Prolog
Sesungguhnya saya tidak bermaksud mengajarkan kepada Anda tentang makna ucapan khas masyarakat Muslim Indonesia di hari lebaran id. Saya percaya Anda mengerti soal ini. Akan tetapi, ada pertanyaan sejumlah pihak yang mempertanyakan ucapan selamat hari raya id dan doa yang menyertainya. Apakah itu ada pijakannya dalam sunnah atau ini tradisi yang tidak memilik akar dalam sunnah?
Sudah menjadi tradisi di Indonesia, setiap menyambut Hari Besar Idul Fitri, biasanya mengucapkan “Selamat Hari Raya Idul Fitri, Minal ‘Aidin wal Faizin, Mohon Maaf Lahir dan Bathin. Taqabbalallahu Minna Waminkum”. Ini menjadi ciri khas masyarakat Muslim Indonesia. Lewat tulisan ini saya ingin merespon Anda yang bertanya sesuai apa yang saya pahami.
Makna Selamat Hari Raya Idul Fitri
Ini adalah ucapan kegembiraan atas hadirnya Hari Raya umat Islam, Idul Fitri, setelah sebulan penuh menjalankan ibadah shaum Ramadhan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan, arti selamat antara lain adalah terhindar dari bahaya atau malapetaka, tercapainya suatu maksud, pernyataan yang mengandung harapan supaya beruntung dan pemberian salam agar diperoleh kesejahteraan.
Ucapan selamat merupakan tahniah atau ungkapan kegembiraan, atas datangnya momen tertentu bisa saja merupakan tradisi atau adat.
Dalam pola interaksi sehari-hari, ucapan selamat merupakan suatu hal yang baik, dan merupakan bentuk apresiasi terhadap seseorang atas prestasi atau peristiwa yang diraihnya.
Itu pula sebabnya, seringkali juga jika ada sahabat kita yang meraih gelar sarjana misalnya, maka kita pun mengucapkan, “Selamat Ya atas wisudanya”. Atau jika ada rekan kita menikah, kita pun mengirim kado bertuliskan, “Selamat Menempuh Hidup Baru”.
Islam mengajarkan, apabila seorang Muslim bertemu dengan Muslim lainnya, maka diajurkan mengucapkan perkataan yang mengandung keselamatan, berupa salam “Assaalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh”. (Artinya: Semoga keselamatan, kesejahteraan dan keberkahan Allah limpahkan untuk Anda).
Makna Minal ‘Aidin wal Faizin
Kalimat “Minal ‘Aidin wal Faizin” seringkali dirangkaikan atau diartikan dengan Mohon Maaf Lahir dan Bathin”
Secara bahasa, “Minal ‘Aidzin” artinya termasuk orang-orang yang kembali, dan “Wal Faizin” artinya dan menang.
Jika dimaknai secara harfiah dari Minal ‘Aidin wal Faizin dalam bahasa indonesia, menjadi: “Termasuk dari orang-orang yang kembali dan sebagai orang yang menang”.
Jadi, bukan berarti Mohon Maaf Lahir dan Bathin, melainkan ditambahkannya kalimat tersebut untuk menyertai bahasa Arab Minal ‘Aidin Wal Faizin.
Minal ‘Aidin, berarti kita berharap kembali, yaitu berharap menjadi orang bersih dan suci (minal ‘aidin ilal fithrah). Dengan keyakinan pada hadis, bahwa orang yang shiyam dan qiyam (berpuasa dan menghidupkan malam) di bulan Ramadhan, karena iman dan semata mencari ridha Allah, akan diampuni dosanya yang telah lalu. Harapannya, semoga kita seperti bayi yang baru lahir dari rahim ibu, bersih-suci dari salah dan dosa. Amin.
Sementara panjatan doa “wal faizin”, semoga menuai kemenangan dengan meraih surga (wal Faizin bil Jannah), sangat terkait dengan tujuan shaum Ramadhan itu sendiri, yakni meraih tujuan masuk surga.
Sebagian Kaum Muslimin, terutama di Indonesia, memaknai kemenangan dari perjuangan selama bulan Ramadhan, sehingga saat Hari Raya tiba, disebut hari kembali kepada fitrahnya dan memperoleh kemenangan.
Para sahabat, mengucapkan Minal ‘Aidin wal Faizin acapkali digunakan sebagai ungkapan rasa syukur atas kemenangan perang yang sebenarnya, semisal Perang Badar.
Para sahabat menyebutnya, “Semoga termasuk dari orang-orang yang kembali (dari perang) dan sebagai orang yang menang (dalam setiap perjuangan Islam).”
Jika dilihat popularitasnya, kalimat tersebut hanya populer di bangsa Melayu, seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Beberapa tempat mempunyai ucapan khas sendiri, seperti “Eid mubarak!” di Eropa, atau “Eid sa’id”, dan ucapan “Maaf zahir batin” di Malaysia.
Dalam kitab Dawawin Asy-Syi’ri al-Arabi ala Marri Al-Ushur Jilid ke-19 halaman 182 disebutkan, kalimat minal aidina wal faizin ternyata merupakan petikan dari lantunan syair pada masa Andalusia.
Penyair bernama Shafiyuddin al-Huli membawakan sebuah syair yang mengisahkan dendangan kaum wanita pada hari raya. Petikan dari salah satu syairnya itu terdapat kalimat “Ja’alna minal ‘aidina wal faizina (jadikan kami dari orang-orang yang menang dan orang-orang yang beruntung).”
Selain itu, bisa pula kalimat "minal aidin wal faizin" merupakan potongan dari kalimat doa: "Allahmumma ij'alna minal 'aidin wal faizin" (Ya Allah, jadikanlah kami termasuk dari golongan orang-orang yang kembali dan orang-orang menang). Makna "Kembali" berarti kembali kepada fitrah dan "menang" dari perjuangan mengendalikan hawa nafsu. Dan mudah-mudahan kelak menang dengan meraih keberuntungan dengan surga.
Makna Taqabbalallahu Minna Waminkum
Jika dilihat dari rawinya, dalam budaya Arab, seperti disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu Al-Fatawa, disebutkan bahwa ucapan yang disampaikan sesama sahabat Nabi, ketika menyambut hari Idul Fitri adalah “Taqabbalallahu minna waminkum”, artinya, semoga Allah menerima amalan dari kami dan engkau.
Kemudian menurut riwayat lain, ada juga sahabat yang menambahkan dengan “Shiyamana wa Shiyamakum”, yang artinya (semoga Allah menerima) puasa kami dan puasamu.
Jubair bin Nufair meriwayatkan, “Para sahabat Nabi Saw. apabila bertemu pada hari raya, maka berkata sebagian mereka kepada yang lainnya: ‘Taqabbalallahu minnaa wa minka’.” Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, dengan Isnad yang Hasan
Muhammad bin Ziyad juga berkata, “Aku pernah bersama Abu Umamah Al-Bahili dan selainnya dari kalangan sahabat Nabi Saw. Mereka bila kembali dari shalat ‘Id berkata sebagiannya kepada sebagian yang lain: ‘Taqabbalallahu minnaa wa minka.” (Riwayat Ibnu Qudamah dalam Kitab Al-Mughni.)
Pada riwayat lain dikatakan, dari Khalid bin Ma’dan, ia berkata, “Aku bertemu Watsilah bin Asqa’ pada hari Raya. Aku katakan padanya: Taqabbalallahu minna wa minka. Watsilah menanggapi, ‘Aku pernah bertemu Rasulullah Saw. pada hari raya, lantas aku katakan ‘Taqabbalallahu minna wa minka’. Beliau menjawab, ‘Taqabbalallahu minna wa minka.”
Ali bin Tsabit berujar, “Aku bertanya pada Malik bin Anas sejak 35 tahun, tentang ucapan ‘Taqabbalallahu minna waminka’. Dia menjawab, Ucapan ini selalu ditradisikan di Madinah.”
Dalam Sunan Al-Baihaqi disebutkan, riwayat memberikan ucapan ‘Taqabbalallahu minna wa minka’ merupakan bacaan yang disyariatkan (masyru’) dan hukum mengucapkannya sunnah.
Imam Ahmad menyatakan bahwa ini adalah “Isnad hadis Abu Umamah yang Jayyid (Bagus). Imam Ahmad menambahkan: “Aku tidak pernah memulai mengucapkan selamat kepada seorangpun. Namun, bila ada orang yang mendahuluiku mengucapkannya kepadaku, maka aku pun menjawabnya. Yang demikian itu karena menjawab ucapan selamat bukanlah sunnah yang diperintahkan dan tidak pula dilarang. Barangsiapa mengerjakannya maka baginya ada contoh dan siapa yang meninggalkannya baginya juga ada contoh.
Jadi mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri, Minal ‘Aidin wal Faizin, memang tidak dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Apalagi ucapan Mohon Maaf Lahir dan Bathin, karena ini Bahasa Indonesia, sedangkan Nabi berbahasa Arab.
Tapi mengucapkan perkataan selamat dalam bahasa apapun untuk saling mendoakan sesama saudara, insyaallah, juga tidak terlarang. Dan, menurut hemat saya itu baik. Kita merujuk kepada dalil-dalil yang mujmal, yaitu keniscayaan untuk saling mendoakan sesama muslim.
Sama halnya, seperti mengucapkan, “Selamat ya, kamu naik kelas” atau “Selamat menempuh hidup baru”, dan sebagainya. Karena itu merupakan adat kebiasaan, yang maknanya baik dan tidak melanggar syariat.
Bahkan, dalam ucapan orang-orang Arab sekarang, banyak didengar ucapan “Id Mubarak” (Hari raya Id yang penuh berkah) atau “Kullu ‘aam wa antum bikhair”, (semoga sepanjang tahun Anda dalam keadaan baik-baik).
Semua ucapan selamat atas datangnya momen tertentu bisa saja merupakan tradisi atau adat. Sementara hukum asal suatu adat adalah boleh, selagi tidak ada dalil tertentu yang mengubah dari hukum asli ini. Hal ini juga merupakan madzhab Imam Ahmad.
Mayoritas ulama juga menyatakan, “Ucapan selamat pada hari raya hukumnya boleh”. (Al-Adab al-Syar’iyah).
Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan, ucapan selamat (tahniah) secara umum diperbolehkan, karena adanya nikmat, atau terhindar dari suatu musibah, dianalogikan dengan validitas sujud syukur dan ta’ziyah.
Saling Mendoakan
Saling mendoakan dalam kebaikan tidak diragukan lagi sebagai perintah agama (Islam) yang didukung oleh banyak nash. Salah satu diantaranya, Nabi Saw. pernah bersabda:
دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيْهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ. كُلَّمَا دَعَا ِلأَخِيْهِ بِخَيْرٍ، قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ: آمِيْنَ. وَلَكَ بِمِثْلٍ.
‘Do’a seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang dido’akannya adalah do’a yang akan dikabulkan. Pada kepalanya ada Malaikat yang menjadi wakil baginya. Setiap kali dia berdo’a untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka Malaikat tersebut berkata: ‘Aamiin dan engkau pun mendapatkan apa yang ia dapatkan.’”
‘Abdullah berkata: “Lalu aku pergi ke pasar dan bertemu dengan Abud Darda’ r.a. lalu beliau mengucapkan kata-kata seperti itu yang diriwayatkan dari Nabi Saw."
Dari hadis yang mulia ini kita bisa mengetahui bahwa ada dua golongan manusia yang mendapatkan do’a dari para Malaikat, mereka itu adalah orang yang didoakan oleh saudaranya sesama muslim sedangkan dia tidak mengetahuinya, karena Malaikat yang ditugaskan kepada orang yang sedang menguapkan: “Aamiin,” maknanya adalah: “Ya Allah, perkenankanlah do’anya bagi saudaranya.”
Sedangkan yang kedua adalah orang yang mendo’akannya, karena Malaikat yang diutus kepadanya berkata: “Dan engkau pun mendapatkan apa yang didapatkan oleh saudaramu.”
Al-Imam Ibnu Hibban membuat sebuah bab dalam Shahiihnya dengan judul: “Anjuran untuk Memperbanyak Berdo’a kepada Saudara Sesama Muslim Tanpa Sepengetahuan Orang yang Dido’akan, dengan Harapan Permohonan untuk Keduanya Dikabulkan.”
Di dalam Syarh Shahiih Muslim ada sebuah komentar untuk hadis ini, penulis berkata: “Dalam hadis ini ada sebuah keutamaan do’a bagi saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang dido’akannya. Seandainya seseorang berdo’a untuk satu kelompok umat Islam, maka ia akan mendapatkan pahala yang telah ditetapkan, dan seandainya ia berdo’a untuk seluruh kaum muslimin, maka yang aku pahami, ia pun mendapatkan pahala yang telah ditentukan.”
Orang-orang yang gigih dalam mendapatkan shalawat para Malaikat, mereka semua bersemangat dalam mendo’akan saudara-saudara mereka sesama muslim tanpa sepengetahuan saudara yang didoakannya itu dan hal ini senantiasa ada, alhamdulillaah.
Berdasarkan keterangan tersebut, saya dan mewakili keluarga pun mengucapkan “Taqabbalallahu Minna Waminkum, Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1442 H, Minal ‘Aidin wal Faizin, Mohon Maaf Lahir dan Bathin”.
0 komentar