Puasa Syawal
Umat Islam di seluruh dunia telah menjalankan ibadah puasa Ramadhan dan telah merayakan Idul Fitri pula yang jatuh pada tanggal 1 Syawal 1442 H/13 Mei 2021 M. Seperti bulan Ramadhan, ada beberapa amalan ibadah yang bisa kita laksanakan di bulan Syawal. Salah satunya, yakni puasa sunnah di bulan Syawal 6 hari.
Puasa yang disunatkan ini berbeda dengan puasa di bulan Ramadhan. Puasa Syawal hanya disunatkan untuk dilakukan selama enam hari saja. Umat Islam diberi waktu selama satu bulan. Akan tetapi, kalian baru boleh berpuasa setelah hari Raya Idul Fitri berlangsung.
Lantas apa saja keutamaan puasa syawal? Dilansir dari beberapa sumber, berikut keutamaan puasa syawal lengkap dengan niat dan cara melaksanakannya.
Niat Puasa Syawal
Niat puasa Sunnah adalah sudah sah hanya dengan kemutlakan niat puasa. Untuk Puasa Rawatib seperti puasa ‘Arafah dan 6 Hari Syawal, selain menyengaja melakukan puasa (al-qashd) juga disyaratkan menyebut jenis (at-ta’yin) puasanya. Imam An-Nawawi berkata:
(وَأَمَّا) صَوْمُ التَّطَوُّعِ فَيَصْحُ بِنِيَّةِ مُطْلَقِ الصَّوْمِ كَمَا فِي الصَّلَاةِ هَكَذَا أَطْلَقَهُ الْأَصْحَابُ وَيَنْبَغِي أَنْ يُشْتَرَطَ التَّعْيِينُ فِي الصَّوْمِ الْمُرَتَّبِ كَصَوْمِ عَرَفَةَ وَعَاشُورَاءَ وَأَيَّامِ الْبِيضِ وَسِتَّةٍ مِنْ شَوَّالٍ وَنَحْوِهَا كَمَا يُشْتَرَطُ ذَلِكَ فِي الرَّوَاتِبِ مِنْ نَوَافِلِ الصَّلَاةِ
Artinya: “Adapun puasa Tathawu’ maka sah dengan niat mutlak puasa sebagaimana halnya dalam salat, demikian juga Syafi’iyah memutlakkan masalah ini dalam hal puasa. Seyogyanya disyaratkan menentukan jenis puasa rawatib seperti Puasa ‘Arafah, ‘Asyura, Ayyamul Bidh, 6 Hari Syawal dan sejenisnya sebagaimana disyaratkan dalam salat sunat Rawatib.” [Abu Zakarya An-Nawawi (w. 676 H), Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab].
Dengan demikian, niat puasa 6 Hari Syawal sudah cukup dengan “saya niat puasa Syawal” yang dilakukan dalam hati. Jika dilengkapi dengan “sunnah karena Allah” adalah tidak mengapa. Penegasan “karena Allah” pada dasarnya adalah penegasan terhadap sesuatu yang memang sudah seharusnya karena pada dasarnya semua ibadah hanya boleh dikerjakan karena Allah, bukan karena yang lain
Berdasarkan dari hadis Rasulullah Saw., segala sesuatu itu bergantung pada niat. Begitu pula dengan puasa Syawal. Jika Anda mau mengamalkan, berikut lafal niat puasa Syawal yang dianjurkan oleh beberapa ulama,
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ الشَّوَّالِ لِلهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma ghadin ‘an adâ’i sunnatis Syawwâli lillâhi ta‘âlâ.
Artinya: “Aku berniat puasa sunnah Syawal esok hari karena Allah Swt.”
Adapun seseorang yang ingin mengamalkan sunnah puasa Syawal secara mendadak di pagi hari, maka diperbolehkan baginya berniat saat itu juga. Hal ini karena kewajiban niat di malam hari hanya berlaku untuk puasa wajib saja. Sedangkan, untuk puasa sunnah niat boleh dilafalkan di siang hari. Namun, dengan syarat seseorang belum makan, minum serta hal-hal lain yang membatalkan puasa.
Beberapa ulama juga menganjurkan melafalkan niat puasa Syawal di siang hari.
نَوَيْتُ صَوْمَ هَذَا اليَوْمِ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ الشَّوَّالِ لِلهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma hâdzal yaumi ‘an adâ’i sunnatis Syawwâli lillâhi ta‘âlâ.
Artinya: “Aku berniat puasa sunah Syawal hari ini karena Allah Swt."
Cara Melaksanakan Puasa Syawal
Seperti dikatakan sebelumnya, waktu puasa Syawal dilakukan selama 6 hari di bulan Syawal. Sebagaimana yang sudah disebutkan dalam hadis:
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim).
Puasa Syawal dilakukan selama 6 hari di bulan Syawal. Lebih utama dilakukan sehari pasca Idul Fitri, namun tidak mengapa bila dilakukan di akhir-akhir bulan Syawal.
Lebih utama dilakukan secara berurutan, tetapi tidak mengapa bila dilakukan tidak berurutan. Ada yang berpendapat, wajib mengganti (meng-qadha') puasa terlebih dahulu agar mendapatkan keutamaan puasa Syawal.
Puasa Syawal Menurut 4 Madzhab
Puasa enam hari di bulan Syawal setelah disepakati oleh para ulama mazhab merujuk pada dalil dari hadis Rasulullah Saw. Ada pula yang mengkhawatirkan jika dianggap sebagai bagian dari puasa Ramadhan. Ada pula yang memosisikan mustahabb. Sesungguhnya ini harus ditempatkan secara tepat. Tanggal 1 Syawal atau hari raya idul fitri pada dasarnya haram berpuasa di dalamnya.
Dalil
Mengenai Puasa Syawal, para Ulama sepakat adalah ibadah yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. (Qawli dan fi'li). Secara qawli, Nabi Saw.
من صَامَ رَمَضَانَ, ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Artinya: “Barang siapa yang puasa Ramadhan kemudian melanjutkannya dengan 6 hari dari hari-hari di bulan Syawal, maka seakan-akan ia puasa setahun.” [HR. Muslim]
Hukumnya
1. Hanafiyah
Sebagian Hanafiyah ada yang mengatakan bahwa hukum puasa Syawal adalah makruh. Namun, kemakruhan ini adalah jika ada kekhawatiran bahwa puasa ini dianggap termasuk sebagian dari Puasa Ramadhan. Ibnu ‘Abidin Al-Hanafi mengutip At-Tanjis berikut:
قَالَ صَاحِبُ الْهِدَايَةِ فِي كِتَابِهِ التَّجْنِيسُ: إنَّ صَوْمَ السِّتَّةِ بَعْدَ الْفِطْرِ مُتَتَابِعَةً مِنْهُمْ مَنْ كَرِهَهُ وَالْمُخْتَارُ أَنَّهُ لَا بَأْسَ بِهِ لِأَنَّ الْكَرَاهَةَ إنَّمَا كَانَتْ لِأَنَّهُ لَا يُؤْمَنُ مِنْ أَنْ يُعَدَّ ذَلِكَ مِنْ رَمَضَانَ فَيَكُونَ تَشَبُّهًا بِالنَّصَارَى وَالْآنَ زَالَ ذَلِكَ الْمَعْنَى اهـ
Artinya: “Pengarang kitab Al-Hidayah dalam kitabnya, At-Tanjis berkata: Sesungguhnya Puasa 6 hari sesudah Idul Fitri secara berkesinambungan di antara mereka ada yang menghukuminya Makruh. Adapun menurut Qaul Mukhtar (pendapat yang dipilih) sesungguhnya puasa pada hari tersebut adalah tidak apa-apa karena seusngguhnya yang Makruh adalah jika ia tidak aman dari kekhawatiran akan menganggapnya termasuk sebagai Puasa Ramadhan. Maka yang demikian ini ada mirip (tasyabbuh) dengan orang-orang Nasrani, dan hal ini sekarang sudah hilang. ” [Ibnu ‘Abidin Al-Hanafi (w. 1252 H), Raddul Muhtar ‘alad Durril Mukhtar].
Lebih lanjut, Ibnu ‘Abidin menjelaskan:
وَمِثْلُهُ فِي كِتَابِ النَّوَازِلِ لِأَبِي اللَّيْثِ وَالْوَاقِعَاتِ لِلْحُسَامِ الشَّهِيدِ وَالْمُحِيطِ الْبُرْهَانِيِّ وَالذَّخِيرَةِ؛ وَفِي الْغَايَةِ عَنْ الْحَسَنِ بْنِ زِيَادٍ أَنَّهُ كَانَ لَا يَرَى بِصَوْمِهَا بَأْسًا وَيَقُولُ كَفَى بِيَوْمِ الْفِطْرِ مُفَرِّقًا بَيْنَهُنَّ وَبَيْنَ رَمَضَانَ اهـ وَفِيهَا أَيْضًا عَامَّةُ الْمُتَأَخِّرِينَ لَمْ يَرَوْا بِهِ بَأْسًا.
Artinya: “Demikian juga terdapat dalam kitab An-Nawazil karya Abu Al-Laits, Al-Waaqi’aat karya Husam, Asy-Syahid, Al-Muhith Al-Burhani dan Adz-Dzakhirah. Dan dalam Al-Ghayah dari Al-Hasan bin Ziyad sesungguhnya ia berpendapat bahwa puasa tersebut adalah tidak mengapa. Ia berkata bahwa cukuplah Idul Fitri sebagai pemisah antara Puasa 6 Hari Syawal dengan Puasa Ramadhan. Demikian juga pendapat para Muta`akhirin bahwa puasa tersebut adalah tidak mengapa.” [Ibnu ‘Abidin, Raddul Muhtar]
2. Malikiyah
Ibnu Rusyd, dari kalangan Malikiyah mengatakan bahwa Imam Malik memakruhkan Puasa 6 Hari Syawal karena khawatir orang-orang akan mengabungkannya dengan Ramadhan apa yang bukan Ramadhan dan mungkin karena tidak sampainya hadits tentang hal ini kepada Imam Malik atau juga mungkin karena belum adanya hadis Shahih yang sampai kepada Imam Malik perihal Puasa ini. Ibnu Rusyd berkata:
إِلَّا أَنَّ مَالِكًا كَرِهَ ذَلِكَ، إِمَّا مَخَافَةَ أَنْ يُلْحِقَ النَّاسُ بِرَمَضَانَ مَا لَيْسَ فِي رَمَضَانَ، وَإِمَّا لِأَنَّهُ لَعَلَّهُ لَمْ يَبْلُغْهُ الْحَدِيثُ أَوْ لَمْ يَصِحَّ عِنْدَهُ وَهُوَ الْأَظْهَرُ
Artinya: “..hanya saja sesungguhnya Imam Malik menghukumi Makruh hal itu (Puasa 6 Hari Syawal), ada kalanya karena khawatir manusia akan menggabungkannya dengan Ramadhan apa yang bukan Ramadhan, dan ada kalanya sesungguhnya mungkin hadits tentang hal ini belum sampai kepada beliau atau meungkin menurutnya belum ada hadis Shahih menurut beliau tentang hal ini, dan inilah pendapat yang paling Zhahir .”[Ibnu Rusyd (w. 595 H), Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul muqtashid]
Jika tidak ada kekhawatiran akan penggabungan puasa Syawal dengan Ramadhan, maka hukum puasa tersebut menurut Imam Malik adalah Mustahab:
وَاسْتَحَبَّ مَالِكٌ صِيَامَهَا فِي غَيْرِهِ خَوْفًا مِنْ إِلْحَاقِهَا بِرَمَضَانَ عِنْدَ الْجُهَّال
Artinya: “Imam Malik menghukumi Mustahab terhadap Puasa (6 Hari Syawal) jika tanpa kekhawatiran menggabungkannya dengan Ramadhan bagi kalangan orang-orang bodoh.” [Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah]
3. Syafi’iyah dan Hanabilah
Menurut Syafi’iyah, hukum puasa sunnah adalah Sunnah (Syafi’iyah tidak membedakan antara Sunnah, Tathawwu’, Mandub dan Mustahab). Dalam hal ini pendapat Hanabilah sama dengan Syafi’iyah. Imam Nawawi (w. 676 H), dari kalangan Syafi’iyah berkata:
فِيهِ دَلَالَةٌ صَرِيحَةٌ لِمَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَدَاوُدَ وَمُوَافِقِيهِمْ فِي اسْتِحْبَابِ صَوْمِ هَذِهِ السِّتَّةِ
Artinya: “Hadits ini adalah dalil yang jelas bagi Madzhab Syafi’i, Ahmad (bin Hanbal), Daud dan yang sependapat dengan mereka dalam menetapkan hukum Mustahab bagi Puasa 6 hari ini (Puasa 6 Hari Syawal).” [Abu Zakarya An-Nawawi (w. 676 H), Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj]
Ibnu Qudamah Al-Hanbali menyimpulkan bahwa hukum Puasa 6 Hari Syawal adalah sunah menurut mayoritas ahli ilmu:
وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ صَوْمَ سِتَّةِ أَيَّامٍ مِنْ شَوَّالٍ مُسْتَحَبٌّ عِنْدَ كَثِيرٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ
Artinya: “kesimpulannya adalah sesungguhnya Puasa 6 Hari Syawal adalah Mustahab menurut mayoritas ahli ilmu.” [Ibnu Qudamah Al-Maqdisi Al-Hanbali (w. 620 H), Al-Mughni].
Waktu Pelaksanaan
Puasa 6 Hari Syawal sunnah dikerjakan sejak awal Syawal (tanggal 2 Syawal) dan boleh juga diakhirkan. Apalagi Anda yang masih mengunjungi sanak famili, itu juga satu kebaikan. Dan, Anda tau tradisi berkunjung usai lebaran pasti identik dengan makan. Bahkan tradisi massiarah (Bugis) itu dimaknai oleh anak-anak itu "makan-makan". Tapi kalau sudah selesai berkunjung atau saling mengunjungi, maka sudah waktunya berpuasa sunnat. Tentang ketentuan waktunya, Imam An-Nawawi berkata:
قَالُوا وَيُسْتَحَبُّ ان يصومها متتايعة فِي أَوَّلِ شَوَّالٍ فَإِنْ فَرَّقَهَا أَوْ أَخَّرَهَا عن أول شَوَّالٍ جَازَ وَكَانَ فَاعِلًا لِأَصْلِ هَذِهِ السُّنَّةِ لِعُمُومِ الْحَدِيثِ وَإِطْلَاقِهِ وَهَذَا لَا خِلَافَ فِيهِ عِنْدَنَا وَبِهِ قَالَ أَحْمَدُ وداود
Artinya: “Mereka mengatakan bahwa disunnahkan berpuasa 6 Hari Syawal secara berkesinambungan di awal Syawal. Jika dipisah-pisah ataupun diakhirkan, maka diperbolehkan. Hal ini adalah mengamalkan pokok kesunnahan ini berdasarkan universalitas dan kemutlakan Hadits. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di antara pengikut Madzhab Syafi’i. Yang demikian ini juga menurut Imam Ahmad dan Daud.” [Abu Zakarya An-Nawawi (w. 676 H), Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab]
1 Syawal Haram Puasa
Sebagai catatan, seluruh Fuqaha' sepakat bahwa puasa pada tanggal 1 Syawal hukumnya adalah haram. Maka yang dimaksud dengan awal Syawal atau menggabungkan dengan Ramadhan dalam pembahasan di atas adalah minus tanggal 1 Syawal. Idul fitri, salah satu maknanya adalah "kembali berbuka". Karena itu, 1 Syawal adalah hari berbuka dan pada dasarnya haram berpuasa pada hari itu.
Syaikh Wahbah Az-Zuhaili berkata:
صوم عيد الفطر والأضحى وأيام التشريق بعده: مكروه تحريماً عن الحنفية، حرام لا يصح عند باقي الأئمة، سواء أكان الصوم فرضاً أم نفلاً، ويكون عاصياً إن قصد صيامها
Artinya: “Puasa ‘Idul Fitri, ‘Idul Adha dan Hari-hari Tasyriq sesudah Idul Adha adalah Makruh Tahrim menurut Hanafiyah dan Haram tidak Sah menurut Imam-imam lain (Maliki, Syafi’i dan Hanbali), baik itu puasa fardhu maupun sunnah. Seseorang dihukumi sebagai pelaku maksiat jika sengaja puasa pada hari-hari tersebut.” [Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh]
Dengan demikian, kesunnahan puasa 6 hari Syawal berlaku sejak tanggal 2 Syawal, bukan tanggal 1 Syawal. Sebab, tanggal 1 Syawal merupakan hari dimana umat Islam haram berpuasa.
6 Hari, Haruskan Berturut-turut?
Seperti yang saya katakan sebelumnya, puasa 6 Hari Syawal lebih utama dikerjakan pada tanggal 2 Syawal secara berurutan selama 6 hari hingga tanggal 7 Syawal. Namun, boleh juga dikerjakan secara terpisah-pisah, hari ini puasa, besok tidak, lusa puasa lagi dan dilanjutkan minggu depan, misalnya. Syaikh Wahbah Az-Zuhaili berkata:
صوم ستة أيام من شوال، ولو متفرقة، ولكن تتابعها أفضل عقب العيد مبادرة إلى العبادة
Artinya: “(Puasa-puasa Tathawu’ adalah) Puasa 6 Hari bulan Syawal walaupun secara terpisah-pisah, tetapi jika dilakukan secara berbesinambungan sejak setelah ‘Idul Fitri adalah lebih utama karena yang demikian ini adalah bersegera dalam beribadah.” [Az-Zuhaili, Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh].
Keutamaan-Keutamaan
1. Setara Puasa Satu Tahun
Pahala dari puasa sunah Syawal enam hari setara dengan puasa setahun. Hal tersebut tercantum juga dalam Hadis Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim. “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian ia ikuti dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka ia akan mendapat pahala seperti puasa setahun penuh.”
Ada yang menghitungnya secara kuantitatif. Sebagaimana dalam hadis di atas bahwa orang yang Ramadhan kemudian melanjutkannya dengan puasa Sunnah 6 Hari Syawal adalah bagaikan puasa satu tahun. Hitungannya adalah 30 puluh hari puasa di bulan Ramadhan adalah senilai 300 hari dan 6 hari Syawal adalah senilai 60 hari, jadi totalnya adalah 360 hari atau setara dengan satu tahun. Meski nyatanya Syawal tidak cukup 30 hari (apalagi dikurangi 1 hari , yaitu tanggal 1 Syawal) tetap dihitung 30 hari. Abul Hasan Al-Mawardi Asy-Syafi’i berkata:
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُعْطِي بِالْحَسَنَةِ عَشْرًا فَتَحْصُلُ لَهُ بِشَهْرِ رَمَضَانَ وَهُوَ ثَلَاثُونَ يَوْمًا بِثَلَاثِمِائَةِ حَسَنَةٍ وَبِسِتَّةٍ مِنْ شَوَّالٍ سِتُّونَ حَسَنَةً، وَذَلِكَ عَدَدُ أيام السنة
Artinya: “Sesungguhnya Allah ta’ala menganugerahkan kebaikan dengan sepuluh kali lipat. Maka puasa 30 hari bulan Ramadhan adalah senilai 300 hari dan puasa 6 hari Syawal adalah senilai 60 hari. Jika dijumlahkan nilainya adalah jumlah hari selama setahun.” [Abul Hasan Al-Mawardi Asy-Syafi’i (w. 450 H), Al-Hawi Al-Kabir].
2. Menyempurnakan Ibadah
Keutamaan puasa syawal selanjutnya yakni menyempurnakan ibadah. Seperti ibadah salat sunnah, di mana tindakan tersebut bisa menutup kekurangan dan menyempurnakan ibadah wajib. Khususnya kekurangan yang ada selama bulan Ramadhan.
Ibnu Rajab menjelaskan keutamaan puasa Syawal :"Balasan dari amalan kebaikan adalah amalan kebaikan selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan kebaikan lalu dia melanjutkan dengan kebaikan lainnya, maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula barangsiapa yang melaksanakan kebaikan lalu malah dilanjutkan dengan amalan kejelekan, maka ini adalah tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan." (Latho-if Al Ma’arif, hal. 394.)
3. Tanda Diterimanya Amalan Puasa Ramadhan
Jika Allah Swt. menerima amalan puasa Ramadhan, maka Dia akan menunjuki amalan lainnya. Di antaranya adalah puasa Syawal enam hari. Kalau selama ini seseorang itu hanya mengerjakan yang wajib, kemudian sekarang ia mengerjakan pula yang sunnat maka itu berarti semakin dengan Allah dan Rasulullah Saw. Itu sekaligus menunjukkan kemungkinan besar sebagai pertanda diterimanya amalan wajibnya yang telah ia kerjakan sebelum yang sunnat itu.
4. Ganjaran 10 Kali Lipat
Menjalani puasa Syawal enam hari dapat membuat kalian diberi ganjaran berupa pahala sepuluh kali lipat. Hal ini telah dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Ayyub yang berbunyi, "Barangsiapa mengerjakan puasa enam hari bulan Syawal selepas 'Iedul Fitri berarti ia telah menyempurnakan puasa setahun penuh. Dan setiap kebaikan diganjar sepuluh kali lipat."
5. Mendapat Pertolongan Rasulullah Saw.
Dalam hadis riwayat At Tirmidzi disebutkan, "Barangsiapa yang menghidupkan sunnahku maka sungguh ia mencintaiku, dan siapa yang mencintaiku bersamaku di surga."
6. Tanda Peningkatan Iman
Terakhir, keutamaan puasa syawal adalah sebagai tanda peningkatan iman. Orang yang berpuasa Syawal bisa dikatakan bila imannya sebagai seorang muslim atau muslimah telah meningkat. Karena itu lah, bulan ini dikenal sebagai bulan Syawal yang memiliki arti bulan peningkatan.
Penutup
Puasa 6 hari di bulan Syawal memiliki pijakan dalil yang kuat. Hukumnya disepakati sebagai sunnat. Jika Anda sempat dan mampu melaksanakannya maka kerjakanlah, karena ibadah ini mengandung banyak keutamaan. Dan, mudah-mudahan Anda dan kita semua memperoleh keutamaannya itu. Lebih utama apabila dilaksanakan secara berturut-turut 6 hari. Namun, jika tidak bisa berturut-turut maka tidak masalah dikerjakan secara tidak berturut-turut selama dalam bulan Syawal.
Wallahu A'lam.
0 komentar