BLANTERORBITv102

    AKIBAT TERJEBAK SEKULARISME & DIKOTOMI ILMU DARI AGAMA

    Rabu, 30 Juni 2021

     Penulis: Muhamad Yusuf

    A. Mengapa saya harus tanggapi?

    Beberapa saat yang lalu saya mendapatkan postingan berikut ini. Kemarin kembali saya menemukan. Karena ini memang bisa menyentuh semangat dan girah spritualitas kita (mungkin) maka perlu saya menanggapi walaupun belum klarifikasi apakah betul ditulis oleh pemilik status ini, atau oleh pihak lain. 

    Ketika membaca status ini, seolah seluruh prestasi dan capaian kita menjadi tidak berarti apa-apa. Bahkan, seolah ini adalah upaya untuk keluar dari jebakan popularitas dan prestasi. Namun, bisa pula sebagai pembenaran untuk lari dari duniawi dan fokus pada persiapan akhirat. 

    _____________________________

    B. Kisah: Suatu Renungan

    ****SEORANG SARJANA S3, SUDAH JADI DOKTOR ATAU PROFESOR, DIA RELA MENINGGALKAN PEKERJAAN DUNIANYA, HANYA DEMI MONDOK UNTUK MEPELAJARI AL-QUR'AN DAN MENGHAFALKAN AL-QUR'AN 30 JUZ.*

    *PADAHAL GAJI NYA BESAR*

    *DAN UMURNYA JUGA SUDAH LUMAYAN TUA, TAPI MASIH MAU BELAJAR MENDALAMI AL-QUR'AN.*

    *BELIAU MEMILIH UNTUK MONDOK BELAJAR AL-QUR'AN SEBAGAI PERSIAPAN MENGHADAP ALLAH NANTI.*

    *Tulisan Rektor ITS, Prof Joni Hermana di wall FB nya*

    Coba simak kutipan inspiratif di bawah ini yang menggugah.

    Dulu di kala aku kecil, aku selalu mendapat peringkat 1 baik di tingkat SD, SMP, maupun SMA.

    Semua merasa senang, ibu & ayah pun selalu memelukku dengan bangga. Keluarga sangat senang melihat anaknya pintar & berprestasi.

    Aku masuk perguruan tinggi ternama pun, tanpa embel2 test.

    Orang tua & teman2ku merasa bangga terhadap diriku.

    Tatkala aku kuliah *IPK ku selalu 4 & lulus dengan predikat cum laude*.

    Semua bahagia, para Rektor menyalami ku & merasa bangga memiliki mahasiswa seperti diriku, jangan ditanya tentang orang tua ku, tentunya mereka orang yang paling bangga; bangga melihat anaknya lulus dengan predikat cum laude. Teman2 seperjuangan ku pun gembira. Semua wajah memancarkan kebahagiaan.

    Lulus dari perguruan tinggi aku bekerja di sebuah perusahaan *Bonafit. Karirku sangat melejit & gajiku sangat besar*.

    Semua pun merasa bangga dengan diriku, semua rekan bisnisku selalu menjabat tangan-ku, semua hormat & menghargai diriku, teman2 lama pun selaul menyebut namaku sebagai slh satu orang sukses. 

    Namun ada sesuatu yang tak pernah kudapatkan dalam perjalanan hidup ku selama ini. Hatiku selalu kosomg & risau. Perasaan sepi selalu memghantui hari2ku. Ya.. aku terlalu mengejar duniaku & mengabaikan akhiratku.

    *Aku sedih...........*

    Ketika aku berikrar untuk berjuang bersama barisan *Pembela Rasulullah Saw dan aku buang segala title keduniaanku.* kutinggalkan dunia ku untuk mengejar akhirat dan ridhaNya. Seketika itu pula dunia terasa berbalik. Yaa... Dunia seperti berbalik. Aku putuskan untuk merantau & memilih mempelajari *ilmu Al-Qur'an & hadist & kuhafalkan Al-Qur'an 30 juz*.

    Semua orang mencemooh dan memaki diriku. Tak ada lagi pujian, senyum kebanggaan, peluk hangat dll.; yang ada hanyalah cacian.

    Terkadang orang memaki diriku, *buat apa sekolah tinggi2 kalau akhirnya masuk pesantren dia itu org bodoh.*; sudah punya pekerjaan enak ditinggalin.

    Berbagai caci dan maki tertuju pada diriku, bahkan dari keluarga yang tak jarang membuat diriku sedih. 😪

    "Apa ada lulusan perguruan tinggi terkenal masuk pondok tahfidz..? Ga' sayang apa sudah dapat kerja enak, mau makan apa dan dari mana lagi..?

    Kata mereka. 

    Ya.., pertanyaan2 itu terus menyerang & menyudutkan diriku.*Hingga suatu ketika*

    Ketika fajar mulai menyingsing ku ajak ibu untuk shalat berjamaah di masjid; masjid tempat dimana aku biasa menjadi imam.

    Ini adalah shalat subuh yang akan selalu ku kenang. Ini

    Ku angkat tangan seraya mengucapkan takbir. *Allaaahuu akbaar............*_

    ku agungkan Allah dengan se-agung2nya.

    Ku baca doa iftitah daalm hati ku, berdesir hati ini rasanya. 

    Kulanjutkan membaca...

    *Al-Fatihah* 

    *Bismillahirrahmaanirrahiiim*, (sampai disini hati ku bergetar ), ku sebut namaNya Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

    *Alhamdulillahirabbil alamiin*...

    Ku panjatkan puji2an untuk Rabb semesta alam..

    Kulanjutkan bacaan lamat2, ku hayati surah Al-fatihah dengan seindah2nya tadabur, *tanpa terasa air mata jatuh membasahi wajahku.*

    Berat lidah ku untuk melanjutkan ayat, *Arrahmaanirrahiim*, 

    ku lanjutkan ayat dengan nada yang mulai bergetar.

    *Malikiyaumiddin*, kali ini aku sudah tak kuasa menahan tangisku. Ini

    *Iyyaka na'budu wa iyyaka nastaiin*, "yaa Allah hanya kepadaMu lah kami menyembah dan hanya kepadaMu lah kami meminta pertolongan."

    Hati ku terasa tercabik2, sering kali diri ini menuntut kepada Allah utk memenuhi kebutuhanku, tapi aku lalai melaksanakan kewajibanku kepada-Mu.

    Sampai lah aku pada akhir ayat dalam surah Al-Fatihah. Ku seka air mata dan ku tenangkan sejenak diriku.

    Selanjutnya aku putuskan untuk membaca *Surah _Abasa*'_. Ku hanyut dalam bacaan ku, terasa syahdu, hingga terdengar isak tangis jamaah sesekali. Bacaan terus mengalun, hingga sampai lah *pada ayat 34. Tangisku memecah sejadi2nya*.

    *Yauma yafirrul mar'u min akhii, wa ummihii wa abiih, wa shaahibatihi wa baniih, likullimriim minhum yauma idzin sya'nuy yughniih...*

    Tangisku pun memecah, tak mampu ku lanjutkan ayat tsb, tubuhku terasa lemas.

    Setelah shalat subuh selesai, dalam perjalanan pulang, ibu bertanya : "mengapa kamu menangis saat membaca ayat tadi, apa artinya..?"

    Aku hentikan langkahku dan aku jelaskan pada ibu. Kutatap wajahnya dalam2 & aku berkata : 

    *Wahai ibu........*

    Ayat itu mnjelaskan tentang huru hara padang mahsyar saat kiamat nanti, semua akan lari meninggalkan sudaranya.

    Ibunya, Bapaknya, istri dan anak2nya.

    Semuanya sibuk dengan urusannya masing2.

    Bila kita kaya orang akan memuji dengan sebutan orang yang berjaya,

    Namun ketika kiamat terjadi apalah gunanya segala puji2an manusia itu.

    Semua akan meninggalkan kita. Bahkan ibupun akan meninggalkan aku.

    *Ibu pun meneteskan air mata, ku seka air matanya.*

    Ku lanjutkan, *Aku pun takut bu bila di Mahsyar bekal yang ku bawa sedikit.*

    Pujian orang yang ramai selama bertahun2 pun kini tak berguna lagi.

    Lalu kenapa orang beramai2 menginginkan pujian dan takut mendapat celaan. Apakah mereka tak menghiraukan kehidupan akhiratnya kelak ?

    Ibu kembali memelukku dan tersenyum. Ibu mengatakan, *betapa bahagianya punya anak seperti dirimu.*

    Baru kali ini aku merasa bahagia, karena ibuku bangga terhadap diriku.

    Berbagai pencapaian yang aku dapat dulu, walaupun ibu sama memelukku namun baru kali ini pelukan itu sangat membekas dalam jiwaku.

    *Wahai manusia sebenarnya apa yang kalian kejar..?*

    *Dan apa pula yang mngejar kalian..?*

    *Bukankah maut semakin hari semakin mendekat...?*

    Dunia yang menipu jangan sampai menipu dan membuat diri lupa pada negeri akhirat kelak.

    *Wahai saudara2ku, apakah kalian sadar nafas kalian hanya beberapa saat lagi ?*

    *Seblm lubang kubur kalian akan UU.*

    Apa yang aku dan kalian banggakan di hadapan Allah dan RasulNya kelak ?

    *Wallahua'lam.*

    ________________________________

    C. Tanggapan Saya:

    Status yang menggambarkan tentang kegalauan seorang sarjana hingga meraih jabatan professor membuktikan keterjebakannya dalam sekularisme dan dikotomi ilmu pengetahuan dari agama. Ilmu pengetahuan yang dipelajarinya terpisah dari nilai-nilai agama. Kekeringan spritual membawanya pada keadaan jiwanya hampa tak bermakna.

    Dikotomi ilmu dan agama telah membuat keterbelahan (splite) intelektualitas dari spritualitas, jasmani dari rohaninya. Ilmu pengetahuan telah membawanya populer dan berprestasi serta berjaya dalam aspek materi. Namun, kekeringan jiwa dari nilai spritual melandanya. Hedonisme ternyata tidak membuatnya bahagia.

    Sebagai reaksinya, ia membalik cara pandang dan sikapnya 189°. Memilih kehidupan spritual (pesantren) untuk membayar kekecewaannya terhadap kekeringan jiwanya. Memilih lingkungan pesantren adalah cara ia merespon kekecewaan terhadap semua nilai yang ia dapatkan dari balik ilmu pengetahuan.

    Sikap di atas menunjukan ketidakseimbangan merespon pengalaman yang tidak seimbang. Padahal, Islam mengajarkan prinsip keseimbangan. Kehidupan material dan spritual tak bisa dipisahkan merupakan kemestian. Bahkan, materi dapat menjadi sarana kesalehan. Manusia diperintahkan bersedekah, berinfak, berzakat, dsb. Mereka dituntun agar menjadikan harta sebagai media kesalehan.

    Islam mengajarkan dan menuntun manusia untuk mengintegrasikan iman, akhlak, dan ilmu pengetahuan. Mengintegrasikan intelektualitas dan spritualitas, iman-takwa (imtak) dan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Kita berharap agar para ilmuwan muslim khusunya tidak mengalami keterbelahan sejak menuntut ilmu hingga mereka harus mengamalkannya. Ilmuwan muslim memulai setiap tindak pembacaannya atas nama Rabb-nya. 

    Dengan cara pandang yang terintegrasi, manusia hidup seimbang. Seluruh tindak pembacaan bergerak "dengan nama Allah". Iqra' bismi Rabbika" "bacalah dengan nama Tuhanmu!". Semestinya seluruh proses pencapaian ilmu pengetahuan terintegrasi dengan iman (Lihat Q.s. al-Mujadilah : 11).

    Mungkin memang pesantren secara umum adalah lingkungan terbaik sebagai miniatur masyarakat muslim. Santri pada akhirnya diharapkan kembali ke masyarakat untuk menata masyarakat menyebarkan Islam. Sebagian dari mereka diharapkan tersebar ke masyarakat untuk berdakwah dan mendorong masyarakat meraih derajat khaira ummah. 

    Sebagian alumni pondok pesantren lagi diharapkan tetap menjaga merawat lingkungan pesantren dan mengelola pendidikan tertua di nusantara untuk melakukan reproduksi muballigh dan guru umat. Jika bisa, justru diharapkan alumni-alumni pondok pesantren menguasai ekonomi, teknologi, menjadi guru besar, selanjutnya keluar berinteraksi dengan masyarakat dan negara agar umat meraih kejayaan peradaban. Semoga tangan mereka berada di atas, bukan di bawah. Aamiin...

    Wallahu A'lam.