Penulis: Prof. Dr. H. Muhammad Yusuf, S.Ag., M.Pd.I.
Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Alauddin Makassar
Prolog
Dalam perjalanan panjang dunia pendidikan, teori-teori pendidikan berkembang seiring waktu, menghadapi tantangan dan dinamika masyarakat yang selalu berubah. Seperti halnya perkembangan ilmu pengetahuan yang terus melaju, teori-teori pendidikan berusaha menyesuaikan diri dengan konteks sosial, budaya, dan teknologi yang terus berkembang. Namun, di tengah segala perubahan ini, tidak sedikit yang terjerumus dalam keinginan untuk menghindar dari kenyataan. Salah satu contoh paling nyata adalah upaya untuk menghindari kenyataan yang tak terelakkan, yakni kematian. Dalam teori-teori modern, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan karakter dan psikologi pendidikan, kesadaran akan kematian atau akhir hidup seringkali dihindari. Padahal, sikap menerima kenyataan ini adalah salah satu faktor penting dalam pembentukan karakter yang tangguh. Kematian, sebagaimana terkandung dalam ayat 19 Surah Qaf, adalah suatu realitas yang pasti dan tidak bisa dihindari.
Ayat 19 Surah Qaf menyampaikan sebuah pesan yang mendalam tentang ketidakmampuan manusia untuk menghindari sakratulmaut, meskipun banyak usaha dilakukan untuk menangguhkan atau menolaknya. Begitu juga dalam pendidikan, sering kali kita menghindari topik-topik berat seperti kematian atau kesulitan hidup dalam proses belajar mengajar. Padahal, untuk membentuk individu yang utuh, pendidikan harus mampu menanamkan pemahaman akan siklus hidup, termasuk kematian. Dalam konteks ini, relevansi ayat tersebut bukan hanya dalam aspek spiritual, tetapi juga sebagai pedoman untuk mengembangkan teori-teori pendidikan dan pembelajaran yang lebih realistis dan berbasis pada penerimaan atas kenyataan hidup.
Analisis Kebahasaan
وَجَاۤءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّۗ ذٰلِكَ مَا كُنْتَ مِنْهُ تَحِيْدُ ١٩
Terjemahnya: "(Seketika itu) datanglah sakratulmaut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang dahulu hendak engkau hindar" (19)
Ayat Q.S. Qaf:19 menggunakan struktur kalimat yang sederhana dan lugas namun penuh makna. Dimulai dengan kata "وَجَاۤءَتْ" (datanglah) yang menunjukkan peristiwa yang tak terhindarkan, diikuti oleh "سَكْرَةُ الْمَوْتِ" (sakaratul maut) yang mempertegas kejadian yang mengarah pada akhir kehidupan. Frase "بِالْحَقِّ" (dengan sebenar-benarnya) menambahkan penekanan pada keaslian dan kenyataan yang tidak dapat dielakkan. Akhirnya, kalimat "ذٰلِكَ مَا كُنْتَ مِنْهُ تَحِيْدُ" (Itulah yang dahulu hendak engkau hindari) mengungkapkan ketidakberdayaan manusia menghadapi kematian. Struktur ayat ini memberi kesan takdir yang pasti dan tidak bisa dielakkan.
Terdapat penggunaan majaz (kiasan) yang menggambarkan kematian dengan "سَكْرَةُ الْمَوْتِ" (sakaratul maut), yang secara harfiah berarti kondisi mabuk atau pingsan, menggambarkan betapa kerasnya proses kematian. Pemilihan kata "بِالْحَقِّ" memperkuat unsur kebenaran yang tak terbantahkan. Teknik iltifat (pergantian gaya bahasa) juga terlihat dalam kalimat terakhir, yang berpindah dari narasi peristiwa menuju pemikiran subjektif tentang tindakan manusia, sehingga menambah kedalaman makna. Ini memperlihatkan keindahan dalam balaghah yang menciptakan dampak emosional, bahwa kematian adalah sesuatu yang dihindari namun pada akhirnya tak bisa ditolak.
Ayat ini mengisyaratkan makna yang dalam tentang kepastian kematian. "سَكْرَةُ الْمَوْتِ" menggambarkan keadaan yang sangat menakutkan dan tidak terhindarkan, menghubungkan kematian dengan pengalaman yang sangat berat dan menyakitkan. Frase "بِالْحَقِّ" menandakan bahwa ini adalah kenyataan yang tidak bisa diubah atau dihindari. Kalimat "مَا كُنْتَ مِنْهُ تَحِيْدُ" menunjukkan bahwa meskipun manusia berusaha menghindarinya, kematian adalah bagian dari takdir yang harus dijalani setiap orang. Secara keseluruhan, ayat ini menekankan keterbatasan manusia dalam menghindari takdir dan pentingnya menerima kenyataan hidup.
Kata "سَكْرَةُ الْمَوْتِ" berfungsi sebagai tanda yang merepresentasikan pengalaman fisik dan emosional yang terkait dengan kematian. Kematian diwakili melalui tanda simbolis yang mengindikasikan proses transisi yang berat dan tak terhindarkan. Frasa "بِالْحَقِّ" berfungsi sebagai penanda yang menegaskan bahwa ini adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, memberi konotasi yang mendalam tentang kebenaran absolut. Tanda "ذٰلِكَ مَا كُنْتَ مِنْهُ تَحِيْدُ" menampilkan hubungan antara tindakan manusia yang berusaha menghindar dan kenyataan yang menanti. Secara keseluruhan, ayat ini menggunakan tanda-tanda untuk mengomunikasikan pesan tentang takdir kematian yang tidak terhindarkan.
Keterangan Ulama Tafsir
Menurut al-Maraghi, QS. Qaf ayat 18 berbicara tentang konsep keterbatasan manusia dalam memahami dan mengetahui segala sesuatu yang terjadi pada dirinya, terutama dalam hal pergerakan organ tubuh. Ayat ini mengungkapkan bahwa setiap perkataan atau perbuatan manusia, termasuk gerakan fisik seperti jari atau tangan, tercatat oleh malaikat yang selalu mendampinginya. Malaikat ini bertugas untuk mencatat dan mengawasi, sebagai bentuk keadilan Tuhan. Ayat ini juga menunjukkan bahwa meskipun manusia merasa bebas dalam bertindak, mereka tidak bisa menghindari pencatatan amal perbuatannya, yang nantinya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Hal ini mengajarkan pentingnya kesadaran akan pengawasan Tuhan dalam segala tindakan.
Ali Ash-Shabuni dalam tafsirnya menjelaskan bahwa QS. Qaf ayat 18 menegaskan bahwa setiap perkataan dan perbuatan manusia tidak ada yang lepas dari pengawasan Allah. Bahkan, gerakan fisik seperti gerakan jari pun dicatat oleh malaikat yang ditugaskan untuk itu. Ayat ini menegaskan bahwa Tuhan mengetahui setiap hal yang dilakukan oleh hamba-Nya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Dalam konteks ini, Allah memperlihatkan bagaimana kebebasan manusia tidak menghilangkan fakta bahwa mereka tetap diawasi oleh Allah. Hal ini menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kehati-hatian dalam setiap tindakan dan perkataan.
Pendidikan dan Pembelajaran Terkini
Penafsiran al-Maraghi dan Ali Ash-Shabuni terhadap QS. Qaf ayat 18 relevan dengan perkembangan tren pendidikan dan pembelajaran terkini, terutama dalam konteks pembelajaran berbasis teknologi dan etika digital. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang pesat, pembelajaran kini melibatkan penggunaan berbagai perangkat digital, yang secara tidak langsung mengingatkan pada pengawasan dan pencatatan amal perbuatan dalam ayat tersebut. Hal ini menjadi refleksi bagi pendidik dan peserta didik untuk selalu menyadari bahwa segala tindakan dan interaksi di dunia maya, baik itu dalam bentuk komunikasi maupun aktivitas lainnya, tetap terpantau dan tercatat, seperti halnya dalam pengawasan malaikat.
Dengan demikian, para pendidik dapat menanamkan nilai-nilai tanggung jawab dan etika dalam penggunaan teknologi. Dalam pembelajaran berbasis daring atau digital, kesadaran bahwa setiap perilaku tercatat dapat membantu peserta didik untuk bertindak lebih bijaksana dan bertanggungjawab. Pembelajaran yang berbasis pada pengawasan ini juga mendorong penerapan konsep pendidikan karakter yang menekankan pada tanggung jawab, kesadaran diri, dan etika dalam segala aspek kehidupan, baik di dunia nyata maupun dunia maya.
Epilog
Pesan dalam ayat 19 Surah Qaf mengingatkan kita bahwa kematian adalah kenyataan yang tidak bisa dielakkan, yang mengajak kita untuk menerima dan mempersiapkan diri menghadapinya. Dalam konteks pendidikan dan pendidkan, penerimaan terhadap kenyataan ini seharusnya menjadi bagian integral dalam kurikulum, yang mengajarkan siswa untuk menghadapi segala tantangan hidup, bukan hanya teori-teori yang idealis. Pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai ketangguhan, penerimaan, dan kesiapan menghadapi segala kemungkinan adalah pendidikan yang relevan dengan perkembangan zaman dan esensi kehidupan. Seperti halnya kematian yang datang dengan pasti, pendidikan dan pembelajaran juga harus mampu mempersiapkan individu untuk menghadapi setiap kenyataan yang ada
0 komentar