Penulis: Muhamad Yusuf
Dosen UIN Alauddin dan STAI Al-Furqan Makassar
Manggarupi-Gowa, 04-05-2021
Pendahuluan
Sejarah Lailatul Qadar, Malam yang Lebih Baik dari Seribu Bulan. Islam membuat waktu dan tempat tertentu menjadi hal yang disucikan di mana seorang muslim mendapat pahala lebih apabila berdoa maupun beramal di kala itu.
Ketika kita hidup hari ini di era digital dan materialistis, seringkali tindakan ibadah diperas menjadi momen singkat dalam rutinitas harian kita, yang tidak memberi kita pengalaman spiritual transformatif yang lengkap. Ibadah yang serius tidak hanya membutuhkan waktu singkat untuk berdoa, tetapi membiarkan doa kita menentukan arah hidup kita.
Dengan demikian, Islam menawarkan kesempatan untuk pengalaman spiritual yang intens, pengalaman yang melibatkan mengesampingkan dunia (kehidupan duniawi) dan gangguannya. Salah satu peluang terbesar adalah malam-malam Ramadhan yang diberkati.
Lailatul Qadar dianggap sebagai malam paling suci tahun ini bagi umat Islam di bulan suci Ramadhan. Lailatul Qadr jatuh dalam 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Demikian dijumpai dalam riwayat yang disandarkan kepada Rasulullah Saw.
Umat Muslim di seluruh dunia memaksimalkan doa-doa mereka dan memberikan yang terbaik dalam berusaha mencapai keridhaan Allah Swt. dan pengampunan atas semua dosa mereka selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan.
Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur'an: "Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan." (Al-Quran, 97: 3). Bagaimana malam Lailatul Qadar menjadi malam yang istimewa dan dimuliakan? Berikut ini adalah sekilas lintas tentang sejarah malam Lailatul Qadar yang disebut pula Malam Seribu Bulan, dirangkum dari berbagai sumber:
Sejarah Lailatul Qadar
Nabi Muhammad menghabiskan waktu yang lama, khususnya selama bulan Ramadhan, bermeditasi tentang dunia di sekitarnya dan mencari bantuan untuk membimbing umatnya dari kejahatan moral dan penyembahan berhala.
Pada beberapa kesempatan, ia melakukan perjalanan ke Gua Hira, sebuah gua kecil di perbukitan dekat Mekah, sekarang di Arab Saudi. Diyakini bahwa pada waktu tertentu, mungkin pada tahun 610 M, ia menerima ayat-ayat pertama Alquran dari Tuhan.
Lailatul Qadar menandai peringatan hari itu. Namun, tidak jelas kapan tepatnya wahyu itu terjadi. Oleh karena itu, banyak Muslim menganggap sepuluh hari terakhir Ramadhan sebagai hari suci dan berusaha untuk mengunjungi masjid serta membaca Alquran pada periode ini.
Sampai pada akhirnya, Rasulullah Saw. menerima wahyu pertama surah al-'Alaq ayat 1-5. Turunnya ayat ini merupakan bukti pelantikan beliau sebagai Rasulullah. Kala itu, beliau berusia 40 tahun. Selanjutnya, beliau menerima wahyu al-Qur'an dalam kurun waktu 23 tahun. Pada periode Mekkah berlangsung selama 13 tahun dan periode Madinah berlangsung selama 10 tahun.
Makna Teologis Lailatul Qadar
Cendekiawan Islam memiliki pendapat berbeda-beda mengenai makna di balik nama 'Lailatul-Qadr', karena kata 'Qadr ' dapat memiliki beragam makna, dan masing-masing memiliki makna teologis sendiri.
Beberapa ulama mendefinisikan 'Qadr' dalam konteks malam suci ini sebagai 'takdir/dekrit' (qadar). Bagi mereka, berarti bahwa inilah malam di mana nasib setiap orang diputuskan. Itu akan menjadi malam di mana rezeki seseorang, umur, dan hal-hal penting lainnya akan disegel untuk tahun yang akan datang.
Imam Al-Nawawi mengartikan Lailatul Qadar dan mengatakan: “Itu bernama Lailatul-Qadr, artinya: malam penghakiman dan penegasan (dalam urusan manusia). Makna ini adalah apa yang benar dan populer."
Sarjana lain mendefinisikan arti 'Qadar' sebagai 'kekuatan' yang menunjukkan kebesaran kehormatan dan kekuatan malam itu. Bahwa perbuatan baik yang dilakukan pada malam itu jauh lebih kuat daripada malam lainnya.
Arti lain 'Qadar' dalam konteks Lailatul Qadar, melibatkan makna 'pembatasan'. Ini dipahami untuk menunjukkan bahwa bumi menjadi terbatas ketika malaikat turun ke bumi pada malam suci, menduduki bumi.
Turunnya para malaikat ini dirujuk dalam Alquran, dan karena malaikat biasanya dikaitkan dengan konsep-konsep seperti cahaya, bimbingan, dan berkah, yang merupakan simbol betapa agungnya Lailatul Qadar.
Selanjutnya, karena malaikat menempati surga tertinggi, mereka digambarkan dalam Al-Qur'an sebagai 'dekat dengan Tuhan', pada malam Lailatul Qadar mereka 'meminta izin' kepada Allah untuk turun ke bumi sebagai pengakuan atas berkat Ilahi yang Allah tempatkan di bumi pada malam itu.
Dalam satu narasi, Nabi Muhammad Saw. menyatakan: "Sungguh, malaikat pada malam ini sama banyaknya dengan kerikil di bumi."
Dalam Surah al-Qadar (97: 1) dan Surah al-Dukhan (44: 3), disebutkan bahwa Al-Qur'an diturunkan pada malam ini. Ibnu Abbas telah menjelaskan hal ini dengan menyebutkan tentang Lailatul Qadar bahwa Al-Qur'an diturunkan secara keseluruhan dari surga tertinggi ke surga terendah, dan ditempatkan di sebuah kamar khusus yang disebut Bayt al-`Izzah (Rumah Kehormatan).
Dari sana, itu terungkap secara bertahap selama dua puluh tiga tahun diturunkan kepada Nabi Muhammad. Hal ini untuk menandakan status mulia dari wahyu tersebut dan untuk mengumumkan kepada para penghuni Surga bahwa ini merupakan wahyu terakhir.
Hubungan antara Fungsi & Keutamaan Lailatul Qadar
Apa hubungan antara Lailatul Qadar menjadi malam turunnya Al-Qur'an, dan juga menjadi malam yang paling baik untuk berdoa? Mengapa malam ketika malaikat turun dengan wahyu juga merupakan malam terbaik untuk beribadah?
Satu jawaban yang mungkin untuk ini dapat ditemukan dalam penjelasan (tafsir) dari pembukaan ayat Surah ad-Dukhan:
"Haa - Miim. Demi Kitab yang jelas, sesungguhnya, sesungguhnya Kami menurunkannya pada malam yang diberkahi. Sungguh, Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu, setiap keputusan bijak (amr hakeem) ditentukan, dengan perintah Kami. Sesungguhnya, Kamilah yang mengutus [rasul] sebagai rahmat dari Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Tahu" (44: 1-6).
Bagian ini menegaskan kembali pentingnya Lailatul Qadar sebagai malam di mana nasib, takdir, dan keputusan diturunkan untuk tahun yang akan datang. Demikian pandangan sebagian ulama.
Komentator Al-Qur'an yang terkenal, Abu'l-Thana 'al-Alusi (w. 1270 H/1854 M), mencatat dalam tafsirnya bahwa ketika Tuhan berkata, "Pada malam itu, setiap dekrit hakeem ditentukan," salah satu arti hakeem adalah mukham (tegas) yang mensyaratkan bahwa "dekrit ini tidak dapat diubah setelah diturunkan, berbeda dengan sebelum itu."
Jika seseorang merenungkan semua hal yang berpotensi terjadi pada mereka di tahun mendatang, mereka akan mengalami harapan dan/ atau ketakutan yang luar biasa.
Mungkin di tahun mendatang mereka mengalami kehilangan orang yang dicintai, timbulnya penyakit yang melemahkan, konflik pahit, perusakan harta benda, atau yang terburuk dari semua kehilangan iman dan hubungan mereka dengan Allah.
Atau, mungkin di tahun mendatang mereka mungkin mengalami kegembiraan besar dan kedekatan dengan keluarga mereka, pencapaian paling sukses dalam karier mereka, kebahagiaan dalam pernikahan mereka, solusi untuk masalah lama, persahabatan baru dan kemakmuran, atau pertumbuhan pertumbuhan hubungan dengan Ilahi.
Ketika seseorang merenungkan hal ini, dia menyadari bahwa Lailatul Qadar memberikan kesempatan yang sempurna untuk berdoa untuk mewujudkan mimpi-mimpi terbaik mereka, dan mencegah mimpi terburuk mereka.
Lailatul Qadar adalah malam ketika dekrit tahunan itu diselesaikan. Dalam arti tertentu, inilah malam ketika nasib seseorang 'diunduh' dari surga.
Seperti halnya seseorang yang sedang menunggu keputusan hakim di ruang sidang berdoa dengan sangat intens pada saat keputusan itu akan diputuskan, demikian juga Lailatul Qadar dapat menandakan kesempatan terakhir untuk mengubah nasib seseorang (taqdir).
Setelah itu, takdir seseorang dalam catatan para malaikat hanya diubah jika ditulis sebelum itu akan diubah. Ada juga hubungan khusus antara malam ini dan mencari pengampunan dari Tuhan.
Aisyah bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah! Jika saya tahu malam apa itu Lailatul Qadar , apa yang harus saya katakan selama itu?" Dan dia memerintahkannya untuk mengatakan:
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
"Ya Allah! Kamu Maha Pengampun, dan kamu suka mengampuni. Jadi maafkan aku".
Nabi Muhammad Saw. menginstruksikan untuk memanggil Allah menggunakan nama Ilahi al-Afuww (Yang Maha Pemaaf) pada malam itu, hal itu memiliki hubungan khusus dengan Qadar.
Arti dari Nama Ilahi ini dijelaskan dengan mencatat bahwa akar 'afuw (pengampunan) secara linguistik berkonotasi penghapusan (al-mahuw) dan penguraian (al-tams).
Dengan demikian, doa-doa kita kepada Allah pada malam tersebut secara eksplisit terkait dengan permohonan agar Dia menghapus konsekuensi dari kesalahan kita.
Al-Qur'an menyatakan bahwa 'afuw Allah melindungi malapetaka dari yang ditetapkan bagi kita sebagai akibat dari dosa-dosa kita: Jadi, apapun yang menimpa Anda dengan musibah, itu adalah karena apa yang telah diperoleh oleh tangan Anda, meskipun Ia banyak mengampuni (ya'fuw) (42:30).
Hakikat Lailatul Qadar
Pada bagian ini, saya akan menyorotnya dalam perspektif mufassir dan sebagian dalam perspektif sufi. Dan, seringkali perspektif para sufi akan bercakap melampaui logika awam. Mereka berbicara berdasarkan pengalaman spritual mereka.
Malam lailatul qadar adalah sebuah malam di bulan Ramadhan yang di dalamnya dipenuhi dengan keberkahan dan kemuliaan. Pada malam itu juga Allah Swt. menurunkan manifestasi utuh al-Qur’an dari Lauhul Mahfudz di langit ke tujuh ke langit pertama.
Pertama, malam yang berkati. Allah Swt. berfirman: إِنَّا أَنزلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ “Sungguh telah kami turunkan al-Qur’an pada malam yang diberkahi. (QS. Ad-Dukhan: 3).”
Kedua, malam kemuliaan. Dalam surah al-Qadar ayat 1, Allah Swt. berfirman:إِنَّا أَنزلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ “Sungguh telah kami turunkan al-Qur’an pada malam lailatul Qadr (QS.Al-Qadr:1).”
Ibnu Katsir dalam mengomentari ayat ini menyatakan, “Adapun manifestasi utuh al-Qur’an diturunkan dalam satu tahap dari baitul Izzah ke langit pertama pada bulan Ramadhan bertepatan dengan malam lailatul Qadar seperti yang telah Allah Swt. firmankan. Kemudian ia diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. secara bertahap sesuai dengan kejadian-kejadian yang berlaku padanya.”
Pada malam tersebut, manusia berlomba-lomba untuk mencari kebaikan dan keberkahan yang terkandung di dalamnya. Pada momentum itu pula Malaikat Jibril As. atas perintah Allah Swt. turun ke bumi dengan membawa ketenangan bagi semesta alam. Hal itu yang membuat langit, binatang, angin dan segenap mahkluk Tuhan seakan tertunduk sunyi menikmati pancaran energi ilahiyah yang ada pada malam lailatul Qadar. Diceritakan pula, pada malam ini juga Nabi Ibrahim As. Bermimpi menyembelih putra yang dicintainya sebagai bentuk ketundukan kepada Tuhannya.
Lailatul qadar sendiri adalah sebuah karunia yang hanya diberikan kepada umat Nabi Muhammad Saw, sesuai dengan sabdanya yang diriwayatkan dari sahabat Anas Ra., Rasulullah Saw. bersabda, “Lailatul qadar telah dikaruniakan kepada umat ini yang tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya.”
Para ulama berbeda pendapat tentang alasan diberikannya lailatul qadar kepada umat ini. Dalam sebuah kisah diceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah satu hari merenung mengenai usia umat-umat terdahulu yang lebih panjang dari pada usia umatnya. Dari hal ini Beliau Saw. merasa sedih karena sepertinya mustahil menandingi ibadah umat-umat terdahulu. Akhirnya, dengan kasih sayang-Nya, Allah Swt. mengaruniakan lailatul qadar terhadap umat ini.
Dalam artian, ketika ada seorang hamba yang beribadah pada malam ini, sama atau lebih baik nilainya dengan 1000 bulan atau setara dengan 83 tahun 3 bulan bahkan lebih. Walaupun ada banyak riwayat lain yang menerangkan hal ini.
Para kaum ‘arif billah (sufi) mempunyai definisi tersendiri terhadap malam yang sering diumpamakan sebagai malam yang lebih mulia dari seribu malam ini.
Syekh Abu Thalib al-Makki (W. 368 H) dalam kitab Qutub al-Qulub bi Mu’amalati al-Mahbub mengatakan, “Sebagian ulama mengatakan bahwa bagi seorang arif semua malam-malam adalah malam lailatul Qadar”
Syekh Abdul Karim al-Jily ( W.826 H) mengatakan, “Substansi lailatul qadar pada seorang hamba adalah kebersihan dan kemurnian jiwa yang ia miliki.”
Syekh Jamaluddin al-Khalwati (W. 1162 H) dalam kitabnya ta’wilat mengatakan, “Lailatul qadar adalah malam pencapaian, dimana ia lebih baik dari seribu derajat dan kedudukan. Maka barangsiapa yang telah sampai dan menemukan malam ini, jiwanya akan fana (melebur) secara keseluruhan sebagai tanda terbukanya penghalang antara dia dan Tuhannya.”
Imam Qusyairi (W. 465 H) menjelaskan tentang pengertian lailatun mubarakah (malam keberkahan), “Dialah malam dimana hati seorang hamba hadir dan menyaksikan ‘pancaran’ Tuhannya. Di dalamnya ia merasakan kenikmatan dari cahaya pencapaian dan kedekatan kepada Tuhannya-.”
Bagi para sufi, mengejar peristiwa lailatul qadar tidak terlalu penting karena bagaimanapun lailatul qadar hanya bagian dari makhluk, sama dengan surga yang juga makhluk. Yang paling penting bagi mereka ialah mencari Tuhan Sang Pencipta lailatul qadar dan surga. Apakah masih perlu lailatul qadar dan surga bila telah berada di dalam ‘pelukan’ Sang Pencipta segalanya?
Sebab, bagi arif billah, pertemuan dengan Allah (liqa' rabbi) dan bersama dalam pelukan (ma'iyatullah) adalah nikmat tertinggi. Hal ini diraih setelah manusia melampaui kebutuhan fisiknya saja, dan mengolah jiwanya melalui tempaan puasa dan qiyamul lail serta istigfar dan ibadah-ibadah lainnya. Maka, Allah menilai ibadah puasa dan dampak yang ditimbulkan seperti haus, lapar, bau mulut.
"Sungguh bau mulut orang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi" (H.R. Bukhari No. 1904, 5927 & Muslim No.1151).
Tidak hanya itu. Akan tetapi di balik itu, ada kepuasan tersendiri yang dirasakan oleh orang-orang yang berpuasa terutama saat tiba waktu berbuka puasa. Dan lebih dari itu, ia akan berbahagia karena kepuasaan batin yang dirasakannya saat kita semua dapat melaksanakan ibadah kepada Allah Swt. seraya mengharap ridha dan ampunan dari-Nya.
Sebagaimana sabda baginda Rasulullah Saw., “Orang yang berpuasa akan meraih dua kegembiraan, (yaitu) kegembiraan ketika berbuka puasa/berhari raya, dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya,”(HR Muslim).
Di dalam Marqatul Mafatih, ada dua kegembiraan itu meliputi di dunia dan di akhirat. Pertama, kegembiraan saat berbuka karena telah terbebas dari tanggungan perintah Allah atau sebab mendapatkan pertolongan dapat menyempurnakan puasa atau sebab dapat makan dan minum sesudah menahan lapar dan dahaga atau sebab meraih pahala yang diharapkan.
Kedua, kegembiraan saat bertemu Tuhan sebab mendapatkan balasan amal puasa, mendapatkan pujian, atau keberuntungan dapat berjumpa dengan Allah. (Al-Mulla Al-Qari, Marqatul Mafatih Syarh Misykatil Mashabih, [Beirut, Darul Fikr: 1422 H/2002 M], juz IV, hal. 1363).
Kepuasan (kegembiraan) batin adalah pengalaman spritual yang subjektif. Setiap hamba mempunyai pengalaman berbeda-beda. Hakikatnya tidak dapat dilukiskan dengan untaian kata dan kalimat. Para sufi tidak terhenti dengan indahnya kisah Lailatul Qadar. Akan tetapi, mereka lebih fokus mengharap pertemuan dengan Pencipta dan Pemilik mutlak Lailatul Qadar.
Namun bagi awam, mencari, menunggu, menjemput Lailatul Qadar, bukanlah hal yang keliru. Sebab, para ulama pun mencontohkan. Lailatul Qadar secara tekstual adalah momentum mulia, yang kemuliaannya lebih baik daripada waktu 1000 bulan. Berapa lebihnya yang 1000 bulan itu? Sampai di situ, jawabannya kembali menjadi misteri. Tugas manusia adalah beribadah dan mengikhlaskan penghambaan itu. Bukan menentukan kadar nilainya.
Penutup
Star awal sejarah Lailatul Qadar adalah peristiwa pawahyuan Al-Qur'an pertama kali, yaitu turunnya surah al-'Alaq ayat 1-5. Kedatangan Lailatul Qadar setiap bulan Ramadhan merupakan misteri. Diyakini eksistensinya, namun tidak dipastikan kapan persis waktu datangnya.
Bagi sufi, Lailatul Qadar bukan hal yang paling utama, namun kebersamaan dalam pelukan Ilahi adalah hal yang paling utama. Mereka merindukan Pencipta dan Pemilik Lailatul Qadar, Pencipta dan Pemilik Surga. Bahkan, sufi semisal al-Alusi memandang bahwa makna ayat terakhir surah al-Qadar "hatta mathla' al-fajr" sampai terbitnya fajar yang dimaksud adalah fajar akhirat, bukan fajar di pagi hari dunia.
Ketenangan dan kedamaian jiwa yang dialami oleh orang yang berma'rifat kepada Allah tidak hanya sampai terbitnya fajar di pagi hari, namun hingga terbitnya fajar di akhirat. Artinya, seorang yang secara terus-menerus bersama dengan Allah akan merasakan kedamaian jiwa. Sebab zikir yang terjaga akan menghadirkan kedamaian jiwa. Mereka lebih fokus kepada Pemilik Lailatul Qadar ketimbang Lailatul Qadar itu sendiri. Namun, pandangan sufi semisal ini tidaklah membatalkan keyakinan mayoritas umat Islam terhadap kemuliaan dan keagungan Lailatul Qadar.
Wallahu A’lam
0 komentar