Dosen UIN Alauddin dan STAI Al-Furqan Makassar
Samata-Gowa, 09-04-2021
Pendahuluan
Mungkin kalimat seperti tema di atas sudah pernah Anda dengar. Pendosa pun punya harapan masuk surga. Taubat nasuha adalah jalan yang tersedia untuk setiap hamba yang menginginkan jalan menuju ampunan, rahmat, ridha, dan surga di sisi Rabb-nya.
Seorang pendosa yang di hatinya dipenuhi pengharapan dan takut kepada Allah Swt. akan berada di sisi-Nya dan itu bisa jadi lebih baik daripada ahli ibadah walau rajin ibadahnya namun di hatinya selalu putus asa dari rahmat Allah Swt.
Memiliki harapan dan takut kepada Allah adalah hal yang penting yang menandakan walau orang itu banyak memiliki dosa namun di lubuk hatinya masih tersimpan iman. Seseorang yang dalam pandangannya memiliki dosa besar namun selalu berharap untuk dapat diampuni, maka di mata Allah dosa orang itu adalah kecil.
Sebaliknya, orang yang rajin ibadah yang tidak memiliki niat untuk memperbaharui tobatnya karena putus asa atau karena memandang remeh dosa kecil, sehingga membiarkan dosa kecil terus menerus dilakukan, maka dalam pandangan Allah itu adalah dosa besar.
Begitulah maksud seorang pendosa itu lebih baik dari ahli ibadah sesuai yang disampaikan Ibnu Athailah dalam kitabnya, Al-Hikam. Anda mungkin pernah membacanya.
Kisah Nabi Musa dan Pendosa yang Mulia di Mata Allah
Pada zaman Nabi Musa, pernah terjadi masyarakat ramai-ramai menolak memandikan dan menguburkan jenazah seorang laki-laki. Di mata orang-orang, lelaki ini tak lebih dari sampah masyarakat. Perilakunya fasiq. Gemar melakukan dosa besar ataupun dosa kecil secara terus-menerus.
Tak hanya menolak mengurus jenazahnya, masyarakat bahkan menyeret kaki mayat lelaki tersebut lalu membuangnya di gundukan kotoran hewan. Atas kejadian ini, Allah memberikan wahyu kepada Nabi Musa.
“Hai Musa. Di kampung Fulan, ada seorang laki-laki meninggal dunia, sedang ia dibuang pada tumpukan kotoran hewan. Masyarakat tidak ada yang mau memandikan, mengafani dan menguburkannya.
Padahal, orang yang mati itu adalah satu di antara kekasih-Ku. Datangilah dia. Kamu mandikan, kafani, salatkan, dan kebumikan orang itu.” Usai mendapatkan perintah demikian, Nabi Musa menuju lokasi yang dikehendaki. Nabi Musa mencoba bertanya tentang siapa sebenarnya orang yang baru saja meninggal tersebut kepada warga sekitar.
“Oh, itu dia sikapnya begini, begini. Dia adalah orang fasiq. Suka menampakkan perilaku dosa besarnya kepada masyarakat dengan terus terang,” jelas warga sekitar mengomentari si mayat yang dimaksud. “Bisakah saya ditunjukkan di mana letak mayat itu berada? Allah menyuruhku datang ke sini semata-mata karena lelaki itu,” pinta Musa.
Nabi Musa bersama orang-orang sekitar pun akhirnya sampai di lokasi keberadaan mayat. Beliau melihat ada janazah terbuang di atas kotoran hewan serta mendengar keterangan buruknya perilaku si mayat seolah-olah si mayat memang di masa hidupnya menjadi sampah masyarakat.
Nabi Musa kemudian bermunajat kepada Allah. “Wahai Tuhanku. Engkau telah menyuruhku menyalati dan mengebumikan mayat lelaki ini. Namun masyarakat sekitar jelas-jelas menyaksikan bahwa mayat ini adalah orang buruk. Engkaulah yang paling tahu apakah janazah ini patut dipuji atau dicela.”
Mendapat aduan demikian, Allah menjawab, “Ya Musa, memang benar apa yang diceritakan masyarakat sekitar tentang perilaku buruk mayat tersebut semasa hidupnya. Namun, saat akan wafat, dia telah meminta pertolongan kepadaku dengan tiga hal. Andai saja tiga hal ini semua orang yang berlumur dosa memintanya kepadaku, pasti aku akan mengabulkannya.
Bagaimana mungkin aku tidak mengasihi dia, sedang ia sudah meminta belas kasihan kepadaku, padahal Aku adalah Dzat yang Mahakasih dari semua yang bisa berbelas kasih.” Nabi Musa kembali bertanya kepada Allah. “Apa tiga hal tersebut, ya Allah?.”
Allah menjawab, pertama, saat mendekati waktu wafatnya, lelaki ini berkata, “Ya Tuhan, Engkau Mahatahu tentang kepribadianku. Aku adalah pelaku aneka macam maksiat. Meski begitu, hatiku begitu benci terhadap kemaksiatan. Aku melakukan maksiat karena tiga hal, yaitu dorongan hawa nafsuku yang membara. Aku tidak kuat mengendalikannya, sehingga aku terjerumus melakukan maksiat.
Selain itu, teman-teman, komunitas, serta lingkunganku yang buruk, pengaruh godaan iblis, semuanya menjadikan aku jatuh ke lembah kemaksiatan. Sungguh, Engkau mengetahui tentang diriku ini atas apa yang telah aku adukan. Maka, ampunilah hamba-Mu ini.”
Kedua, sebelum wafat, lelaki tersebut juga berkata, “Ya Tuhan, sesungguhnya Engkau tahu bahwa aku pelaku aneka macam kemaksiatan. Kedudukanku, derajatku, pasti setara dengan orang-orang fasiq. Namun, meski begitu, dalam hatiku, aku lebih suka berteman dengan orang-orang shalih. Aku suka cara-cara mereka menjauhkan hati dari gebyar gemerlap duniawi (zuhud). Sejatinya aku suka duduk bersama mereka. Hal tersebut lebih aku cintai daripada hidup bersama para pelaku dosa.”
Ketiga, dia juga berkata begini, “Ya Tuhan. Engkau pastinya tahu bahwa orang-orang shalih lebih aku cintai daripada orang-orang fasiq. Sehingga andai saja ada dua orang yang satu shalih dan yang satu buruk di depan mataku, pasti aku akan mendahulukan kebutuhan orang shalih daripada orang jelek.”
Riwayat dari Wahb bin Munabbah mengatakan, lelaki itu juga berkata kepada Allah, “Ya Allah, jika Engkau mengampuni semua dosa-dosaku, para kekasih dan nabi-Mu pasti akan bangga. Mereka akan bergembira. Setan yang menjadi musuhku dan musuh-Mu pasti akan bersedih hati. Jika Engkau menyiksaku sebab aneka macam dosa yang aku perbuat, setan dan teman-temannya akan bergembira ria. Sedangkan para nabi dan wali-wali-Mu akan menjadi sedih. Padahal aku yakin, kebahagiaan kekasih-Mu lebih Engkau sukai daripada kebahagiaan setan-setan. Ampunilah dosaku, Tuhan. Engkau sangat tahu atas apa yang aku sampaikan. Berikan aku belaskasihan-Mu.”
“Dengan demikian,” kata Allah, “Aku belas-kasihani dia. Aku ampuni dosa-dosanya, karena Aku Maha-pengasih dan penyayang terlebih kepada orang yang mengakui atas dosanya di hadapan-Ku. Nah, orang ini telah mengakui dosanya, Aku ampuni dia. Hai Musa, lakukan apa yang aku perintahkan. Atas kehormatannya, Aku ampuni siapapun yang menyalati janazahnya dan hadir pada pemakamannya.” (Muhammad bin Abu Bakar, al-Mawâ’idh al-Ushfûriyyah, 3)
Hikmah
Cerita di atas diangkat dengan tujuan lebih fokus pada pesan yang hendak disampaikan. Pada cerita di atas, dapat diambil beberapa pelajaran.
Pertama, kita tidak boleh memvonis siapapun sebagai ahli neraka. Karena urusan surga dan neraka merupakan urusan Allah. Kita hanya perlu menyikapi satu hal secara lahiriyahnya saja.
Kedua, orang yang meninggal dalam keadaan Islam (berserah diri), walaupun semasa hidupnya bergelimang kemaksiatan, ia tetap harus dirawat sebagaimana janazah orang Muslim pada umumnya.
Ketiga, kita perlu waspada kepada siapa saja untuk tidak berprasangka buruk kepada mereka. Sehingga kita menjadi merasa lebih baik daripada mereka. Boleh jadi, orang yang buruk itu karena mereka pandai mengolah hati serta rasa, mereka lebih dicintai Allah daripada kita.
Keempat, sikap kita, saat bertemu dengan orang yang nyata melakukan kemungkaran adalah bukan dengan cara mencaci makinya. Namun, ingkar di hati seraya mendoakan kepada Allah supaya diberikan hidayah-Nya. Andai saja ternyata dia lebih baik dari kita, kita berharap, doa tersebut menjadi pintu bagi kita untuk Allah mengampuni kita, sebab kita mengasihi sesama saudara kita atau sesama makhluk Tuhan.
Kelima, berpikir, bermunajat, berbisik, berusaha berkomunikasi dengan Allah akan membukakan banyak jalan kita kepada Allah Swt. Itu yang sering terlepas dari penilaian manusia lainnya.
Sikap Khauf dan Raja'
Pendosa yang menyesal dan merasa hina di hadapan Allah serta tidak berputus asa dari rahmat Allah lebih baik daripada ahli ibadah yang membanggakan ibadahnya. Pendosa yang mengharap rahmat dan ampunan Allah akan diampuni oleh Allah. Sedangkan ahli ibadah yang mengandalkan ibadahnya bisa berarti sombong. Dan, sifat sombong adalah sifat yang sangat dibenci oleh Allah untuk dimiliki oleh makhluk-Nya
Untuk yang masih berdosa, ketahuilah" Datangnya kematian tidak menunggu hingga kamu akan menjadi lebih baik. Jadilah orang baik dan tunggulah kematian." (Habib Ali Zainal Abidin). Ampunan Allah diperuntukkan bagi setiap orang menginginkan ampunan-Nya. Karena percakapan hamba dengan Allah untuk bertaubat itu mungkin berlangsung secara rahasia maka kita tidak boleh memvonis sebagai ahli neraka.
Amalan fisik (lahiriah) memang mudah diukur karena itu yang tampak dan sebatas itulah kemampuan manusia untuk menilai orang lain. Adapun amalan batin, itulah rahasia antara seorang hamba dengan Rabb-nya.
Bisa jadi, ada orang yang tampak amalnya banyak namun disertai rasa bangga dan pongah dengan amalnya itu, maka ia sedang tertipu oleh iblis yang menghiasi amalnya. Sebaliknya, bisa jadi, seseorang tampak melakukan dosa, namun ia memang mengakui dan menyesal disertai rasa harap hanya ampunan Rabb-nya.
Rasa takut (khauf) dan penuh harap (raja') akan ampunan dan rahmat-Nya. Setiap hamba, dalam beribadah kepada Allah mestinya memadukan kedua sifat ini, khauf dan raja'.
Sikap muslim sejati di hadapan Allah, rasa takut dan penuh harapan mutlak dimiliki. Sebab, kedua keadaan tersebut akan menjadi penyeimbang kita dalam mengelola nafsu, iman, takwa, ibadah, dan lain sebagainya.
Pertama, rasa khauf ini adalah takut akan siksa atau azab dari Allah Swt. karena perbuatan dosa yang dilakukan. Rasa takut akan siksa Allah, menjadi tameng bagi setiap individu ketika ingin melakukan dosa atau maksiat.
Hal tersebut mutlak ditanamkan karena nafsu bisa saja menipu diri kita sewaktu-waktu sedangkan siksa dari Allah sudah pasti kebenarannya. Adanya khauf yang tertanam dalam diri manusia juga menjadi penahan manusia agar tidak sombong atau berbesar kepala.
Kedua, soal raja'. Dalam hal ini, menaruh harapan kepada Allah mutlak dimiliki setiap muslim karena Dia memiliki sifat berkehendak, pengampun, pengasih dan penyayang. Kepasrahan kepada Allah tetap disertai harapan kepada-Nya.
Penutup
Seorang muslim memiliki sikap yang seimbang. Ia tidak membanggakan amal kebaikannya di satu sisi dan tidak berputus asa akan rahmat dan ampunan Allah bila ia berdosa di sisi yang lain. Tidak memvonis orang lain sebagai ahli neraka atas penilaian lahiriah karena ia tidak pernah tau percakapan rahasia antara hamba dengan Tuhannya.
Ia tidak besar kepala dan membanggakan diri atas amalnya. Soal masuk surga atau masuk neraka itu hak prerogatif Allah. Kita jadikan kebaikan sebagai sarana memohon ridha, rahmat, dan ampunan Allah Swt. Sebaliknya, kita jadikan kekhilafan dan dosa kita untuk memohon ampunan kepada-Nya.
Pendosa yang mengharap ampunan dan rahmat Allah bisa jadi lebih baik daripada ahli ibadah yang pongah dan membanggakan diri. Tentu saja ahli ibadah yang tawadhu' merupakan karunia Allah dan itulah yang paling ideal. Namun, adakah diantara kita seperti itu? Hati-hati! Jangan merasa diri Anda yang demikian. Bisa jadi, itu jebakan iblis. Lebih baik kita menjaga keseimbangan khauf dan raja'.
Wallahu A'lam
0 komentar