Penulis: Muhammad Yusuf
Dalam Ibadah ada Tatakrama
Dalam setiap ibadah ada aturan teknis dan nilai etis. Memberikan sesuatu mestinya tidak hanya melibatkan fisik, melainkan juga jiwa. Fisik memberi materi, sedangkan batin menyertai ketulusan. Itu sebabnya, ulama sepakat menempatkan niat sebagai rukun pertama dalam setiap ibadah. Ulama tasawuf kemudian menjelaskan, niat yang diterima hanya niat yang ikhlas, lahir dari jiwa.
Syekh Ali Thanthawi ulama dan penulis terkenal Suriah di suatu pagi melihat putrinya membawa sebuah piring berisikan nasi, kacang polong, ditambah beberapa potongan terong dan timun serta biji-bijian yang ia letakkan di sebuah baki tembaga. Selanjutnya terjadi tanya jawab antara beliau dan putrinya.
Syekh: Makanan itu untuk siapa?
Putri: ini untuk sekuriti. Nenek yang menyuruh saya.
Syekh: Jangan seperti itu. Ambil beberapa piring lalu letakkan nasi dan tiap lauk secara terpisah, kamu atur di baki. Letakkan juga segelas air serta sendok dan pisau.
Sang putri menuruti instruksi ayahnya. Dan, setelah menyampaikan hidangan ke sekuriti, sang Putri kembali dan bertanya ke ayahnya.
Putri: Ayah, kenapa tadi harus seperti itu?
Syekh: Hidangan makanan itu adalah bentuk sedekah harta, sedang cara menyajikan dan menyampaikannya adalah sedekah hati. Yang pertama memenuhi kebutuhan perut, sedang yang kedua memenuhi jiwa.
Andai cara pertama yang kamu lakukan, maka sekuriti merasa di posisi peminta-minta dan makanan yang diberikan kepadanya bisa jadi disangkanya sebagai sisa makanan.
Nah, cara yang kedua yang kamu lakukan membuat sekuriti merasa dirinya sebagai kerabat ataupun tamu terhormat.
Inilah perbedaan besar, antara sekadar bersedekah dan bersedekah disertai akhlak. Bersedekah disertai akhlak adalah sebuah perbuatan yang mulia di sisi Allah dan di sisi penerima sedekah. Dalam sedekah ada tata krama dan akhlak.
Ternyata ibadahpun harus dengan akhlak. Sedekah menjadi rusak jika selalu disebut-sebut dan caranya menyakiti penerima sedekah. (QS.2: 264) Salat pun harus dengan akhlak. Nabi SAW mengingatkan seorang Imam ketika memimpin salat agar meringankan salatnya. Artinya bacaan tidak panjang, sujud dan rukuknya pun tidak lama karena boleh jadi di antara makmumnya ada orang tua, orang sakit ataupun orang yang punya hajat.
Bahkan dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW. marah besar kepada Sahabat Muadz bin Jabal karena membaca surah yang panjang sedangkan makmumnya adalah para sahabat yang baru tiba di Madinah dari perjalanan bisnis.
Ibadah dan semua kebaikan akan mulia di sisi Allah jika disertai dengan akhlak dan cara-cara yang baik. Itu menunjukkan, dalam relasi spritual (ibadah) dan relasi sosial (muamalah) ada tata krama dan akhlak.
Ini tentu menjadi catatan penting bagi para imam yang bertugas di masjid yang sering menjadi persinggahan para musafir agar meringankan salat saat memimpin salat berjamaah. Dalam salat berjamaah ada kepekaan dan akhlak.
Begitu pula para khatib di masjid-masjid Bandara atau pelabuhan agar khutbahnya disetting menjadi singkat walaupun tetap wajib memenuhi syarat sah, syarat wajib dan rukun-rukunnya. Dalam khutbah ada kepedulian dan akhlak.
Ilmu & Akhlak
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani berkata: “aku lebih menghargai orang beradab daripada orang berilmu. Jika hanya ilmu, iblis jauh lebih berilmu dari manusia”.
Untuk mendidik umat manusia agar beradab atau berakhlak mulia, sekira 14 abad yang lalu Allah SWT. telah mengutus seorang Rasul yaitu Muhammad SAW. Ia lahir di kota Makkah pada hari senin, 12 Rabiul Awwal tahun gajah atau tepatnya tahun 570 M. Beliau adalah putra dari seorang ayah yang bernama Abdullah bin Abdul Muththalib dan Ibundanya bernama Siti Aminah.
Nabi Muhammad SAW. adalah sosok manusia yang sempurna. Terkumpul padanya semua sifat mulia.
Allah SWT. berfirman,
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung” (Al-Qolam: 4).
Ketika Hisyam bin Amir bertanya kepada Istri beliau Aisyah RA tentang akhlak Rasulullah SAW. Aisyah menjawab ,كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ “Akhlak Nabi SAW adalah Alquran” (HR Muslim).
Sangat tepat jika Allah Mengutus Muhammad SAW. Adalah untuk mendidik umat manusia agar berakhlaq mulia, sebagaimana Rasulullah SAW. telah Bersabda: إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ Artinya: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (HR Al-Baihaqi dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).
Agama Islam melalui Rasul Muhammad SAW. telah mengajarkan adab atau dengan kata lain akhlaq mulia kepada umatnya disegala bidang kehidupan. Alangkah baiknya ketika kita menuntut ilmu pun kita landasi dengan adab atau akhlak yang baik. Dengan demikian ilmu yang kita dapati akan lebih bermanfaat di dunia dan di akhirat.
Sedekah jiwa
Al-Quran menginformasikan bahwa sedekah jiwa (akhlak) kadang lebih baik nilainya daripada sedekah harta yang tidak disertai dengan akhlak yang baik. Q.S. Al-Baqarah Ayat 263:
۞ قَوْلٌ مَّعْرُوْفٌ وَّمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِّنْ صَدَقَةٍ يَّتْبَعُهَآ اَذًى ۗ وَاللّٰهُ غَنِيٌّ حَلِيْمٌ
"Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi tindakan yang menyakiti. Allah Mahakaya, Maha Penyantun".
Ucapan yang baik dan pemberian maaf merupakan bagian dari akhlak mulia. Ini adalah sedekah jiwa yang muncul dari jiwa yang mulia pula.
Relasi Iman dan Akhlak
Kualitas iman tidak dapat dipisahkan dari kualitas akhlak. Hal ini ditemukan dalam hadis-hadis Nabi Saw. Diantaranya:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ، فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ، فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ، فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
"Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. bersabda, "Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam; barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia menghormati tetangganya; barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya."(HR Bukhari Muslim).
Dalam perspektif Islam, akhlak atau adab memiliki kedudukan yang tinggi. Demikian tingginya kedudukan akhlak dalam Islam hingga Nabi SAW. menjadikannya sebagai barometer keimanan. Beliau bersabda: أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Abû Dâwûd dan Tirmidzî).
Dalam Islam, akhlak sangat terkait dengan keimanan dan tidak terpisah darinya. Keterkaitan antara iman dengan akhlak juga terlihat jelas pada pengarahan-pengarahan Nabi SAW. tentang akhlak. Beliau seringkali mengaitkan keimanan kepada Allah dan hari akhir dengan akhlak. Ketika seseorang memiliki orientasi dan cita-cita yang tinggi yaitu ridha Allah maka dengan sendirinya ia akan menganggap rendah apa saja yang bertentangan dengan cita-cita tersebut yaitu seluruh perbuatan atau sifat yang dibenci oleh Allah.
Penutup
Ibadah dalam Islam meliputi ibadah zahir dan ibadah batin. Ibadah zahir ditata menurut aturan teknis dalam fikih. Sedangkan ibadah batin (jiwa) dijelaskan di dalam akidah, akhlak, dan tasawuf. Tanpa ketiganya maka ibadah menjadi gerakan kosong hampa nilai spritual. Namum tatanan teknis (fiqh) merupakan ibadah zahir menentukan sah tidaknya suatu ibadah. Berterima tidaknya diajarkan dalam tasawuf. Fiqh dan tasawuf tidak bisa dipisahkan. Perluas ilmu fiqh dan perdalam tasawuf. Keduanya saling melengkapi. Inti tasawuf sesungguhnya adalah ajaran tentang kemuliaan akhlak.
Dari kisah sebelumnya, Al-Syeikh Ali Tanthowi sedang mengajarkan kepada putrinya tentang kesempurnaan sedekah agar tak hanya bersedekah harta tapi bersedekah jiwa, yaitu akhlak dan tata krama dalam bersedekah. Tentu tidak hanya dalam bersedekah, melainkan pada semua ibadah. Al-Syeikh Abd Qadir al-Jailani pun demikian. Beliau lebih menekankan adab (tata krama) daripada ilmu, sebab kegagalan Iblis bukan karena kebodohannya, melainkan karena keangkuhan dan kesombongannya.
Wallahu a'lam.
0 komentar