman diri, kesadaran sosial, serta kesiapan menghadapi tantangan hidup. Dalam konteks ini, tafsir QS. Qaf ayat 19 yang menyebutkan bahwa kematian datang dengan "sebenar-benarnya" dan tak terhindarkan, dapat dihubungkan dengan pentingnya membekali peserta didik dengan pemahaman tentang kehidupan yang lebih holistik, termasuk mengenai kehidupan setelah mati dan konsep takdir.

    Pendidikan yang ideal tidak hanya mengajarkan keterampilan teknis atau akademik, tetapi juga membentuk karakter yang kuat, yang dapat membantu siswa menghadapi tantangan hidup, baik yang terlihat nyata maupun yang tak terduga seperti kematian. Hal ini relevan dengan pengembangan kurikulum yang lebih berfokus pada pembentukan nilai-nilai moral, etika, dan spiritualitas di samping kecerdasan intelektual.

    Selain itu, pendekatan pembelajaran yang kontekstual dan berbasis pada realitas hidup siswa, termasuk mengajarkan mereka tentang pentingnya menghargai waktu dan mempersiapkan diri menghadapi hal-hal yang tak terhindarkan seperti kematian, sangat sesuai dengan pesan yang terkandung dalam ayat ini. Pendekatan ini juga sejalan dengan kebutuhan untuk membangun ketahanan mental dan kesadaran akan tujuan hidup yang lebih besar, yang semakin ditekankan dalam pendidikan modern.

    Epilog

    Dalam perjalanan pendidikan, baik itu teori maupun praktik, kita terus dihadapkan pada kenyataan bahwa perubahan dan tantangan tak dapat dihindari. Ayat 19 Surat Al-Qamar mengingatkan kita akan hakikat kehidupan yang sementara dan bahwa setiap usaha dalam pendidikan, meskipun penuh inovasi, pada akhirnya harus mengakui keterbatasan waktu dan realitas yang tak bisa dihindari. Pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang mampu menumbuhkan kesadaran akan nilai kehidupan, serta mempersiapkan individu untuk menghadapi kenyataan hidup dengan bijaksana dan penuh kesabaran