BLANTERORBITv102

    I'TIKAF DI 10 TERAKHIR RAMADHAN

    Sabtu, 01 Mei 2021

    Penulis: Muhamad Yusuf

    Dosen UIN Alauddin dan STAI Al-Furqan Makassar

    Manggarupi-Gowa, 02-05-2021

    Pendahuluan

    Menjelang akhir bulan suci Ramadhan, -tepatnya di 10 terakhir - beberapa orang memutuskan untuk beri’tikaf di masjid demi menyempurnakan ibadah puasa. Hal itu merupakan sunnah Rasulullah Saw..

    “Nabi Saw. biasa beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian sesudah wafatnya istri-istrinya juga beri’tikaf.” (HR Muttafaq ‘alaih).

    Beri’tikaf membutuhkan niat yang kuat. Seseorang akan tinggal di masjid dalam jangka waktu yang diinginkan. Ketika beri’tikaf, seseorang akan memperbanyak ibadah, baik ibadah wajib maupun sunnah.

    Pengertian

    Dalam bahasa Arab, arti i'tikaf adalah berdiam diri atau menetap di suatu tempat. Secara istilah, arti i'tikaf adalah berdiam diri di masjid dalam tempo tertentu untuk beribadah dengan niat karena Allah Swt. (Laman Muhammadiyah).

    Itikaf sendiri ialah berhenti/berdiam di dalam masjid dengan syarat-syarat tertentu, dengan semata-mata untuk niat beribadah kepada Allah Swt. Jika menurut Bahasa, itikaf berasal dari kata “akafa” yang bermakna “memenjarakan’. Dikutip dari Rumah Fiqh Indonesia, itikaf merupakan ibadah dengan memenjarakan diri di dalam masjid. Orang yang beritikaf menyibukkan diri dengan pelbagai ibadah baik salat, zikir, maupun membaca Al-Qur'an.

    Waktu I'tikaf & Tata Caranya saat Pandemi Covid-19

    I'tikaf sangat dianjurkan untuk dilaksanakan pada bulan Ramadhan dan bertempat di masjid-masjid. Namun, bagaimana sebaiknya pelaksanaan i'tikaf di tengah pandemi? 

    Salah satu amalan sunah yang dianjurkan bagi umat Islam untuk dilaksanakan, terutama sekali di sepertiga akhir Ramadhan, adalah i'tikaf di masjid. I'tikaf bisa menjadi sarana meningkatkan amal ibadah untuk mencari dan menyambut Lailatul Qadar yang berpeluang besar datang di 10 malam terakhir Ramadhan.

    Pensyariatan i'tikaf ini tertera dalam hadis yang diriwayatkan Aisyah r.a. ia berkata:

    “Nabi Muhammad Saw. melakukan i'tikaf pada hari kesepuluh terakhir dari Ramadhan, [beliau melakukannya] sejak datang di Madinah sampai beliau wafat, kemudian istri-istri beliau melakukan i'tikaf setelah beliau wafat," (HR. Muslim).

    Sebagaimana disebutkan di atas, tujuan i'tikaf adalah untuk beribadah kepada Allah Swt. Dengan menetapkan waktu khusus di masjid, seseorang diharapkan dapat lebih khusyuk melakukan ibadah daripada di rumah.

    Melalui i'tikaf, seorang muslim bisa memakmurkan masjid pada bulan Ramadhan, sambil berzikir, bermuhasabah, mengharapkan rahmat dan ridha Allah Swt, mendengarkan ceramah agama, serta bergaul dengan orang-orang saleh. Hal seperti itu belum tentu dapat diperoleh di rumah.

    I'tikaf dapat dilaksanakan dalam beberapa waktu tertentu, misal selama 1 jam, 2 jam, 3 jam, atau bahkan sehari semalam. Anda dapat melacak pandangan ini di Muhammadiyah Chanel.

    Soal tempat i'tikaf, menurut Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, masjid jami atau masjid yang biasa dipakai untuk salat Jumat lebih diutamakan. Namun, masjid biasa pun tetap boleh buat tempat i'tikaf.

    Pada dasarnya tempat i'tikaf itu masjid. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt. “… Tetapi, jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beri'tikaf dalam masjid.” (QS Al-Baqarah: 187).

    Merujuk sumber yang sama, sejumlah amalan yang bisa dilaksanakan oleh orang yang melakukan i’tikaf ialah shalat sunnah, membaca Al-Qur'an (tadarus Al-Qur’an), berdzikir, berdoa, atau dapat pula membaca buku-buku agama.

    Saat i'tikaf, seorang muslim sebaiknya tidak menyia-nyiakan waktunya dengan tidur, berbincang-bincang dengan peserta i'tikaf lain, bermain ponsel, dan lain sebagainya.

    Sebelum melakukan i'tikaf, seorang muslim dapat membaca lafal niat i'tikaf berikut ini:

    نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ مَا دُمْتُ فِيهِ

    Bacaan latinnya: "Nawaitu an a‘takifa fī hādzal masjidi mā dumtu fīh."

    Artinya: "Saya berniat i'tikaf di masjid ini selama saya berada di dalamnya."

    Aktivitas di Masjid saat Pandemi Covid-19

    Pada dasarnya, i'tikaf mesti dilakukan di masjid. Namun, pemerintah sudah menyusun sejumlah panduan ibadah di masjid selama pandemi Covid-19, yang hingga tahun ini belum mereda (NU Online).

    Tahun ini, pelaksanaan ibadah pada bulan puasa bisa mengacu pada Surat Edaran (SE) Nomor 03 Panduan Ibadah Ramadan dan Idul Fitri 1442 Hijriyah/2021, dan SE Nomor 04 Tahun 2021 tentang Perubahan SE Nomor 03 tersebut.

    Berdasarkan SE di atas, pada wilayah yang termasuk kategori zona hijau dan kuning dengan risiko penyebaran Covid-19 rendah, maka masjid atau musala dapat menyelenggarakan aktivitas ibadah berjemaah, termasuk i'tikaf.

    Kendati demikian, masyarakat di zona hijau dan kuning tetap diimbau menaati protokol kesehatan dengan ketat, mengisi masjid paling banyak 50% kapasitas jemaahnya, menjaga jarak aman satu meter antarjemaah, dan setiap orang membawa perlengkapan ibadahnya masing-masing.

    Sementara di wilayah zona merah yang risiko penyebaran Covid-19 tergolong tinggi, masjid tidak boleh menjalankan kegiatan ibadah secara berjemaah, serta masyarakat diimbau untuk i'tikaf di rumah. Lalu, bagaimana hukum'di rumah?

    Hukum I'tikaf di Rumah saat Pandemi Covid-19

    Kaidah dalam Islam adalah "mencegah dampak buruk harus lebih diprioritaskan daripada mengambil maslahat". Bahkan jika terpaksa harus memilih dua mudarat (resiko) maka harus memilih resiko yang lebih ringan (ارتكاب اخف الضررين).

    Dalam konteks pandemi Covid-19, sebagai langkah preventif dan berhati-hati untuk mencegah penyebaran Covid-19, umat Islam di Indonesia, terutama yang berada di zona merah, sebaiknya melakukan i'tikaf di rumah saja.

    Sebenarnya, rumah keluarga muslim dianjurkan untuk memiliki ruangan khusus tempat ibadah. Ruang ibadah itu bisa dikategorikan sebagai masjid, jika merujuk pada pendapat sebagian ulama mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi'i. Tapi, untuk Ramadhan pada tahun ini, i'tikaf mestinya dilakukan di masjid, karena masjid-masjid diizinkan beroperasi dengan ketentuan mengikuti protokol kesehatan.

    Dalam bahasa Arab, masjid artinya ialah tempat sujud. Namun, maknanya sudah kadang melekat dengan tempat ibadah yang lazim dijumpai sekarang. Bahkan, ulama mazhab Hanafi, Ibnu Abidin menyatakan "yang dimaksud masjid rumah adalah ruangan untuk ibadah sunah dan salat sunah, dengan gambaran dalam ruangan tersebut terdapat mihrab, ruangan tersebut dibersihkan dan diberi wewangian," demikian dikutip dari kitab Haasyiah Ibnu Abidin.

    Artinya, pemaknaan masjid, menurut Ibnu Abidin lebih longgar daripada sekadar masjid yang kita kenal sekarang. Tempat sujud yang dikhususkan untuk beribadah bisa disebut masjid, sekalipun lokadinya berada di rumah.

    Jika kondisi pandemi masih dinilai berbahaya maka pendapat yang membolehkan i'tikaf di rumah dapat dipraktikkan oleh umat Islam Indonesia. Pendapat ini menemukan relevansinya pada Ramadhan tahun lalu. Maka, untuk tahun ini sudah dibolehkan kegiatan ibadah di masjid-masjid termasuk i'tikaf. Tentu saja, dengan tetap mematuhi protokel kesehatan. 

    Pendapat Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, yang dikutip Suara Muhammadiyah, juga menyatakan i'tikaf bisa dilakukan di masjid rumah, yakni sudut rumah yang menjadi tempat bersujud, selama pandemi Covid-19 belum mereda.

    Namun, dalam keadaan normal, i'tikaf dilakukan di masjid, sesuai dengan pendapat jumhur ulama dari empat mazhab, yaitu mazhab Hanafi, Syafi'i, Hanbali, dan Mailiki.

    Esensi I'tikaf

    Rangka­ian i’tikaf harus diawali dengan niat. I’tikaf bisa beberapa hari, khususnya pada 10 hari tera­khir ('asyr awakhir) bulan Ramadlan. dan bisa juga beberapa saat. Inti i’tikaf sesungguhnya ialah ibadah rohani, yaitu dengan melakukan muhasabah atau mujahadah. Sebagian ulama berpendapat kalau saja orang bisa melakukan muhasabah dengan dengan baik maka sesung­guhnya lebih baik baginya dari pada shalat su­nat. Muhasabah bisa diisi dengan dzikir, wirid, tafakkur dan tadzakkur atau amaliah lainnya.

    Sesungguhnya zikir dan wirid sama, hanya bedanya dzikir menyebut dan mengingat na­ma-nama Allah secara umum tanpa ketentuan; sedangkan wirid ialah dzikir yang sudah diatur jumlah dan ketentuannya secara rutin. Tafakkur sudah tidak ada lagi bacaan dan hitungan. Yang ada ialah mengingat dan merenung masa lam­pau kita yang kelam lalu memohonkan ampun kepada Allah Swt. 

    Sedangkan tadzakkur, sudah tidak ada lagi ingatan yang aktif. Yang ada han­yalah ketenangan, kebisuan, dan kepasrahan. Tadzakkur ketika orang sedang berada pada puncak kekhusyukan, sehingga ia seolah-olah tidak menyadari diri kalau ia sesungguhnya be­rada pada tingkat kesadaran paling tinggi, ting­katan kesadaran para auliya' dan para Nabi.

    I’tikaf sesungguhnya ialah bagaimana menca­pai dan mempertahankan kondisi kebahagiaan batin tenang, memperkuat optimisme dan se­mangat juang (al-raja' wa al-mujahadah) di da­lam diri. Seseorang perlu sesekali mengecoh kehidupan dunianya dengan melakukan halwat atau takhannus seperti yang pernah dilakukan Nabi di Goa Hira, ketika ia sedang hidup berke­cukupan di samping istrinya Khadijah yang kaya dan bangsawan. 

    Untuk kehidupan kita sekarang ini, mungkin tidak perlu mencari goa yang terpencil atau jauh-jauh meninggalkan ke­diaman dan keluarga. Yang paling penting ada suasana 'uzlah (pemisahan diri) sementara dari hiruk pikuknya pikiran ke sebuah tempat yang sejuk dan nyaman.

    Ketika kita beri'tikaf dalam masjid kita berni­at untuk beri'tikaf karena Allah. Di sanalah kita mengecoh pikiran dan tradisi keseharian kita dengan membaca Al-Qur'an lebih banyak, sha­lat, tafakkur dan berzikir. Niatkan bahwa masjid ini adalah goa Hira atau goa Kahfi, yang per­nah mengorbitkan kekasih-kekasih Tuhan, Nabi Muhammad dan Ashhabul Kahfi, melejit ke atas dan mendapatkan pencerahan. 

    Kualitas i’tikaf dapat diukur seberapa tenang dan pas­rah pikiran dan hati di dalam menjalankannya. Terkadang tidak terasa kita berada pada ujung malam tanpa sedikitpun merasakan rasa ngan­tuk dan kelelahan. I'tikaf dirasakan sebagai sesuatu yang sangat menyenangkan dan sa­masekali tidak dirasakan sebagai beban.  

    Penutup

    I'tikaf si 10 terakhir Ramadhan merupakan cara ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. I'tikaf merupakan salah satu sunnah Rasulullah Saw.  I'tikaf mempunyai dasar yang jelas baik dalam Al-Qur'an maupun dalam Sunnah.