Dosen UIN Alauddin dan STAI Al-Furqan Makassar
Samata-Gowa, 13-04-2021
Prolog
Dulu, saya akrab dengan dunia binatang, khususnya ayam. Sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan di perkampungan, saya sangat paham pengembangbiakan ayam kampung, mulai dari telur, pengeraman hingga penetasan. Saya suka sekali menunggu pecahnya telur satu-persatu di bawah kolong kaki dan sayap induknya. Saat itu, saya belum menyadari fenomena induk ayam yang mengeram hingga menetas dan penjagaan yang ketat oleh induknya
Induk Ayam
Anak-anak ayam yang baru saja ditetaskan, memang menggemaskan! Kalau sudah memasuki hari yang ke-21, saya selalu setia mengecek kondisi telur yang mulai mengeluarkan suara anak ayam. Dari ujung paruh yang nongol di salah satu sisi kulit telur, terdengar suara jeritan anak ayam dari dalam yang ingin segera bebas menghirup udara segar.
Ayam yang baru menetas pasti jalannya sempoyongan. Maklum, posisi anak ayam dalam telur adalah melingkar dengan posisi kepala berada di antara kakinya.Mengikuti proses “kelahiran” anak ayam memberikan pengalaman unik tersendiri.
Wajib Berpuasa Saat Mengeram
Selain adanya proses pembuahan oleh ayam jantan, telur tidak akan menetas jika tidak dierami. Itu artinya, ada proses kesabaran yang dibutuhkan demi suksesnya perkembangbiakan keturunan dan terjadinya regenerasi.
Dalam hal ini saya tidak ingin membahas penetas ayam melalui mesin penetas. Saya tidak begitu paham. Induk (betina) dengan sabar harus mengerami telur-telurnya hingga ia tidak bisa sesuka hati beraktifitas, misalnya makan, minum, hingga membersihkan diri di bawah terik matahari. Ia harus konsisten memberikan kehangatan kepada calon anaknya yang masih di dalam telur.
Pengorbanan & Kesabaran
Begitu setia dan sabarnya, ayam betina harus puasa menikmati keindahan dunia. Ia akan sabar di sarangnya sampai telur-telur itu menetas. Ia tidak bisa seenaknya pergi meninggalkan sarangnya meski perutnya keroncongan. Tubuhnya dibiarkan kotor dan kurus yang memberikan bukti keikhlasan hatinya mengemban tugas mulia sebagai calon ‘”orang tua”.
Bila sang induk tidak sabar menjalani proses itu, telur-telur itu akan busuk dan tidak ada gunanya. Telur gagal itu tidak bisa diolah lagi menjadi hidangan makanan. Baunya yang menyengat akibat gagal menetas itu hanya layak untuk dibuang ke tempat sampah.
I'tibar
Untuk mencapai kesuksesan, kita perlu ulet, berkorban, dan bersabar. Penyakit umum manusia adalah ingin meraih sukses dengan cara instan, tanpa pengorbanan, tanpa kesungguhan, berharap ikhtiar yang minimal dengan hasil yang maksimal.
Memang ada di dunia ini sejumlah manusia mujur yang tidak banyak mengeluarkan biaya dan energi dalam meraih kesuksesan. Akan tetapi, hampir semua tokoh besar dunia sepanjang sejarah merupakan sosok manusia yang tangguh dan gigih dalam memperjuangkan usahanya di berbagai bidang.
Jangankan kita, para rasul pun yang merupakan utusan Tuhan, mereka juga harus berjuang, bersabar, dan bermunajat secara rutin kepada Allah. Misalnya, Nabi Muhammad, harus berjuang gigih hingga harus berdarah-darah demi mengemban amanat mengubah masyarakat menjadi lebih beradab.
Para saintis, seperti Thomas Alfa Edison, harus melakukan riset dan uji coba ratusan hingga ribuan kali untuk mempersembahkan satu karya monumental. Itu artinya, pengeraman yang dapat dimaknai sebagai kesabaran tinggi yang terus menerus dalam menggapai cita adalah satu hal mutlak.
Biografi para ulama menunjukkan bahwa mereka berjuang, mengurangi tidur malam, meninggalkan keluarganya demi mendatangi majelis-majelis ilmu, merapat kepada para syaikh dan memperlakukannya dengan penuh hormat dan ta'zim demi memperoleh ilmu dan berkahnya.
Penuh Kesungguhan dan Kedisiplinan
Jika hanya sekali-kali “dierami”, “telur-telur” kesuksesan itu hanya akan berubah menjadi mimpi buruk (amporo: Bugis). Berbagai godaan dan rintangan pasti ditemui dalam proses meraih sukses.
Hampir dapat dipastikan bahwa tak ada prestasi spektakuler dan membanggakan tanpa diiringi dengan keuletan dan kegigihan. Oleh sebab itu, “mengeram” menjadi sebuah keniscayaan bagi siapa saja yang ingin sukses.
Orang mukmin yang ingin naik level ke muttaqin harus mampu melewati proses 'puasa'. Induk ayam ketika mengeram, harus meninggalkan makan dan minum saat mengerami telur-telurnya. Itu mengajarkan bahwa untuk sukses dan produktif dibutuhkan kesabaran, pengorbanan, dan kesungguhan. Induk-induk ayam yang sedang mengeram itu turun timbangannya. Kita? Hanya Allah dan kita masing-masing.
Para penuntut ilmu sedang berjuang untuk memperoleh ilmu. Para pengajar sedang berjihad dan ber-ijtihad mencerdaskan generasi dan anak bangsa. Para saintis mengerahkan segenap kompetensinya untuk menghasilkan teori dan temuan yang bermanfaat bagi kehidupan.
Singkatnya, untuk mengubah hidup menjadi lebih baik, seringkali meminta keberanian untuk meninggalkan zona nyaman. Bagi Bapak/ibu yang sedang menyekolahkan anak di pesantren mesti memahami soal ini.
Saya ada pengalaman sedikit tentang pesantren. Anak-anak yang tidak betah di pesantren umumnya mempunyai hubungan dengan ketidakmampuan santri bertahan di pesantren memiliki hubungan perilaku orang tua terhadap mereka. Umpamanya, ketika pulang ke rumah, makanan yang mereka dapatkan dari orang tua di rumah lebih enak dan lebih membangkitkan selera daripada menu yang ada di pesantren.
Pesantren mengajarkan standar kepatutan (asitinajang), bukan membuat mereka menderita, karena sarjana ilmu gizi yang menentukan menu/makanan sesuai standar gizi yang layak.
Kita paham betapa para orang tua menginginkan anak-anak mereka betah belajar di pesantren. Dan mereka sangat menyayangi anak-anaknya sehingga menyiapkan makanan spesial jika anaknya pulang ke rumah. Namun di sisi lain, secara tidak sadar perlakuan orang tua terhadap anak-anak mereka lebih tertarik pulang ke rumah ketimbang hidup dan belajar di pesantren.
Mahasiswa juga demikian. Meniti perjalanan menjadi mahasiswa juga punya cerita tersendiri. Tak jarang ada mahasiswa yang harus menahan lapar dan selera demi menyesuaikan dengan bekal yang dititipkan orang tua. Di lembaga pendidikan manapun mereka sedang menuntut ilmi maka.dositulah mereka sedang 'dierami' dan sebentar lagi ia dilahirkan menjadi alumni.
Jadi, menyekolahkan anak, baik di pesantren di perguruan tinggi maka orang tua dan pengelola pesantren seolah sedang mengeram. Kelak pada waktunya anak-anak akan terlahir dengan selamat. Mungkin masih ingat, mengapa Imam Syafi'i menjadi alim besar? Salah satunya adalah karena ibunya mendorongnya untuk tetap belajar. "Pergilah kau wahai Anakku, kelak. kita akan ketemu di surga!
Penutup
Tradisi mengeram bisa menjadi salah satu filosofi bagi kita yang ingin meraih impian. Kesuksesan jarang sekali dicapai dengan cara instan. Kesabaran, keuletan, dan kegigihan adalah rumus-rumus jitu untuk mewujudkan harapan di masa depan. Kesuksesan kerap meminta untuk "berpuasa" dari hal-hal yang bakal menggagalkan. Kesuksesan juga acap kali meminta untuk dierami beberapa waktu. Pada waktunya nanti، Allah menjawab seluruh kesungguhan dan kesabaran.
0 komentar