BLANTERORBITv102

    BERHALAL BIHALAL & PANDEMI COVID-19

    Senin, 17 Mei 2021

    Mico, 18-05-2021

    Penulis: Muhamad Yusuf 

    Prolog

    Seperti halnya dengan larangan mudik lebaran idul fitri, halal bi halal juga satu daftar acara tahunan yang dilarang Surat Edaran Mendagri tentang Pengendalian dan Pencegahan Penularan Covid-19. Padahal, halal bi halal merupakan ciri khas masyarakat Indonesia yang berlebaran idul fitri. 

    Tradisi halal bi halal merupakan tradisi produk masyarakat muslim Indonesia. Ketika Anda mencari rujukan dari negara berpenduduk muslim misalnya Anda tidak menemukan. Begitu pula jika Anda mencari akar sunnah dari Nabi Saw. Ataupun mencari teks Al-Qur'an secara eksplisit, memang tidak ditemukan. Mengapa? Iya, memang, karena halal bihalal merupakan produk asli Indonesia. 

    Dalam kaidah Islam, hal-hal yang bersifat muamalat hukum asalnya adalah boleh (mubah) sampai adanya dalil menentangnya. Berbeda halnya dengan soal ibadah, hukum asalnya adalah haram hingga adanya dalil yang menunjukkan ketidakharamannya. 

    Dalam konteks tersebut, halal bihalal merupakan aspek muamalat, bukan ibadah. Dengan demikian hukum asalnya adalah (mubah). Dan, tidak ditemukan adanya dalil yang menyelisihinya. Jika demikian maka halal bihalal tetap pada hukum asalnya, yaitu noleh )mubah). Bagaimana argumen-argumen pembolehannya? Kita simak narasi berikut ini.

    Halal Bi Halal dalam Beberapa Tinjauan

    Makna halal bi halal adalah saling bermaafan di hari lebaran. Lebih tepatnya halal bi halal adalah kegiatan silaturahmi di mana diisi dengan saling maaf memaafkan selama hari raya idul fitri. 

    Halal bi halal sudah menjadi tradisi di Indonesia. Walaupun kata halal bi halal merupakan kata dari Bahasa Arab, namun orang Arab tidak akan mengerti maknanya karena halal bi halal ini hanya ada di Indonesia dan merupakan kreasi sendiri orang Indonesia.

    Makna halal bi halal bertujuan untuk menciptakan keharmonisan antar sesama manusia. Jadi walaupun merupakan kata kreasi tersendiri dari orang Indonesia, hakikat halal bi halal adalah hakikat ajaran Al-Quran.

    Makna Halal Bi Halal

    Tidak Ada Istilah Halal Bihalal dalam Bahasa Arab. Menurut Ensiklopedi Islam, 2000, hingga abad sekarang; baik di negara-negara Arab maupun di negara Islam lainnya (kecuali di Indonesia) tradisi ini tidak memasyarakat atau tidak ditemukan. Halal bihalal bukan bahasa Arab. 

    Ensiklopedi Indonesia, 1978, menyebutkan halal bi halal berasal dari bahasa (lafadz) Arab yang tidak berdasarkan tata bahasa Arab (ilmu nahwu), sebagai pengganti istilah silaturahmi. Sebuah tradisi yang telah melembaga di kalangan Muslim Indonesia.

    Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan halal bihahal sebagai “acara maaf-memaafkan pada hari Lebaran”. Jadi, substansi Halal Bi Halal adalah kegiatan silaturrahim dan saling memaafkan.

    Berbeda dengan pendapat yang mengatakan istilah halal bihalal bukan dari bahasa Arab, justru menurut Prof Dr Quraish Shihab, halal bihalal merupakan kata majemuk yang terdiri atas pengulangan kata bahasa Arab halal diapit satu kata penghubung ba (baca, bi) (Shihab, 1992).

    Dikatakan, meski dari bahasa Arab, yakinlah, orang Arab sendiri tidak akan mengerti makna sebenarnya halal bihalal karena istilah halal bihalal bukan dari Al-Quran, hadis, ataupun orang Arab, tetapi ungkapan khas dan kreativitas bangsa Indonesia. 

    Meski “tidak jelas” asal-usulnya, hahal bihalal adalah tradisi sangat baik, karena ia mengamalkan ajaran Islam tentang keharusan saling memaafkan, saling menghalalkan, kehilafan antar-sesama manusia.

    Ada juga yang melihat dari tinjauan bahasa atau linguistik. Kata halal dari segi bahasa terambil dari kata halla atau halala yang mempunyai berbagai bentuk dan makna sesuai rangkaian kalimatnya. Makna-makna tersebut antara lain, menyelesaikan problem atau kesulitan atau meluruskan benang kusut atau mencairkan yang membeku atau melepaskan ikatan yang membelenggu.  

    Dengan demikian, jika kita memahami kata halal bihalal dari tinjauan kebahasaan ini, seorang akan memahami tujuan menyambung apa-apa yang tadinya putus menjadi tersambung kembali. Hal ini dimungkinkan jika para pelaku menginginkan halal bihalal sebagai instrumen silaturrahim untuk saling maaf-memaafkan sehingga seseorang menemukan hakikat Idul Fitri. 

    Halal yang dituntut adalah halal lagi thayyib, yang baik lagi menyenangkan. Dengan kata lain, Al-Qur’an menuntut agar setiap aktivitas yang dilakukan oleh setiap Muslim harus merupakan sesuatu yang baik dan menyenangkan bagi semua pihak. Inilah yang menjadi sebab mengapa Al-Qur’an tidak hanya menuntut seseorang untuk memaafkan orang lain, tetapi juga lebih dari itu yakni berbuat baik terhadap orang yang pernah melakukan kesalahan kepadanya. 

    Dari semua penjelasan di atas dapat ditarik kesan bahwa halal bihalal menuntut pelaku yang terlibat di dalamnya agar menyambungkan hubungan yang putus, mewujudkan keharmonisan dari sebuah konflik, serta berbuat baik secara berkelanjutan. 

    Kesan yang berupaya diejawantahkan Kiai Wahab Chasbullah di atas lebih dari sekadar saling memaafkan, tetapi mampu menciptakan kondisi di mana persatuan di antara anak bangsa tercipta untuk peneguhan negara. Sebab itu, halal bihalal lebih dari sekadar ritus keagamaan, tetapi juga kemanusiaan, kebangsaan, dan tradisi yang positif.  

    Makna Halal bi Halal dalam Tinjauan Hadis

    Makna halal bi halal yaitu silaturahmi dan saling memaafkan. Seperti yang telah diketahui, halal bi halal adalah kegiatan silaturahmi dan asling memaafkan yang merupakan risalah islam, dan makna halal bi halal ini tidak terbatas hanya pada saat idul fitri saja. Adapun tujuannya adalah sesuai dengan hadits Nabi Muhammad Saw. berikut:

    “Barangsiapa yang telah menganiaya kepada orang lain baik dengan cara menghilangkan kehormatannya ataupun dengan sesuatu yang lain maka mintalah halalnya pada orang tersebut seketika itu, sebelum adanya dinar dan dirham tidak laku lagi (sebelum mati). Apabila belum meminta halal sudah mati, dan orang yang menganiaya tadi mempunyai amal sholeh maka diambilah amal sholehnya sebanding dengan penganiayaannya tadi. Dan apabila tidak punya amal sholeh maka amal jelek orang yang dianiaya akan diberikan pada orang yang menganiaya”. (HR. Al Bukhori)

    Banyak hadits yang sangat mementingkan makna halal bi halal atau menjaga silaturahmi dan saling memaafkan, diantaranya adalah:

    Nabi Muhammad Saw. bersabda:

    "Siapa saja yang ingin diluaskan rizkinya dan dipanjangkan pengaruhnya, maka sambunglah tali persaudaraan" (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

    Nabi Muhammad Saw. bersabda: "Tidak ada dosa yang pelakunya lebih layak untuk disegerakan hukumannya di dunia dan di akhirat daripada berbuat zalim dan memutuskan tali persaudaraan" (HR. Ahmad dan al-Tirmidzi).

    Nabi Muhammad Saw. bersabda: "Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka sambunglah tali silaturrahmi" (HR. Al-Bukhari).

    Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Tidak ada dua orang muslim yang bertemu kemudian bersalaman kecuali dosa keduanya diampuni oleh Allah swt sebelum mereka berpisah.” (HR. Tirmidzi)

    Makna Halal bi Halal dalam Tinjauan Al-Quran

    Selain itu, di dalam Al-Quran juga disebutkan tentang betapa pentingnya makna halal bi halal dengan menjaga silaturahmi dan saling bermaafan. Sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam surat Al-A’raf ayat 199 dan surat Ar-Ra’du ayat 21.

    "Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh" (QS. Al-A'raf:199)

    “Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah swt perintahkan supaya dihubungkan (Yaitu mengadakan hubungan silaturahim dan tali persaudaraan).” (QS. Ar Ra’du : 21)

    Istilah Halal Bi Halal tidak ada dalam bahasa Arab. Makna halal bi halal tentunya lebih dipahami oleh orang Indonesia sebagai pencetus istilah halal bi halal ini. Walaupun kata tersebut diambil dari Bahasa Arab, halal bi halal merupakan kreasi orang Indonesia dari zaman dulu. Kata ini dipakai sebagai pengganti istilah silaturahmi dan telah menjadi tradisi di Indonesia saat lebaran.

    Halal merupakan lawan kata dari haram. Jadi dari segi hukum makna halal bi halal memberikan kesan bahwa akan terbebas dari dosa seseorang yang melakukannya. Jadi makna halal bi halal menurut tinjauan hukum, membuat sikap yang haram menjadi halal atau tidak berdosa lagi. tentunya hal ini harus didukung dengan saling memaafkan secara lapang dada.

    Selain itu, kata halal menurut tinjauan bahasa atau linguistik berasal dari kata halla atau halala. Makna halal bi halal dalam hal ini adalah menyelesaikan masalah atau kesulitan, meluruskan benang kusut, mencairkan yang membeku, melepaskan ikatan yang membelenggu. Dengan melaksanakan halal bi halal untuk silaturahmi dan saling memaafkan, maka seseorang akan menemukan hakikat idul fitri.

    Anjuran Halal bi Halal

    Makna halal bi halal selanjutnya dapat ditinjau secara Qurani atau menurut Al-Quran. Al-Quran menuntut halal yang baik dan menyenangkan. Jadi seluruh umat muslim dituntut untuk melaksanakan aktivitas yang baik dan menyenangkan bagi semua orang yang terlibat.

    Bahkan Al-Quran tidak hanya menuntut sesorang untuk memaafkan orang lain, namun juga berbuat baik terhadap orang yang melakukan kesalahan kepadanya. Oleh karena itu, makna halal bi halal yang sebenarnya adalah menyambungkan hubungan yang putus, mewujudkan keharmonisan dari sebuah konflik, serta berbuat baik secara berkelanjutan.

    Jadi halal bi halal tidak hanya sekedar saling memaafkan saja, namun juga menciptakan kondisi persatuan. Halal bi halal buka hanya sekadar ritual keagamaan, tapi juga merupakan tradisi kemanusiaan dan kebangsaan yang baik.

    Hakikat & Fakta Halal Bi Halal

    Prof. M. Quraish Shihab memberi catatan, tujuan halal bihalal adalah dalam rangka menciptakan keharmonisan antara sesama. Kata “halal” biasanya dihadapkan dengan kata haram. Haram adalah sesuatu yang terlarang sehingga pelanggarannya berakibat dosa dan mengundang siksa. Sementara halal adalah sesuatu yang diperbolehkan dan tidak mengundang dosa.

    Jika demikian, halal bihalal adalah menjadikan sikap kita terhadap pihak lain yang tadinya haram dan berakibat dosa, menjadi halal dengan jalan mohon maaf. Bentuknya (halal bihalal) memang khas Indonesia, namun hakikatnya adalah hakikat ajaran Islam.

    Halal Bihalal, yaitu berkumpul untuk saling memaafkan dalam suasana lebaran, adalah sebuah tradisi khas umat Islam Indonesia. 

    Menurut Drs. H. Ibnu Djarir (MUI Jateng), sejarah atau asal-mula halal bihalal ada beberapa versi. Menurut sebuah sumber yang dekat dengan Keraton Surakarta, tradisi halal bihalal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. 

    Untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri.

    Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam, dengan istilah halal bihalal. 

    Faktanya, halal bihalal merupakan kegiatan silaturahmi atau silaturahim [صِلَةُ الرَّحِمِ] dan saling bermaafan. Saling memaafkan dan menyambung tali silaturrahmi (shilaturrahim) merupakan bagian dari Risalah Islam dan tidak terbatas saat Idul Fitri.

    خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

    "Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh" (QS. Al-A'raf:199)

    "Siapa saja yang ingin diluaskan rizkinya dan dipanjangkan pengaruhnya, maka sambunglah tali persaudaraan" (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

    Rasulullah Saw bersabda: "Tidak ada dosa yang pelakunya lebih layak untuk disegerakan hukumannya di dunia dan di akhirat daripada berbuat zalim dan memutuskan tali persaudaraan" (HR. Ahmad dan al-Tirmidzi).

    "Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka sambunglah tali silaturrahmi" (HR. Al-Bukhari).

    Jika substansi halal bi halal adalah menyambung silaturrahim dan momentum saling memaafkan maka halal bihalal merupakan aspek budaya yang bersifat teknis. Ajaran silaturrahim dan saling memaafkan tidak diragukan lagi sebagai ajaran Islam maka halal bi halal adalah salah satu kreasi kultural untuk mewujudkan ajaran Islam tersebut (sliaturrahmi dan saling memaafkan). Ini terobosan yang baik (sunnah hasanah).

    Penutup

    Acara halal bihalal adalah produksi asli budaya masyarakat Indonesia khususnya masyarakat muslim Indonesia. Meskipun tradisi halal bihalal juga dikenal dan dipraktekkan oleh penganut agama lain, selain Islam. Acara ini dilakukan setelah selesai melaksanakan idul fitri. Halal bi Halal terasa seolah istilah Arab. Namun, jangan tanyakan maknanya kepada orang Arab, mereka tak paham. Lebih paham orang Indonesia.

    Ini adalah "sunnah hasanah" (tradisi yang baik). Bukan tradisi Nabi (sunnah nabawiyah). Hukum asalnya adalah boleh,  sebab ini aspek muamalah dan tidak ditemukan adanya dalil yang menyelisihinya maka tetap pada hukum asalnya "boleh" (mubah).

    Dilihat dari aspek substansinya, halal bihalal adalah sebuah acara tradisi tahunan untuk menjalin silaturrahim dan saling memaafkan. Silaturrahim dan saling memaafkan adalah ajaran penting dalam Islam. 

    Dengan demikian halal bihalal secara teknis maupun secara substantif tidak ada pertentangan. Namun, kaki harus bersama karena Islam mengajarkan bahwa mencegah mafsadat (dampak buruk) harus diprioritaskan daripada maslahatnya. Mencegah dampak penularan Civid-19 akibat kerumunan mesti lebih diprioritaskan daripada manfaat kebersamaan dalam halal bihalal.

    Wallahu A'lam