BLANTERORBITv102

    PEMBELAJARAN HOLISTIK (Q.S. QAF: 15)

    Minggu, 23 Februari 2025

    Penulis: Prof. Dr. H. Muhammad Yusuf, S.Ag., M.Pd.I.

    Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Alauddin Makassar

    Prolog

    Perkembangan teori-teori pendidikan terus mengalami transformasi seiring dengan kemajuan zaman. Dalam dekade-dekade terakhir, dunia pendidikan global semakin memperkenalkan konsep-konsep baru yang menyesuaikan diri dengan tantangan revolusi teknologi dan globalisasi. Berbagai teori pendidikan mulai dari konstruktivisme, pragmatisme, hingga teori-teori berbasis kecerdasan buatan, semuanya berfokus pada pembentukan individu yang adaptif dan kritis terhadap dunia yang terus berubah. Namun, dalam pandangan yang lebih luas, perubahan ini bukan hanya sekadar pengembangan teori, tetapi juga refleksi dari bagaimana manusia memandang eksistensinya, termasuk proses penciptaan dan transformasi yang terjadi dalam diri setiap individu.

    Dalam konteks ini, ayat 15 dalam Surah Qaf mengingatkan kita tentang siklus penciptaan yang berulang, yang tampaknya tak pernah berakhir. Ayat tersebut menyatakan, “Maka apakah Kami letih dengan penciptaan yang pertama? Sebenarnya mereka dalam keadaan ragu-ragu tentang penciptaan yang baru” (QS. Qaf: 15). Ayat ini mengajukan pertanyaan kritis mengenai ketidakpastian manusia dalam menerima perubahan atau pembaruan dalam hidupnya. Dalam hal ini, teori-teori pendidikan yang berkembang bisa dianggap sebagai penciptaan baru yang terus-menerus, meskipun banyak yang masih meragukan esensi dan dampaknya. Seperti halnya penciptaan pertama yang tidak mengurangi kuasa Tuhan, begitu pula pembaruan dalam pendidikan yang harus dilihat sebagai bagian dari suatu proses alami menuju kesempurnaan.

    Analisis Penggunaan Bahasa

    أَفَعَيِينَا بِٱلْخَلْقِ ٱلْأَوَّلِ ۚ بَلْ هُمْ فِى لَبْسٍ مِّنْ خَلْقٍ جَدِيدٍ

    Terjemahnya:  "Maka apakah Kami letih dengan penciptaan yang pertama? Sebenarnya mereka dalam keadaan ragu-ragu tentang penciptaan yang baru" (15)

    Dalam Q.S. Qaf: 15, terdapat dua klausa utama: "أَفَعَيِينَا بِٱلْخَلْقِ ٱلْأَوَّلِ" (Apakah Kami letih dengan penciptaan yang pertama?) dan "بَلْ هُمْ فِى لَبْسٍ مِّنْ خَلْقٍ جَدِيدٍ" (Sebenarnya mereka dalam keadaan ragu-ragu tentang penciptaan yang baru). Struktur kalimat ini mengandung perbandingan antara penciptaan pertama dan penciptaan kedua. Pertanyaan dalam klausa pertama mengandung makna retoris, yang berfungsi menegaskan bahwa penciptaan yang pertama tidak menimbulkan keletihan bagi Tuhan. Klausa kedua menunjukkan keraguan manusia mengenai kemampuan Tuhan untuk menciptakan kembali. Penggunaan "بل" (sebenarnya) berfungsi sebagai penegasan, yang menegaskan bahwa keraguan manusia lebih bersifat internal.

    Kalimat pada ayat ini menggunakan bentuk pertanyaan yang mengandung makna menegaskan (istifham inkari) yang bukan untuk mencari jawaban, tetapi untuk mengungkapkan keheranan dan menanggapi keraguan manusia terhadap kekuasaan Tuhan. "أَفَعَيِينَا" menunjukkan penggunaan kata kerja dalam bentuk tanya yang mengandung konotasi penolakan terhadap dugaan manusia bahwa penciptaan itu melelahkan bagi Tuhan. Selain itu, penggunaan kata "لبس" yang berarti kebingungan atau keraguan, menambah kesan bahwa manusia tidak mampu memahami kebesaran Tuhan dan penciptaan-Nya yang tidak terbatas.

    Ayat ini mengandung dua dimensi makna. Pertama, "أَفَعَيِينَا" menandakan penolakan terhadap anggapan bahwa Tuhan merasa lelah atau kesulitan dalam menciptakan alam semesta pertama kali. Penciptaan adalah tindakan yang tidak memberatkan bagi-Nya, mengindikasikan kekuasaan dan kesempurnaan Tuhan yang tidak terhingga. Kedua, "لبس" mengindikasikan kebingungan atau keraguan manusia terhadap kemungkinan penciptaan kembali setelah mati. Hal ini menggambarkan keterbatasan pemahaman manusia yang sering kali terhambat oleh keraguan dan ketidakmampuan dalam memahami proses ilahi yang sempurna dan tidak terbatas oleh waktu.

    Dalam analisis semiotika, ayat ini memanfaatkan dua simbol utama: "أَفَعَيِينَا" dan "لبس". "أَفَعَيِينَا" sebagai simbol retoris mengekspresikan kesempurnaan Tuhan yang tidak terpengaruh oleh konsep lelah atau kesulitan, yang menantang pandangan manusia yang terbatas. Sementara itu, "لبس" sebagai simbol keraguan, mencerminkan keadaan manusia yang sering kali terjebak dalam kebingungan, tidak dapat memahami kekuasaan Tuhan yang mutlak. Dengan menggunakan dua simbol ini, ayat ini mengomunikasikan pesan tentang ketidakmampuan manusia dalam memahami kekuasaan Tuhan, serta pentingnya keyakinan dan kepasrahan terhadap kebesaran-Nya yang tidak terbatas.

    Keterangan Ulama Tafsir

    Menurut Mutawalli Sya'rawi, ayat ini menjelaskan sikap orang-orang yang tidak beriman terhadap kekuasaan Allah, khususnya mengenai kebangkitan setelah mati. Mereka mempertanyakan apakah Allah merasa letih dengan penciptaan pertama, yang menunjukkan penolakan mereka terhadap kebangkitan dan kehidupan setelah mati. Sebagai respons, Allah menegaskan bahwa penciptaan pertama adalah sesuatu yang mudah bagi-Nya dan tidak ada keletihan dalam hal tersebut. Sebaliknya, orang-orang yang ragu tentang penciptaan baru ini menunjukkan ketidaktahuan dan keraguan mereka terhadap kemampuan Allah yang Maha Kuasa.

    Dalam tafsirnya, Sya'rawi menekankan bahwa penciptaan pertama adalah bukti kekuasaan Allah yang luar biasa. Mengapa mereka meragukan kebangkitan setelah mati, padahal mereka sudah menyaksikan penciptaan pertama yang begitu sempurna dan luar biasa? Hal ini menunjukkan kurangnya pemahaman mereka tentang prinsip dasar keyakinan akan kekuasaan Tuhan, yang semestinya tidak terbatas hanya pada penciptaan awal, tetapi juga pada penciptaan kembali kehidupan setelah kematian.

    Ash-Shabuni, dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa ayat ini merujuk pada kebingungan dan keraguan orang-orang yang tidak percaya terhadap kehidupan setelah mati. Ayat ini mengingatkan mereka bahwa penciptaan pertama, yaitu penciptaan alam semesta dan segala isinya, adalah tindakan yang tidak sulit bagi Allah. Oleh karena itu, kebangkitan manusia setelah mati, yang juga merupakan bagian dari kekuasaan-Nya, tidak seharusnya dipertanyakan.

    Ash-Shabuni menganggap bahwa ayat ini juga mengandung pesan agar umat manusia tidak terburu-buru meragukan kemampuan Allah dalam menciptakan kehidupan baru, karena penciptaan pertama saja sudah menunjukkan kebesaran Allah yang Maha Kuasa. Keraguan tersebut timbul karena ketidaktahuan mereka terhadap kebesaran Tuhan, yang hanya dapat dipahami dengan keyakinan yang kuat.

    Penciptaan yang disebutkan dalam ayat ini bisa dihubungkan dengan pendidikan terkini yang semakin menekankan pentingnya pengembangan potensi manusia melalui ilmu pengetahuan. Di dunia pendidikan, salah satu tantangan terbesar adalah membuka pemahaman siswa mengenai eksistensi dan makna kehidupan serta penciptaan itu sendiri. Dalam konteks ini, penafsiran ayat ini mengajarkan pentingnya berpikir kritis dan mendalam mengenai asal-usul kehidupan dan bagaimana manusia sebagai ciptaan Tuhan memiliki kemampuan untuk berkembang dan berubah.

    Di tengah perkembangan pendidikan yang semakin fokus pada pengembangan karakter, kreativitas, dan pemahaman spiritual, ayat ini mengingatkan kita untuk tidak terbatas pada dunia fisik dan materi semata. Pendidikan perlu menanamkan keyakinan bahwa penciptaan dan perubahan tidak terbatas pada alam yang tampak saja, melainkan ada dimensi rohani yang mengingatkan kita tentang kebesaran Allah.

    Dalam tren pendidikan yang memprioritaskan pembelajaran holistik—menggabungkan ilmu pengetahuan, teknologi, moralitas, dan spiritualitas—ayat ini relevan sebagai pengingat bahwa setiap aspek kehidupan dan penciptaan yang baru adalah bagian dari kebesaran Allah yang patut dipahami dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

    Epilog

    Sebagai penutup, perkembangan teori-teori pendidikan yang terus berubah menunjukkan bahwa proses penciptaan yang berkelanjutan ini adalah hal yang alami dan tak terhindarkan. Ayat dalam Qaf yang menyatakan keraguan manusia terhadap penciptaan baru, seharusnya menjadi refleksi kita untuk lebih terbuka terhadap perubahan yang terjadi di dunia pendidikan. Pendidikan adalah alat untuk membentuk generasi yang siap menghadapi tantangan masa depan. Dengan memanfaatkan pembaruan dalam teori pendidikan, kita bisa memandu individu untuk lebih siap menghadapi tantangan dan meraih potensi tertinggi mereka, sebagaimana alam semesta yang terus berubah namun tetap berada dalam kendali Tuhan.