BLANTERORBITv102

    PENDIDIKAN : URGENSI ADAB & ILMU BAGI PENUNTUT ILMU

    Selasa, 08 Juni 2021

    Penulis: Muhamad Yusuf

    Pengalaman

    Saya masuk ke pendidikan formal di SDN No. 258 Gattareng sejak 1982. Kala itu saya memandang guru SD merupakan sosok terhormat. Para orang tua murid pun menghargai profesi guru. Meskipun saat itu, banyak guru yang masih berjalan kaki pergi ke dan pulang dari sekolah. Atau, menunggu mobil angkatan umum (pete-pete). Ada pula guru yang harus bertani untuk mencukupi kebutuhan diri dan anggota keluarganya. 

    Tak jarang di musim tanam dan panen, guru meminta tolong kepada murid-muridnya untuk membantu menanam atau memanen. Para orang tua murid pun mengetahui hal itu, dan tidak ada orang tua yang keberatan dengan hal tersebut. Saya merasakan hal itu sebagai bentuk interaksi edukatif dalam bentuk yang lain yang terjadi di luar ruang kelas yang terbatas.

    Saya mengingat nasehat bijak guru-guru dan para orang tua di masa lalu "namo coppo bolana gurutta dicacca madoraka moki". Maknanya, meski bentuk puncak rumahnya guru dicela, tetap kita berdosa". Bayangkan jika yang dicela adalah gurunya, hati gurunya yang disakiti maka itu tentu dosa besar. Hari ini, terlalu banyak guru merasakan sebuah dilema dalam menghadapi penanganan pendidikan. Guru tak jarang harus masuk penjara karena laporan murid atau orang tua murid yang melaporkannya ke ranah hukum.

    Namun, di balik kisah pilu itu, berikut adalah kisah yang patut direnungkan. Ketika nilai dan adab itu menjadi perioritas dalam mendidik maka kehormatan dan sopan santun pun diperoleh. Jika waktu harus dibagi dua untuk mengajarkan adab dan ilmu, manakah yang harus menggunakan waktu lebih lama? Waktu mengajarkan adab atau waktu untuk mengajarkan ilmu?

    Urgensi Adab & Akhlak

    Problem terbesar pendidikan kita di abad 21 adalah krisis moral dan akhlak. Tata krama dan sopan santun seolah disingkirkan. Akibatnya kemajuan ilmuan pengetahuan dan teknologi tidak berbanding lurus dengan akhlak dan adab para ilmuwan. Akhlak dipertanyakan, namun keberadaannya sangat dibutuhkan. 

    Nabi Muhammad Saw. diutus membenahi masalah ini, yaitu membenahi dan menyempurnakan akhlak mulia. Dalam satu hadis yang diriwayatkan Imam Abu Daud, Nabi Muhammad Saw. pernah bersabda bahwa orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.

    Islam sangat menekankan akhlak karena baginda Nabi صلى الله عليه وسلم tidaklah diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak manusia dan menjadi uswatun hasanah (teladan yang baik). Bahkan Nabi menegaskan dalam sabdanya, bahwa yang paling banyak memasukkan ke surga adalah takwa kepada Allah dan akhlak mulia.

    Begitu berharganya akhlak dan adab sehingga umat Islam diperintahkan untuk memuliakan akhlak dan adab. Akhlak mulia merupakan cerminan keimanan seseorang.

    Dai yang juga Pakar Sejarah Islam Ustaz Budi Ashari menerangkan, akhlak dan keteladanan kepada seorang guru adalah sesuatu yang bukan merupakan pilihan, tetapi adalah keharusan. Seorang guru adalah seorang yang menjadi teladan bagi siapapun anak didiknya.

    "Keteladanan itu sesuatu yang dipelajari oleh murid sebelum dia mempelajari ilmunya. Adab akhlak itu sangat luar biasa," kata Ustaz Budi Ashari dalam satu tausiyahnya.

    Ibnul Mubarok berkata:

    تعلمنا الأدب ثلاثين عاماً، وتعلمنا العلم عشرين

    "Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun."

    Masya Allah. Beliau dari para gurunya belajar keteladanan mereka, meniru mereka, mempelajari akhlak mereka 30 tahun lamanya belajar itu. Dan belajar ilmu hanya 20 tahun, lebih sedikit.

    Imam Ibnu Jauzi dalam Shifatush Shafwah juga menyampaikan pernyataan Abdullah bin Mubarak yang lainnya bahwa adab itu dua pertiga ilmu. Kalau seseorang ingin mendapatkan ilmu yang bermanfaat, ilmu yang banyak, dan melimpah, maka belajarlah adab sebelum ilmu.

    "Maka berdirilah untuk guru berikan kepada mereka kemuliaan karena nyaris saja guru menjadi seperti Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam," ajak Ustaz Budi.

    Sebuah Kisah: Hakim Mencium Tangan Terdakwa 

    Hakim itu mengejutkan semua orang di ruang sidang. Ia meninggalkan tempat duduknya lalu turun untuk mencium tangan terdakwa. Peristiwa itu terjadi di Jordania.

    Terdakwa yang seorang guru SD itu juga terkejut dengan tindakan hakim. Namun sebelum berlarut-larut keterkejutan itu, sang hakim mengatakan, “Inilah hukuman yang kuberikan kepadamu, Guru.”

    Rupanya, terdakwa itu adalah gurunya sewaktu SD dan hingga kini ia masih mengajar di SD. Ia menjadi terdakwa setelah dilaporkan oleh salah seorang wali murid, gara-gara ia memukul salah seorang siswanya. Ia tak lagi mengenali muridnya itu, namun sang hakim tahu persis bahwa pria tua yang duduk di kursi pesakitan itu adalah gurunya.

    Hakim yang dulu menjadi murid dari guru tersebut mengerti benar, pukulan dari guru itu bukanlah kekerasan. Pukulan itu tidak menyebabkan sakit dan tidak melukai. Hanya sebuah pukulan ringan untuk membuat murid-murid mengerti akhlak dan menjadi lebih disiplin. Pukulan seperti itulah yang mengantarnya menjadi hakim seperti sekarang.

    Peristiwa yang terjadi di Jordania pada beberapa waktu yang lalu dan dimuat di salah satu surat kabar Malaysia ini sesungguhnya merupakan pelajaran berharga bagi kita semua sebagai orang tua. Meskipun saya tidak tahu persis kejadiannya secara detil, tetapi ada hikmah yang bisa kita petik bersama.

    Dulu, saat kita “nakal” atau tidak disiplin, guru biasa menghukum kita. Bahkan mungkin pernah memukul kita. Saat kita mengadu kepada orang tua, mereka lalu menasehati agar kita berubah. Hampir tidak ada orang tua yang menyalahkan guru karena mereka percaya, itu adalah bagian dari proses pendidikan yang harus kita jalani. Buahnya, kita menjadi mengerti sopan santun, memahami adab, menjadi lebih disiplin. Kita tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang hormat kepada guru dan orang tua.

    Lalu saat kita menjadi orang tua di zaman sekarang, tak sedikit berita orang tua melaporkan guru karena telah mencubit atau menghukum anaknya di sekolah. Hingga menjadi sebuah fenomena, seperti dirilis di Kabar Sumatera, guru-guru terkesan membiarkan siswanya. Fungsi mereka tinggal mengajar saja; menyampaikan pelajaran, selesai.

    Bukannya tidak mau mendidik muridnya lebih baik, mereka takut dilaporkan oleh orang tua murid seperti yang dialami teman-temannya. Sudah beberapa guru di Sumatera Selatan dan seorang guru di sebuah pesantren ternama dilaporkan orang tua murid (wali santri) hingga harus berurusan dengan polisi. Termasuk yang terjadi terhadap Bapak alm. seorang guru senior di.Sulsesl, gara-gara mendisiplinkan santri dengan sedikit kekerasan. Akibatnya ia harus berurusan dengan polisi. Bahkan menjadi tahanan yang sempat mendekam di balik jeruji besi beberapa malam.

    Itulah fakta yang dialami oleh sebagian guru hari ini. Saya membayangkan kalau guru mogok mengajar. Semoga tidak. Sebab, apa jadinya jika guru tidak ada lagi? Semoga guru yang mendidik dan mengajar tetap selalu ada. 

    Harapan

    Semoga tulisan ini, bagi kita para orang tua atau wali murid, bisa membangun pola hubungan yang lebih baik dengan guru. Begitu pula para guru. Kita bersinergi untuk menyiapkan sebuah generasi masa depan yang berakhlak mulia dan berilmu. Bukan hubungan atas dasar transaksi yang rentan lapor-melaporkan. Jika guru sudah tidak kedengaran nasehatnya, apa jadinya masa depan generasi. Para guru, tetaplah menjadi pendidik, model dan teladan untuk para murid. Sabar membekali akhlak dan ilmu untuk anak-anak. Semoga guru tetap menjadi teladan bagi generasi.