Hidup Harus Dinamis
Keadaan yang istiqamah dan bersifat tetap adalah perubahan. Istiqamah dalam Islam bukan berarti melawan perubahan. Justru, manusia mestinya terus berubah dengan mengubah keadaan dan sikapnya menjadi lebih baik. Iman pun mengalami dinamika meningkat dan merosot (al-imanu yazidu wa yanqushu). Manusia diperintahkan untuk memperbarui imannya dengan memperbanyak wirid "la ilaha illallah".
Berubah Menjadi Lebih Baik
Hidup seseorang atau masyarakat dan bangsa harus secara terus-menerus berubah menjadi lebih baik. Kualitas hidup harus harus diupayakan untuk menunjukkan perubahan yang lebih baik. Dalam berkhutbah jumat misalnya, seorang khatib mengajak para jamaah untuk meningkatkan takwa kepada Allah. Bahkan sebagai ulama wasiat takwa termasuk salah satu rukun khutbah. Dalam suatu riwayat diterangkan.
مَنۡ كَانَ يَوۡمُهُ خَيۡرًا مِنۡ اَمۡسِهِ فَهُوَ رَابِحُ. وَمَنۡ كَانَ يَوۡمُهُ مثل اَمۡسه فهو مَغۡبُون. ومَن كان يومه شَرًّا مِنۡ امسه فهو مَلۡعُون
“Barangsiapa yang harinya sekarang lebih baik daripada kemarin maka dia termasuk orang yang beruntung. Barangsiapa yang harinya sama dengan kemarin maka dia adalah orang yang merugi. Barangsiapa yang harinya sekarang lebih jelek daripada harinya kemarin maka dia terlaknat.”
Hadis diatas sudah tak asing lagi bagi kebanyakan orang. Di beberapa forum kajian, para guru atau penceramah menyampaikan hadis tersebut. Diantara tujuan disampaikannya hadis Nabi itu ialah sebagai motivasi untuk kita semua, bahwa hari yang akan datang harus lebih baik dari hari yang telah lalu. Bukan malah bertambah buruk.
Namun, bagaimana dengan kualitas hadis tersebut? Karena jarang penceramah yang menyebutkan derajatnya. Pertanyaan pun timbul mengenai keshahihan hadis ‘Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin’.
Ada beberapa ulama yang meriwayatkan hadits tersebut, diantaranya ialah: Abu Nu’aim Al Ashbahani, Al-Harits bin Abdillah Al A’war, Abu Bakar Al Qurasyi, Al Baihaqi. Dari para periwayat yang ada, sungguh masih terdapat keraguan di dalamnya. Tampak kecacatan ataupun kelemahan sanad-sanad dari hadits ini.
Hal itu ditandai seperti periwayat yang dikenal sebagai pendusta, atau bahkan periwayat yang tidak diketahui identitasnya. Lemahnya sanad hadits inilah yang kemudian menjadikan riwayat yang dha’if (lemah). Apalagi ada yang mengatakan bahwa itu bukanlah hadis.
Tak Peduli Sanad, yang Penting Pesannya
Kebanyakan khatib atau penceramah tidak menyebutkan derajat hadits ini. Oleh karena itu mari kita coba meneliti beberapa riwayat dari hadits ini.
Abu Nu’aim Al-Ashbahani meriwayatkan di dalam kitab Hilyatul Auliya dari jalan Ibrahim bin Adham, dia berkata: telah sampai kabar kepadaku bahwa Al Hasan Al Bashri bermimpi bertemu Nabi صلى الله عليه وسلم. Dia berkata: “Wahai Rasulullah, berilah aku nasehat.” Lalu Rasulullah menyebutkan hadits yang mirip dengan hadis di atas.
Ada yang menakar, sanad hadis ini lemah karena sanad antara Ibrahim bin Adham dan Al Hasan Al Bashri terputus karena Ibrahim menggunakan lafazh “telah sampai kabar kepadaku” (balaghani). Bentuk kalimat seperti ini tidak memberi faidah ittishal (bersambung sanad) sampai diketahui siapa yang mengabarkan kisah ini kepada Ibrahim.
Diriwayatkan di dalam kitab Musnad Al Firdaus, dari jalan Muhammad bin Sauqah dari Al Harist bin Abdillah Al A’war dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم).
Sanad riwayat ini sangat lemah karena Al Harits bin Abdillah Al A’war adalah seorang pendusta.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ad Dailami sebagaimana disebutkan oleh As Sakhawi di dalam kitabnya Al-Maqashidul Hasanah. Di sana beliau juga menerangkan tentang kelemahan hadis riwayat Ali bin Abi Thalib ini.
Abu Bakar Al Qurasyi meriwayatkan di dalam kitab Al Manamat Al Hasan bin Musa Al Khurasani dari seorang syekh dari Bani Sulaim, dia berkata: “Saya bermimpi bertemu Rasulullah. Lalu saya berkata: ‘Wahai Rasulullah bagaimana kabar anda?’ Nabi menjawab: ‘Saya akan memberimu sebuah hadits.’ Saya katakan: ‘Sampaikanlah hadits itu kepada saya.’ Lalu Nabi menyampaikan hadis di atas.
Sanad hadis ini lemah karena identitas syekh Bani Sulaim itu tidak diketahui (majhul) sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
Hadits ini juga disebutkan oleh Al Ghazali di Ihya ‘Ulumuddin dari Abdul Aziz bin Rawwad. Dia berkata: “Saya bermimpi bertemu Rasulullah. Saya berkata: ‘Wahai Rasulullah, berilah wasiat kepadaku.’
Al Hafizh Al ‘Iraqi di dalam takhrijnya terhadap Ihya ‘Ulumuddin berkata: “Saya tidak mengetahui hadis ini kecuali dari kisah mimpinya Abdul Aziz bin Rawwad, … dst … Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi di dalam kitab Az Zuhd.
Dari beberapa jalan riwayat hadits ini tampak bagi kita akan kelemahan sanad-sanad hadis ini. Selain itu, kisah-kisah ini merupakan mimpi tidur, bukan berupa hadis yang diucapkan langsung oleh Nabi saat beliau masih hidup. Oleh karena itu tidak boleh dikatakan ucapan di atas sebagai sebuah hadis Nabi صلى الله عليه وسلم.
Lantas, bagaimana kita menyikapi hadis yang demikian? .... Walaupun dikategorikan sebagai hadis dha’if, tidak ada salahnya untuk mengambil hal positif yang terkandung di dalamnya. Selama tidak ada yang mengharamkannya, dan selama tidak bertentangan dengan dalil shahih lain, maka itu boleh.
Karena maknanya yang tidak bertentangannAl-Quran dan hadis-hadis yang sahih maka posisi hadis ini dapat menjadi hujjah, apalagi tidak berkaitan khusus dengan aspek teknik ibadah maka dapat dijadikan dalil.
Merenungkan Satu Status
Saya membaca satu status -yang menurut saya - patut direnungkan. Status tersebut sebagai berikut:
----------------------------------------------------
*DULU......? & SEKARANG.....?*
1. *Dulu cuci Tangan* untuk Makan, sekarang di mana-mana di suruh cuci tangan tetapi tidak dikasih makan....
( Dunia sudah terbalik )
2. Dulu kata *"NEGATIF"* tidak Bagus, sekarang kata *"POSITIF"* tidak Ki. ( Dunia sedang Galau )
3. *Dulu Bersatu kita Teguh* . Sekarang berkumpul kita Runtuh. ( Dunia sudah lain )
4. *Dulu ada Tamu* senang karena dianggap bawa Berkah. Sekarang ada tamu dianggap bawa Penyakit. ( Dunia Sudah Payah )
5. *Dulu kalau ketemu Jabat tangan*. Sekarang ketemu angkat kaki ( cepat pergi ). ( Dunia sedang sakit )
6. *Dulu Parfum yang kita bawa di tas*, sekarang Hand sanitizer spray yang dibawa ( Dunia sedang dilanda ketakutan )
7. *Dulu Senyum yang dibagikan*, sekarang Masker yang dibagikan.( Dunia dilanda kesulitan )
8. *Dulu kalau orang Bersin bilang* Alhamdulillah, Umur panjang. Sekarang orang bersin....., dianggap sedang Sakit dan membawa Malapetaka ( Dunia sedang terguncang ).
9. *Dulu pulang membesuk Orang Tua membawa* Kebahagiaan. Sekarang membesuk orang tua disangka membawa Penderitaan. ( Dunia Sudah Aneh )
10. *Dulu IMAN* yang harus kuat, sekarang IMUN yang jadi Fokus. ( Dunia sedang waspada )
*DUNIA SUDAH BERUBAH & GENTING......!!!!*
😭😭😇😇😭😭
Tiada yang Abadi dalam hidup ini.....??🙏🙏
---------------------------------------------------
Dunia sudah berubah. Dunia berubah itu pasti terjadi. Dunia yang ada sekarang dihuni dan dikelola oleh generasi sekarang. Leluhur kita telah tiada dan berpindah ke alam lain. Setiap saat ada yang meninggal dan ada yang lahir. Jika demikian, dunia memang harus berubah.
Tak perlu risau dengan perubahan. Yang perlu dirisaukan adalah apabila cara pandang dan sikap kita terhadap perubahan itu tidak tepat. Hal itu harus dimulai dari perubahan pada diri sendiri. "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka berupaya mengubah keadaan yang ada pada diri mereka (sendiri) [Q.S. ar-Ra'du/13:11].
Dalam dunia teknologi umpamanya, juga terjadi dengan nyata. Alat teknologi informasi dan komunikasi pun terjadi. Setiap saat muncul teknologi paling mutakhir. Bagi manusia moderen yang konsumtif akan bingung ikut arus yang begitu cepat.
Tak hanya dalam teknologi saja. Dalam dunia ilmu pengetahuan (sciences) pun tak dapat di halau. Bahkan menentukan dinamika pada.aspek-aspek yang lain. Teori yang dahulu pernah berjaya, beberapa diantaranya telah tumbang terbantahkan oleh fakta dan teori baru yang relevan dan lebih bermaslahat.
Jauh sebelum itu kita bincangkan, Imam Syafi'i telah membuat kaidah berpikir dan bersikap untuk umat Islam khususnya dan manusia pada umumnya. Yaitu, "memelihara hal-hal (pikiran) lama yang masih relevan dan mengadaptasi hal-hal perkembangan terbaru yang lebih relevan". Itu menunjukkan bahwa Imam Syafi'i mempunyai pola berpikir monumental yang layak diwarisi untuk.menyikapi secara tepat setiap dinamika. Dalam setiap ruang, waktu, dan keadaan adal rumusan hukum berpikirnya sendiri-sendiri.
Biarkan dunia terus berubah hingga mencapai puncak perubahannya, yakni terjadinya kehancuran. Yang terpenting sikap, iman, takwa, dan amal saleh tidak ikut hancur. Tak perlu khawatir di mana dan kapan tapal batas perjalanan hidup kita akan berakhir di mana. Yang terpenting akhirnya husnul khatimah dan diridhai oleh Allah.
Mengeluh karena pandemi covid-19 itu pasti terjadi, karena itu perubahan secara global. Memang berat. Tapi, harus dicamkan bahwa kita tidak sendirian. Ada jutaan orang yang mengalami seperti yang kita alami. Bahkan, bisa jadi lebih berat. Kehilangan keluarga secara massal.
Begitu pula, mengeluh karena giliran berhajji dan berumrah terpaksa harus tertunda. Namun, harus diingat, hajji hanya wajib bagi muslim/muslimah yang mampu. Termasuk harus mampu memastikan tidak adanya bahaya yang lebih besar (aman dari berbagai ancaman). Menjaga keselamatan jiwa adalah tujuan pokok agama (daruriy)
Mencegah mudharat mesti diprioritaskan ketimbang mengambil maslahat. Itulah prinsip dasar dalam mengistimbath hukum Islam. Lagi pula Allah tidak memikulkan beban melainkan sesuai kemampuan saja. Sikap kita yang tepat terhadap keadaan itu lebih utama daripada semangat maslahat tanpa landasan yang jelas.
Penutup
Kita tidak perlu alergi dengan perubahan. Sebab, perubahan adalah sesuatu tetap. Perubahan adalah sunnatullah, manusia tidak mungkin menghalanginya. Justru, umat Islam mestinya memimpin dan memandu gerak perubahan setiap saat, bukan mengekor sehingga tenggelam atau hanyut oleh derasnya arus perubahan. Semoga Allah senantiasa menuntun kita pada sikap yang tepat dan diridhai atas segala dinamika yang terjadi.
Ada pihak yang berkata, "lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan". Saya ingin berkata, " kita tidak harus mengkhawatirkan soal ujian, tetapi yang dapat dilakukan mempersiapkan jawabannya secara tepat. Hanyalah orang-orang melewati ujian level berat yang dapat naik kelas tinggi".
Wallahu A'lam.
0 komentar