I. PENDAHULUAN
Ulama asal Sulawesi Selatan ini merupakan ulama yang mandiri dalam berpikir dan melahirkan gagasan pembaruan khususnya dalam kajian fiqh kontemporer. Saya mulai mengenal nama Prof. Dr. K.H. Ali Yafie sekitar akhir tahun 1990-an. Saat itu, naskah buku biografi beliau itu diedit oleh Jamal D. Rahman (1997) dan Prof. Dr. H. Muhammadiyah Amin, bertajuk "70 Tahun Prof. Dr. K.H. Ali Yafie" untuk menyambut milad beliau yang ke-70 tahun. Saya sempat membacanya beberapa bagian dari naskah buku biografi beliau itu sebelum terbit.
Hingga tahun 2018 saya diundang menjadi keynote speaker (pembicara kunci/utama) pada konferensi internasional dengan tema "sustainable development on environmental awareness". Di tahun berikutnya, 2019 sebagai invited speaker (pembicara yang diundang). Pada momentum itulah, saya mencari beberapa data tentang Islam dan lingkungan untuk membentangkan makalah. Nama ulama Indonesia yang paling banyak muncul adalah Prof. Dr. K.H. Ali Yafie. Ternyata, beliaulah penggagas fiqh lingkungan.
Berbagai artikel yang mengutip dan memuat pikiran-pikiran beliau tentang fiqh lingkungan. Beberapa artikel dalam jurnal nasional, jurnal internasional, prosiding internasional yang telah saya tulis dan published sejak 2018 hingga 2021. Umumnya, saya tulis dalam bahasa Inggris karena menimbang tingkat keterjangkauannya dan keterbacaannya agar bisa meluas dan mengglobal. Karena masalah lingkungan hari ini merupakan isu dan masalah global.
II. SIAPA ITU PROF. DR. K.H. ALI YAFIE?
Ada yang berkata, memandang ulama itu berkah. Namun, banyak orang Sulawesi Selatan yang tidak mengenal beliau. Karena tidak semua kita bisa mengenal beliau, maka saya menuliskan bagian kecil untuk mengenalkan. Semoga berberkah!
AG. Prof. Dr. KH. Ali Yafie dilahirkan pada tanggal 1 September 1926 di Donggala, Sulawesi Tengah. Beliau memiliki geneologi ulama. Beliau merupakan putra dari KH. Mohammad Yafie.
Sejak usia 19 tahun, Prof. Dr. KH. Ali Yafie melepas masa lajangnya dengan menikahi Hj. Aisyah, masih berusia 16 tahun. Kendati menikah muda, mereka mengarungi bahtera mahligai rumah tangga dengan bahagia. Buah dari pernikahannya, beliau dikaruniai empat anak, yakni Saiful, Hilmy, Azmy dan Badru.
AG. Prof. Dr. KH. Ali Yafie berasal dari keluarga yang taat menjalankan ajaran agama Islam. Sejak kecil dia sudah berkecimpung di dunia pesantren. Ayahnya KH. Mohammad Yafie, seorang pendidik, sudah mendidiknya soal keagamaan dengan memasukkannya ke pesantren.
Sang ayah mendorongnya menuntut berbagai ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan agama sebanyak-banyaknya dari para ulama, termasuk ulama besar Syekh Muhammad Firdaus, yang berasal dari Hijaz, Makkah, Saudi Arabia.
Didikan orang tuanya untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tertanam terus sejak kecil hingga kemudian diteruskan dalam mendidik putra-putranya dan santri-santrinya di Pondok Pesantren Darul Dakwah Al-Irsyad.
Prof. Dr. KH. Ali Yafie belajar ke beberapa kiai yang terkenal di Sulawesi. Guru-guru beliau diantaranya: Syekh Ali Mathar (Rappang), Syekh Haji Ibrahim (Sidrap), Syekh Mahmud Abdul Jawad (Bone), Syekh As’ad (Sengkang), Syekh Ahmad Bone (Ujung Pandang),Syekh Abdurrahman Firdaus (Jampue Pinrang), dan lain-lain.
Murid-Murid beliau tersebar ke berbagai wilayah, dalam dan luar negeri. Sudah banyak santri-santrinya yang kini telah menjadi tokoh dan ulama-ulama. Di antaranya Mantan Menteri Agama Quraish Shihab, Mantan Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, dan salah satu Ketua MUI Umar Shihab, dan lain-lain.
Prof. Dr. KH. Ali Yafie adalah pengasuh Pondok Pesantren Darul Dakwah Al Irsyad, Pare-Pare, Sulawesi Selatan yang didirikannya tahun 1947.
Prof. Dr. KH. Ali Yafie mengawali kiprahnya di NU sejak muda. Pada 1957, ia dipercaya menjadi Rais Syuriyah PCNU Pare-pare. Aktivitasnya di NU tersebut, kemudian mengantarkannya terlibat dalam dunia politik. Namun, karir politiknya tersebut tak ditekuni secara serius. Ia lebih memilih di jalur intelektual. Kiai yang menyandang gelar profesor tersebut, aktif mengajar di IAIN Alaudin, Makasar. Hingga mengantarkannya menjabat sebagai dekan.
Karir intelektualitas dari Kiai Ali inilah di kemudian hari mengantarkannya ke panggung Nasional. Pada Muktamar ke-27 di Situbondo, namanya mulai masuk jajaran pengurus Syuriyah PBNU. Lantas, jabatan-jabatan lain pun mulai bersusulan. Mulai dari menjabat sebagai pejabat sementara Rais Aam (1991-1992) PBNU, MUI, ICMI hingga Dewan Pengurus Syariat Bank Muammalat Syariat.
Gagasan dan terobosan berpikirnya banyak digemari terutama oleh kalangan pecinta pembaruan (tajdid). Beberapa kajian Islam dikuasainya, namun kepakaran beliau yang paling menonjol dalam bidang fiqh atau hukum Islam.
Diantara karyanya, yaitu Menggagas Fikih Sosial dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwah, (Bandung: Mizan, 1995), cet, III, Teologi Sosial, Telaah Kritis Persoalan Agama dan Kemanusiaan, (Yogyakarta: LKPSM, 1997), cet. 1,
Beragama Secara Praktis Agar Hidup Lebih Bermakna, (Jakarta: Hikmah, 2002), cet. 1 buku karya Ali Yafie ini adalah sebuah penafsiran terhadap ajaran agama merupakan salah satu kunci yang menyebabkan agama selalu menemukan hubungan dan kesesuaian nya, buku karya K.H. Ali Yafie ini merupakan salah satu bentuk tanggapan seorang ulama terhadap beragam perkembangan sosial, dan beberapa tulisan beliau di Iqra‟ Media Pencerahan Umat, yang diterbitkan oleh Yayasan Berkat Rahmat Allah, Jakarta.
Di samping itu ada sebuah buku yang diluncurkan pada peringatan 70 Tahun KH Ali.Yafie, merupakan kumpulan tulisan dari para ulama, cendekiawan, politisi, pejabat, pengusaha dll, yang diedit oleh Jamal D. Rahman, tahun 1997.
III. FIQH LINGKUNGAN
Islam mengajarkan hidup selaras dengan alam. Banyak ayat Alquran maupun hadis yang bercerita tentang lingkungan hidup. Dan kitab fiqih yang menjadi penjabaran keduanya, masalah lingkungan ini masuk dalam bidang jinayat (hukum). "Artinya, kalau sampai ada seseorang menggunduli hutan dan merusak hutan, itu harus diberlakukan sanksi yang tegas. Harus dicegah. Harus dihukum,'' ujar mantan Rais A'am Nahdlatul Ulama, Prof KH Ali Yafie kepada Republika beberapa tahun lalu.
Kepada Republika, penulis buku Merintis Fiqh Lingkungan Hidup ini bertutur banyak tentang kearifan terhadap alam menurut ajaran Islam. Berikut ini petikannya:
1. Pandangan Islam tentang Alam
Ada dua ajaran dasar yang harus diperhatikan umat Islam. Dua ajaran dasar itu merupakan dua kutub di mana manusia hidup. Yang pertama, rabbul'alamin. Islam mengajar bahwa Allah SWT itu adalah Tuhan semesta alam. Jadi bukan Tuhan manusia atau sekelompok manusia, bukan itu. Dari awal manusia yang bersedia mendengarkan ajaran Islam sudah dibuka wawasannya begitu luas bahwa Allah Swt. adalah Tuhan semesta alam. Orang Islam tidak boleh berpikiran picik, Allah SWT bukan saja Tuhan kelompok mereka, Tuhan manusia, melainkan Tuhan seluruh alam. Jadi, Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan semua alam. Dan alam di hadapan Tuhan, sama. Semuanya dilayani oleh Allah, dilayani oleh Allah sama dengan manusia. Itu dasar pertama.
Kutub yang kedua adalah rahmatan lil'alamin. Artinya manusia diberikan sebagai amanat untuk mewujudkan segala perilakunya dalam rangka kasih sayang terhadap seluruh alam. Kalau manusia bertindak dalam semua tindakannya berdasarkan kasih sayangnya kepada seluruh alam, tidak saja sesama manusia, namun juga kepada seluruh alam.
Dalam Alquran ada ayat yang mengatakan ''Laa tufsiduu fil ardhi ba'da ishlahiha" (jangan merusak alam ini, merusak bumi ini sesudah ditata sedemikian baik). Sekarang orang mengatakan teorinya keseimbangan, itu sebenarnya yang dimaksud dengan kata-kata ba'da ishlaahiha. Jadi, kalau berbicara mengenai lingkungan alam, itu bagi Islam sejak awal sudah dibicarakan. Dunia Barat, dunia modern baru ribu dengan masalah lingkungan alam baru di penghujung abad ke-20. Sebelumnya mereka sudah merusak alam.
2. Muslim Sejati Pasti Peduli Lingkungan
Seorang muslim, tentu kalau memang dia memahami kandungan Alquran dan hadis dengan baik. Kalau dia bisa memahami makna rabbal'alamin dan rahmatan lil'alamin dengan baik, sudah pasti dia tidak akan merusak alam lingkungan. Dan memang tidak ada sejarahnya umat Islam sejak jaman Nabi Muhammad Saw. yang merusak alam. Bahkan, dalam pelaksanaan ibadah haji, seseorang yang berihram dilarang untuk mencabut pohon, tidak boleh membunuh binatang. Itu jelas satu implementasi dari pada ajaran dasar tadi itu. Di sana itu hanya latihan. Kemudian untuk dilakukan selamanya di tengah masyarakat. Jadi harus dipahami seperti itu.
2. Merintis Fiqh Lingkungan
Sejak Islam ada, sesungguhnya sudah ada fiqih lingkungan. Hanya saja, tidak dibahasakan menurut bahasa sekarang. Semua kitab fiqih yang namanya kitab kuning memuat tentang lingkungan. Rujukan buku saya itu, yaitu kitab kuning. Ada dua kendalanya, yakni proses beribadah yang tiga tingkat. Itu yang tidak dijelaskan. yang kedua, kitab-kitab kuning yang rinci mengenai lingkungan hidup tidak dibahasakan menurut bahasa sekarang. Yang namanya kitab fikih itu adalah penjabaran dari Alquran dan hadis di dalam empat bidang kehidupan. Pertama namanya ibadah, yakni tata cara beribadah. Kedua muamalat tentang relasi antar manusia. Ketiga munakahat pembinaan keluarga, dan keempat jinayat penegakan hukum. Dalam konteks ini, masalah lingkungan ini masuk dalam bidang jinayat. Artinya, kalau sampai ada seseorang menggunduli hutan dan merusak hutan, itu harus diberlakukan sanksi yang tegas. Harus dicegah.
3. Jinayat: Perusak Lingkungan Harus Dihukum
Banyak yang tidak memahami soal jinayat. Kebanyakan orang memahami jinayat itu adalah hukuman Islam yang kejam-kejam seperti potong tangan, rajam. Itu yang dipahami oleh kebanyakan orang. Mereka tidak memahami, kalau membabak hutan, membakar hutan itu termasuk jinayat juga. Jadi perlu ada penegakan hukum. Jika selama ini ada lima komponen hidup yang harus dipelihara oleh seluruh manusia yakni hifdzul nafs (menjaga jiwa), hifdzul aql (menjaga akal), hifdzul maal (menjaga harta), hifdzul nasl (menjaga keturunan) dan hifdzud diin (menjaga agama).
Menurut AG. Prof. Dr. K.H. Ali Yafie, masalah krisis lingkungan termasuk sekarang ini menjadi masalah besar dan harus diberi tempat perkembangannya. Jadi kalau kita dalam kaidah mengatakan perlu ada hifdzul nafs atau hifdzud diin, maka sekarang ini patut kita masukkan ke dasar agama adalah hifdzul bi-ah (memelihara lingkungan hidup). Itu kepentingan kehidupan manusia. Seluruh manusia berkepentingan terhadap kebersihan lingkungan, terhadap keselamatan lingkungan. Ini yang saya coba gali.
Memang di dalam agama itu ada tiga tingkatan atau tiga proses yang harus dilalui sehingga tuntas. Pertama adalah ta'abbud artinya kita melakukan shalat, puasa atau haji hanyalah ta'abbud artinya sebagai menyatakan kepatuhan kita terhadap petunjuk Allah. Itu tingkat pertama dan itu semua orang lakukan. Ada dua tingkat lagi yang sangat menentukan. Sesudah ta'abbud mesti ada lagi tingkatan ta'aqqul artinya menggunakan otak untuk memahami ibadah. Kita disuruh wudluk untuk apa? Supaya bersih. Kita disuruh berpakaian untuk apa? Agar menjadi manusia terhormat, karena aurat kita terjaga. Itu namanya penghayatan agama. Tingkat ketiga yang paling menentukan adalah takhalluq artinya ibadah harus dijadikan sebagai perilaku. Ibadah itu harus dijadikan sebagai akhlak. Kita sayangkan, misalnya mempelajari bab thaharah, tapi hanya kalau mau shalat. Thaharah tidak dijadikan sebagai akhlak.
Padahal sebenarnya pada bab thaharah pun sudah berbicara soal kebersihan lingkungan. Coba kita lihat soal adab membuang air kecil atau air besar. Tidak boleh membuang air kecil apalagi air besar pada air yang tidak mengalir. Tidak boleh membuang air kecil apalagi air besar di bawah pohon yang rindang, karena itu tempat orang berteduh. Kalau Anda selalu buang air di sana, tak ada orang yang mendekati pohon itu. Akhirnya pohon tidak terpelihara dan matilah. Sayangnya tidak dikaji sejauh itu.
IV. PENUTUP
Prof. Dr. K.H. Ali Yafie merupakan ulama kharismatik asal Sulawesi Selatan. Bermodalkan basis keilmuan pesantren yang mengakar kuat mengantarkan dirinya ke level nasional hingga berhasil memimpin NU dan MUI Pusat. Hingga saat ini, sepengetahuan saya, baru beliau yang pernah menjadi Rais Syuriah Nu dari luar Jawa. Usia beliau sudah sepuh dan menghampiri satu abad (tepatnya 95 tahun).
Karena epistemologi keilmuan fiqhnya yang kuat, maka beliau termasuk ulama yang progres berpikir pembaruan hukum Islam dalam merespon perkembangan yang ada. Salah satunya adalah menggagas dan mengembangkan fiqh lingkungan hidup. Dan, salah satu gagasan yang diusungnya, yaitu hifdzul bi'ah (memelihara lingkungan). Tidak banyak ulama yang memberi perhatian besar terhadap masalah lingkungan. Hal bisa kita dengan minimnya referensi karya ulama Indonesia dalam soal fiqh lingkungan seperti beliau. Setelah beliau, siapa lagi? Kita tunggu.
Wassalam.
0 komentar